13. Hilang

18 6 0
                                    


"Kalian serius mau ikut dateng pagi?" tanya Ares pada Panji dan Fernand. Mereka tidak seperti dia dan Langit yang perlu datang pagi untuk persiapan.

"Serius. Bareng kita, nanti balik juga kita tungguin. Betul tidak, Nan?" balas Panji sambil menyikut Fernand.

Fernand mengangguk. "Betul."

Langit tertawa kecil. "Sukses, ya, Res, buat pamerannya."

Ares tersenyum kecil dan mengangguk. "Makasih. Lo juga, semangat jadi panitianya."

"Eh bentar, Kak Ina hari ini jadi siapa, dong?" tanya Panji.

"OSIS dulu, baru jadi ketua Art Club. Soalnya kita emang diminta buat di lapangan dulu, 'kan?" sahut Ares.

"Iya, di lapangan dulu. Tapi kayaknya abis senam juga Art Club boleh ngurusin pamerannya. Yang penting murid lain tetap stay di lapangan buat nonton yang tampil hari ini," balas Langit sedikit menyampaikan bagaimana rencana yang OSIS buat.

Ketiga temannya itu mengangguk paham. Ternyata begitu sampai di sekolah, gerbangnya masih ditutup. Langit mencoba menggeser gerbang itu dan bisa terbuka. Tampaknya penjaga sekolah hanya sempat membuka kuncinya saja.

Ares sendiri berniat datang pagi karena dia yang memegang kunci. Laki-laki itu kini sudah ada di depan ruang seni, berniat untuk sekedar menyimpan tasnya saja lalu bergabung dengan Panji dan Fernand. Mengingat mereka perlu ikut senam pagi terlebih dahulu.

Namun, begitu pintu terbuka. Wajah Ares memucat seketika.

Keadaan tak serapih saat ditinggalkan, beberapa kerajinan ada yang jatuh dari tempatnya. Lalu, yang paling parah adalah lukisan yang tak selengkap seharusnya.

Keringat dingin mulai bermunculan dari tubuhnya kala ia semakin masuk ke ruangan itu dan berjalan menyusurinya.

"Oh, ada Ares—" Kalimat itu terpotong disusul dengan suara tas yang terjatuh. Ares berbalik dan mendapati Cakra ada di sana.

"Kak, ini kenapa bisa gini?" tanya Ares  terdengar sedikit bergetar.

"Kamu waktu itu udah kunci, 'kan?" tanya Cakra berusaha untuk tenang.

Ares mengangguk. "Udah, Kak ... saya sama Kayla kunci ini barengan."

Cakra memijat pelipisnya karena pusing yang tiba-tiba melandanya. Laki-laki itu meraih satu kerajinan yang jatuh lalu meletakkannya di tempat semula.

"Kita beresin dulu apa yang ada sambil nunggu yang lain," ucap Cakra dan Ares langsung menurutinya.

Satu per satu anggota yang datang juga bingung dengan hal ini. Mereka terus nenanyai Ares dan Ares juga tak tahu kenapa ini bisa terjadi.

"Ina udah dateng?" tanya Cakra.

"Tadi, aku lihat di gerbang, Kak. Kayaknya mau pergi lagi."

"Jian, tolong panggilin dulu Ina sebentar. Dia harus tahu soal ini, kalau lewat chat dia pasti gak akan buka kalau lagi kayak gini," ucap Cakra dan Jian yang diminta langsung pergi mencari Ina. Ketua mereka memang tak terlalu mementingkan ponselnya, terlebih jika sedang bertugas menjadi panitia. Perempuan itu akan memilih untuk menyimpannya dalam tas yang pasti ia tinggalkan di ruang OSIS.

Tidak butuh waktu lama, laki-laki itu sudah kembali lagi. Namun, dia hanya datang sendiri.

"Ina disuruh ke fotocopy, Cak. Kayaknya bakal lama soalnya ini masih pagi, mereka harus nyari yang udah buka dulu."

Cakra mengusap wajahnya frustasi. "Bu Resti?"

"Belum dateng."

Ares sama bingungnya. Dia ikut merasa bersalah karena dia salah satu yang memegang kuncinya. Rasa bersalahnya semakin bertambah ketika lukisan milik Ina ikut menghilang dari sana.

Meraki Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang