Malam itu, keluarga Ina pergi ke rumah saudara mereka untuk memenuhi undangan makan malam bersama. Sebenarnya kegiatan ini sudah rutin mereka lakukan setiap bulannya dengan alasan menjaga hubungan, tapi baik Ina atau Iden belum benar-benar nyaman setiap melakukannya. Bukan karena makanannya tak enak atau keadaan rumah yang ramai, tapi karena perbincangan yang ada di dalamnya.Awalnya mereka makan dengan tenang, sesekali akan diselingi oleh basa-basi para orang tua. Ina dan Iden hanya memakan makanan mereka dalam diam, berharap ini akan segera selesai dan mereka bisa pulang. Rumah bibi mereka ini walau besar, tapi tetap saja yang lebih nyaman adalah rumah sendiri.
Pada awalnya memang biasa saja. Ina dan Iden tak akan terlalu merasa berat untuk ikut selama tak menjadi topik pembicaraan. Namun, malam itu ketika nama Ina disebut, perempuan itu tahu kalau ini akan menjadi berat untuknya.
"Katarina udah kelas 11, 'kan, ya, Kak?" tanya bibi mereka, pemilik rumah ini.
"Iya, udah kelas 11," balas ayahnya.
"Ina, kamu nanti mau kerja di bidang apa, Nak?"
Ina yang tiba-tiba ditanya seperti itu tak langsung menjawab. Dia menatap ragu karena dia bertanya seolah Ina akan memilih bekerja dibandingkan kuliah. Padahal Ina ingin sebaliknya.
"Aku mau kuliah, Bi," balas Ina. Jawabannya itu mengundang raut meremehkan dari orang-orang di sekitarnya.
"Kamu mau kuliah?" tanya suami bibinya. Dari nada suaranya, terdengar jelas ia meledek. Namun, Ina memilih untuk tak gentar dengan pernyatannya.
"Iya, saya mau ambil bidang kesenian."
Ada tawa yang pecah setelah Ina mengucapkan itu. Iden tak menyukainya, terlihat jelas dari raut wajahnya dan rahang yang mulai mengeras. Sementara Ina hanya diam dan menatap pandangan sulit diartikan.
"Kamu, tuh, punya mimpi boleh. Tapi jangan ketinggian," ucap orang yang baru saja tertawa.
"Keluargamu ini bukan orang kaya, lebih baik kamu kerja buat bantu ekonomi keluarga bukan malah bikin makin susah dengan kuliah. Terus kamu mau ambil apa tadi? Seni? Gak perlu kuliah, kamu bisa gambar-gambar aja itu udah cukup."
Ina mengernyit mendengar itu. Jarinya mengetuk meja dengan perlahan. "Maaf, tapi paman umurnya jauh di atas aku. Kenapa masih berpikir kalau seni cuma soal gambar? Memangnya ada yang lucu, ya, dari mimpi seseorang sampai ketawanya lebar banget kayak tadi?"
Ina tahu kalimatnya akan tidak disukai. Ia juga sadar betul dengan apa yang diucapkannya. Terkadang, keluarga besarnya ini perlu paham kalau tidak semua hal bisa mereka remehkan dengan mudah hanya karena mereka lebih lama hidup di dunia ini.
"Kamu gak sopan, ya, sama orang tua?"
Ina menggeleng. "Aku cuma tanya, apa itu salah?"
"Katarina!" bentaknya seketika. Ina mengernyit mendengar itu. Harusnya, ia yang marah di sini. Bukan laki-laki yang menjadi adik ipar ayahnya. Laki-laki yang menyuarakan pendapatnya seolah ia adalah pemilik dunia.
"Kamu ini anak gak sadar diri, ya! Udah tahu keluargamu gak kaya, malah bilang mau kuliah. Berucap sok pintar pula! Kamu ini cuma remaja baru gede, jangan songong!"
Iden menatap tajam. "Apa, sih? Kok pake bentak-bentak segala?"
"Kamu jangan ikut kurang ajar kayak kakak kamu!"
"Aku enggak! Kak Ina cuma ngasih jawaban, lalu diremehkan, dibentak pula. Paman pikir aku bakal terima?"
Orang tua mereka saling bertatapan. Mereka juga sebenarnya tak menyukai apa yang laki-laki itu katakan pada Ina. Namun, di sini mereka seperti tak memiliki kuasa apa-apa. Jika dilihat dari sisi ekonomi, mereka memang bisa dibilang paling rendah di antara yang lain. Namun, sebenarnya mereka juga tak semiskin itu.
"Kakak kamu ini gak sadar diri. Pengen kuliah ... pengen kuliah. Kamu pikir bilang di sini bakal ngebuat keluarga ini bantu kamu? Enggak!"
Ina mengepalkan tangannya. Ia tak ingin terbawa emosi karena mau bagaimanapun orang ini lebih tua darinya. Perempuan itu menarik napas dalam-dalam.
"Aku gak berniat mengemis di sini, aku cuma jawab pertanyaan tadi apa adanya. Maaf, kalau semisal perkataanku menyinggung paman."
Ina menatap mereka satu per satu. "Yang jelas, aku gak butuh bantuan dari seseorang yang udah remehin aku."
Ina memeluk lututnya sendiri di kursi yang biasa ia duduki di teras. Mereka sudah pulang 30 menit yang lalu, tapi apa yang terjadi di rumah bibinya tadi masih menghantui kepalanya.
"Kak, udah malem." Suara lembut ibunya membuat Ina mendongak. Ina lantas menurunkan kakinya ketika perempuan yang telah melahirkannya itu duduk di sebelahnya.
"Sebentar lagi, Ma," balas Ina pelan.
Rambut Ina mendapat usapan dari tangan ibunya yang cukup kasar karena sering mencuci. Ibu Ina menatap dengan hangat je arha putri sulungnya.
"Kakak benar-benar mau kuliah, ya?"
Ina menatap ibunya lalu mengangguk. "Iya, mau."
Ibunya terdiam. "Papa sama mama sebenarnya dukung mimpi kamu, Na. Tapi sepertinya kami bakal kewalahan soal biayanya. Seni itu cukup mahal, 'kan? Belum soal adekmu yang masih sekolah. Kamu tahu, 'kan, kalau bayaran bulanan kamu sama Iden berbeda?"
Ina mengangguk. Memang semenjak angkatan Iden, pembayaran bulanan alias SPP jadi dinaikkan. Walau tak sampai dua kali lipat, tapi itu tetap saja cukup memberatkan untuk beberapa orang.
"Mama sama papa dukung dan bakal bangga sama apa yang kamu dan Iden pilih. Mama paham kamu suka ada di bidang seni, kamu bahkan sekarang jadi ketua ekskulnya. Tapi mama mau minta maaf dari sekarang kalau nanti mimpi kamu malah terhambat sama biaya."
Biaya.
Hal itu lebih sering menjadi topik diskusi para penghuni di sini dibandingkan keseharian mereka. Ina mengambil sebelah tangan ibunya yang tak sedang mengusap kepalanya.
Mungkin ini sudah saatnya ia jujur.
"Ma, aku sebenarnya udah mulai nabung dari kelas 10. Aku buka komisi gambar, aku buka komisi tulisan. Uangnya itu gak aku pake, aku simpen buat tabungan kuliah nanti."
Ina menarik napasnya. "Aku tahu mimpi aku yang satu ini bakal nyusahin papa sama mama. Jadi, aku diam-diam buka komisi, Ma. Setidaknya nanti itu gak akan terlalu memberatkan papa sama mama."
Ina mengelus tangan ibunya dengan ibu jari. Sementara ibunya memandang Ina dengan penuh harapan. Sepasang ibu dan anak yang tampak mirip karena gaya rambut yang sama itu kini terlihat sedikit canggung untuk satu sama lain. Ina canggung bercampur malu karena pernyataannya tak kunjung menerima balasan. Lalu, ibunya merasa canggung karena tak menyangka kalau Ina melakukan hal seperti itu.
"Aku tahu buat sampai ke mimpiku aku harus gimana. Jadi, aku minta papa sama mama buat percaya dan dukung aku. Aku bakal berjuang buat mimpi aku yang satu ini. Soal biaya, mama gak perlu ngerasa khawatir lagi. Akure berusaha keras buat kejar mimpi aku sendiri, " balas Ina.
Ina menatap lekat pada ibunya. "Ya, Ma? Tolong percaya sama aku."
Kepala Ina ditepuk pelan. Begitu melihat pelakunya, ia dapat melihat senyuman ibunya. Terlihat bangga dan juga merasa terharu.
"Semangat, Kak. Papa, mama, Iden bakal terus dukung kamu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Meraki
Teen FictionKesan pertama yang dinilai kurang baik membuat Ina menjadi salah satu hal yang Ares keluhkan. Bilangnya, sih, menyebalkan, tapi Ares seringkali menjadikan ina sebagai objek gambarnya.