Kunjungan mereka ke galeri memang melelahkan, tapi itu juga terasa menyenangkan. Mereka mendapat cukup banyak bekal dari sana. Saat pulang, Ina kembali menaiki motor bersama Bu Resti, begitu pula dengan Cakra dan Jian. Sisanya juga kembali menaiki angkot yang sama. Mereka pulang ketika langit sudah menemui jingganya.
Mereka kembali berkumpul di sekolah dan Bu Resti kemudian memberikan mereka sebungkus biskuit cokelat. Setelah semua kebagian barulah dia berkata, "Bagaimana, senang dengan kunjungan hari ini?"
"Senang, Bu!"
Bu Resti tersenyum puas. "Bagus, ibu harap selepas ini kalian bisa makin mencintai seni Indonesia, ya. Semakin menikmati pula dalam membuat karya seni yang nyata. Sebelum pulang, ibu mau pastikan. Ini anak-anak perempuan dijemput atau bagaimana?"
"Saya bareng Jian, Bu," balas Ria.
"Saya dijemput ayah, lagi di jalan."
"Saya jalan, Bu. Dekat soalnya."
"Saya mau naik angkot, Bu."
"Kamu daerah mana, Nak?"
"Kopo, Bu."
"Searah sama ibu, kita bareng aja, ya," ucap Bu Resti lalu melirik ke arah Ina yang belum ikut bersuara. "Ina, gimana?"
Ina mengerjap. "Saya juga mau naik angkot, Bu."
"Aduh, jangan sendiri, ya. Ibu takut keburu malam di jalan. Di sini ada yang naik angkot hijau juga? Mungkin bisa bareng Ina."
Ina mengerjap, sedikit panik dengan hal itu. "Gak papa, Bu. Saya udah biasa."
"Sst, nurut, ya, sama ibu."
Tadinya Ares berniat memesan kendaraan online. Namun, mendengar perkataan Bu Resti membuat ia mematikan ponselnya lagi. Jika diingat lagi, ia pernah bertemu dengan adiknya Ina di minimarket yang ada di dekat pintu masuk komplek. Mungkin saja mereka berdua memang searah.
"Saya, Bu," balas Ares membuat Kayla menatapnya curiga.
"Ares, ibu minta tolong temani Ina, ya?"
Ares melihat kepada kakak kelasnya itu yang tengah menunduk, lalu kembali pada guru pembina mereka. Laki-laki kelahiran Maret itu pun mengangguk. "Iya, Bu. Mumpung searah."
Kayla menyikutnya dengan pelan. Teman sekelasnya itu kemudian berbisik, "Kamu bukannya mau pesen ojol, ya?"
Ares hanya menggeleng sebagai tanggapan.
Mereka pun berdoa sebelum akhirnya berpisah. Bu Resti sengaja diam lebih lama sebelum semua muridnya benar-benar pulang.
Ares mengikuti Ina dengan canggung. Perempuan yang rambutnya sudah mulai memanjang itu juga tampaknya enggan berkata apa-apa.
Ina menoleh ke arah Ares sekilas lalu berkata, "Res, kita barengnya naik angkot aja, ya. Kamu gak perlu temani saya sampai rumah kayak yang Bu Resti bilang. Soalnya ada yang nunggu saya di tempat biasa turun."
Ares mengangkat kedua alisnya dan mengangguk. "Oke, Kak. Iden, ya?" tanya Ares berusaha terdengar akrab. Dia juga mempercepat sedikit langkahnya agar mereka bisa beriringan.
Cukup lelah juga selama ini ia mengibarkan bendera perang ketika Ina bahkan tak menghiraukannya. Ina mendongak, menatap Ares dengan bingung. "Kok tahu?"
Ina tak heran kalau Ares kenal dengan adiknya mengingat mereka satu angkatan. Namun, ia tentu bingung kenapa Ares tahu kalau Iden adalah orang yang menunggunya.
"Pernah lihat Iden nunggu Kak Ina waktu kita lagi kumpul. Terus ngobrol dikit dan ujungnya jadi tahu kalau Kak Ina sama dia itu adik-kakak."
Ina mengangguk. "Dia yang nunggu saya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Meraki
Teen FictionKesan pertama yang dinilai kurang baik membuat Ina menjadi salah satu hal yang Ares keluhkan. Bilangnya, sih, menyebalkan, tapi Ares seringkali menjadikan ina sebagai objek gambarnya.