Jurnal Kelima; Pelanggaran Aturan

463 40 12
                                    

“Aku tahu, ini menyalahi aturan kesehatan. Tapi, bagaimana lagi? Kasihan Pak Alzi katanya sudah bertahun-tahun tidak menikmati mi kuah yang endul ini. jangan-jangan dia lupa gimana rasa indomie yang mengugah selera.”

Sembari memberesi perlengkapan masak, Aruna berbicara sendiri untuk mengatasi rasa bersalahnya dan meyakinkan bahwa perbuatannya sekarang bukan langkah yang sesat. Mi kuah dengan tambahan sayur dan bakso dari kulkas telah siap disajikan, sesuai permintaan Alzi ketika pulang dari taman siang tadi. Ia tiba-tiba seperti ibu hamil yang sedang ngidam, ada seorang anak yang makan mi di teras rumahnya, bau mi tersebut tanpa sengaja melintasi indra penciuman Alzi.  

“Semoga RS Fanfa tidak menyabotase CCTV rumah ini, biar nggak ketauan aku bikinin mi buat pasien.”

Masih dengan gumaman di mulutnya, Aruna membawakan mangkuk mi tersebut ke kamar Alzi, sesuai permintaannya. Alzi pikir ini kesempatan, sebab Laras sering melarang ayahnya makan mi. Alzi meyakinkan jika dirinya sakit paru-paru dan mengalami kehancuran sumsum tulang belakang, tidak merambat ke organ pencernaan, dalam arti lain seharusnya Alzi boleh mengonsumsi makanan instan.

Senyum rekah mengembang di bibir Aruna saat masuk ke dalam kamar, kali ini Alzi membalas senyuman Aruna dengan tulus. Seperti gadis pada umumnya, Aruna merasa ingin kalang kabut hingga meloncat salah tingkah melihat senyuman manis pada bibir Alzi itu.
Aruna meletakkan terlebih dahulu nampan di meja nakas, sebab ia belum menyimpan meja kecil untuk Alzi agar lebih mudah makan.

“Silahkan dimakan, Pak,” ujar Aruna menggunakan nada lemah lembut.

Alis Alzi bertaut, sebelumnya ia mengira Aruna akan membuat mi juga. “Kok, hanya satu? Punyamu mana?”

Aruna menggaruk tengkuk lehernya sebab gugup ditanyai seperti itu, apalagi wajah Alzi sangat lembut menatap Aruna. Bagaimana hati Aruna tidak salah kaprah? Sekarang Alzi sang model Pemilik Wajah Teduh benar-benar terbukti.

“Bukannya tadi kita membeli lebih? Buat juga untukmu sana,” suruh Alzi.

“Iya, Pak. Terima kasih, nanti saya akan membuatnya jika tugas saya sudah selesai.”

S

iang tadi mereka berdua sempat melipir ke minimarket terdekat, sekaligus membeli beberapa perlengkapan yang menurutnya telah habis; persediaan popok, susu, dan beberapa plester pereda demam.

Akhir-akhir ini, Laras sudah mulai sibuk mempersiapkan ujian akhir semesternya di sekolah. Jadi ia kurang teliti memeriksa kebutuhan pokok ayahnya di kamar. Laras kini mengandalkan Aruna untuk menggantikan setengah perannya. Namun, ia juga kekurangan biaya jika ingin menyewa asisten rumah tangga. Setidaknya Laras bisa mengurus bagian kebutuhan rumah yang lain, sementara ayahnya bisa dilimpahkan kepada perawat yang sudah ia sewa dengan nominal sepuluh juta untuk setengah tahun, dan setengahnya lagi akan dibayar menyusul.

Aruna lantas duduk di kursi sebelah kasur Alzi. Ia ingin mengamati wajah Alzi secara diam-diam ketimbang ikut makan dengan dalih mengawasi pasien; mulai dari raut wajahnya, lekukan rahangnya, sampai tiada kerutan di wajahnya, semua itu ternyata masih sama seperti yang ia lihat di halaman depan majalah favorit ibunya. Melihat Alzi makan saja sudah mengenyangkan perutnya. Alzi sendiri sama sekali tidak keberatan jika ditatap seperti ini.

Alzi menyeruput kuah terakhir, pandangannya kini teralihkan pada Aruna yang tertunduk. Tangan Alzi bergerak menyingkapkan rambut Aruna dengan tatapan khawatir. Apalagi wajah Aruna yang memerah, Alzi pikir karena Aruna sedari pagi belum makan.

“Hei, ada apa? Kamu baik-baik saja?”

Aruna mengangkat kepala dengan ekspresi menahan malu. Akan tetapi Alzi malah semakin panik serta khawatir melihat Aruna.

“Wajahmu merah sekali, kamu sakit? Pasti karena belum makan.” Tangannya bergerak menyentuh kening Aruna untuk mengecek suhu gadis itu. Ia tidak merasakan sensasi panas, pasti wajah memerah ini disebaban gugup berlebihan.

Kemudian Alzi membuka laci nakas, dikeluarkannya sapu tangan warna ungu pastel dan diberikan untuk Aruna. Tangan Alzi menyentuh dahi Aruna selama beberapa detik, setelah itu menempelkan sapu tangan tadi.

“Sapu tangan ini memiliki sistem pendingin di dalamnya. Dulu sering saya pakai kalau sedang gugup, sekarang bisa kamu yang milikinya.”

Seolah menyadari suasana hatinya, Aruna menatap wajah Alzi dengan dalam. Pria itu tersenyum. “Saya tahu bagaimana sikap seorang penggemar bertemu idolanya.”

Aruna dengan cepat berdiri membawa mangkuk dan meja kecil dari Alzi dan pergi dari kamar itu sebelum wajahnya semakin memerah tak karuan. Meletakan mangkuk di atas tempat cuci piring dengan sedikit hentakkan. Ia kesal dengan dirinya sendiri, kenapa Aruna bisa salting dengan pria yang berumur jauh lebih tua darinya.

“Astaga, Aruna! Sadar, kamu lagi kerja di sini, bukan nyari jodoh,” gumam Aruna kesal. Ia juga terus merutuki dirinya sendiri perihal rasa yang tiba-tiba membeludak dalam hatinya. Entah perasaan macam apa, ini kali pertama Aruna mengenal perasaan aneh seperti ini terhadap seorang laki-laki.

Tak lama gadis itu ingin kembali masuk untuk menemani pasiennya. Tidak baik meninggalkan pasien seorang diri, terlebih dalam keadaan hujan besar disertai petir. Itu yang Aruna pelajari semasa kuliah.

“Mbak kasih papa makan mi?”

Baru saja tiba di ambang pintu kamar, langkah Aruna terhenti mendengar teguran itu, jantungnya juga berdegup kencang. “Bu-bukan, itu makanan saya.”

“Jangan bohong, Mbak.” Laras yang entah sudah pulang sejak kapan perlahan mulai mendekati Aruna, masih menggunakan seragam SMA. Tatapannya sengit, seolah Aruna telah melakukan kesalahan yang pantas diberi hukuman.

Sebelum membawa Aruna pergi dari sana untuk dinasehati, sejenak Laras melirik papanya di dalam. Namun, Alzi membuang pandangan, tidak ingin melihat anaknya yang sudah berada di puncak kemarahan.

Ini sudah pelanggaran ketiga yang dilakukan Alzi minggu ini. Bahkan Laras menyewa perawat pun karena Alzi sering membuat pelanggaran yang menyimpang dari larangan untuk kesehatannya, dimulai sejak Alzi kehilangan sang ibunda. Minggu ini Alzi sudah meminum kopi, ia seharusnya sudah tidak boleh mengonsumsi kafein, lambungnya ternyata sedikit bermasalah. Kemudian Alzi diwajiban makan buah, tetapi buah itu tempo hari dibuang sia-sia.

“Aku udah pernah bahas ini sama Papa,” ucap Laras menasehati dengan tekanan. Kemudian lirikannya beralih kepada Aruna. “Dan gue kira Mbak bisa menangani hal sekecil ini.

Satu hal yang Aruna sadari dari gaya bicara Laras sekarang adalah penggunaan kata aku pada dirinya sendiri. Laras masih terbilang sopan kepada ayahnya, tetapi kepada orang lain memang cukup kurang.

“Maaf, saya kira Pak Alzi masih boleh konsumsi ....”

“Keterangan yang ada di dokumen gue kira udah jelas semua, dibaca nggak, Mbak? Kayaknya nggak mungkin deh, perawat kayak Mbak kurang teliti.”

Laras memberi jeda sejenak agar wanita yang tiga tahun lebih tua darinya itu bisa mencerna segala kalimat yang diutarakan olehnya. Laras hanya merasa bahwa dari sekian perawat yang datang bekerja di rumahnya tidak ada seorang pun yang paham dengan perkataan Laras, padahal ia hanya ingin memberitahu dengan seadanya.

“Oh, iya, gue lupa. Mbak, kan, perawat tanpa pengalaman, ya?”

Dengan ketusnya Laras semakin memojokkan Aruna di hadapan Alzi. Tidak ada kata maaf bagi Laras, ia hanya ingin memberikan yang terbaik untuk ayahnya. Laras ingin Alzi tetap hidup karena dialah satu-satunya keluarga yang Laras miliki, tetapi Alzi sendiri sudah tidak memiliki semangat hidup. Alzi sering mengonsumsi sesuatu yang seharusnya tidak boleh dikonsumsi, bahkan yang paling Laras ingat adalah sebatang rokok pasca kematian neneknya.

“Besok gue bakal ngajuin banding ke rumah sakit, buat nuker Mbak sama perawat yang lebih profesional.”

Sebelum Aruna menyampaikan sepatah kata untuk penolakan, Laras sudah lebih dulu menghilang masuk ke dalam kamar pribadinya.
Aruna tertegun di tempatnya berdiri. Ia bersalah, memang benar dirinya tidak teliti dalam membaca keterangan yang bercampur dalam satu map yang diberikan oleh Dokter Megan sebelum resmi ditugaskan di sini. Sejenak Aruna memandang Alzi yang masih memandang kosong, lalu dirinya mengambil map tadi yang tersimpan pada meja kerja.

Gadis itu mengembuskan napas panjang. Rupanya banyak sekali larangan untuk Alzi yang harus Aruna sadari. Alzi memiliki riwayat penyakit maagh, bahkan sudah melekat sejak dirinya masih aktif di bidang permodelan.
Kini Aruna merasa bodoh. Mengapa ia harus menerima tawaran Dokter Megan kemarin, mengapa dirinya harus memaksakan diri sementara belum resmi menyandang gelar sarjana, dan mengapa Aruna melewatkan simulasi menjadi seorang perawat.   

Journey of Personal Nurse [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang