Jurnal Kesepuluh; Permainan Seperti Keluarga

257 18 16
                                    

Laras bersama Jidran. Sudah berapa lama merea sering berbuat seperti ini? Jalan bersama tanpa sepengetahuan Alzi. Pantas saja setiap Alzi meminta sahabat alias mantan asistennya yang kini berusia 30 tahun itu selalu saja menanyakan di mana keberadaan Laras, atau menanyakan kabar Laras secara berlebihan. Paling parahnya Jidran memanfaatkan waktu berdua dengan Laras ketika Alzi lengah dan seringnya berdiam diri di kamar. Alzi pikir, Laras dan Jidran hanya sebatas bertukar pikiran saja.

“Jadi, selama ini kalian memiliki hubungan spesial?”

Tatapan Alzi begitu sengit terhadap lelaki di hadapannya, masih memakai jaket kulit dengan rambut bergelombang. Alzi mensedekapkan tangan di depan dada, seolah mengintrogasi seseorang yang baru menyakiti putrinya.

“Pa, Kak Jidran hanya—”

“Diam, Laras. Papa bertanya kepada Jidran, bukan kepadamu,” potong Alzi begitu mencekam. Membuat jantung Laras berdegup tak karuan, begitu juga dengan Aruna yang tak tahu menahu perihal masalah ini.

Mereka berdua saling berhadapan dengan sebatas meja makan yang sebentar lagi akan datang makanan pesanan. Di depan sekolah Laras tadi sempat ada perdebatan antara Alzi dan Jidran, hal ini sangat di luar dugaan karena Alzi begitu curiga kepada Jidran sebab telah menyembunyikan rahasia seperti ini. Untuk menghentikan perdebatan, Aruna menyarankan agar mereka semua mampir ke salah satu mal yang ada di pusat kota Bandung, sekaligus melaksanakan tujuan Aruna untuk mengajak Alzi jalan-jalan. Beruntung mereka semua menyepakati bersama.

“Gue nggak bermaksud begitu, Bang. Justru gue kasihan kepada Laras, setiap hari pergi sekolah dan jalan kaki. Gimana kalau ada yang jahatin dia? Gimana kalau dia kenapa-napa di jalan? Gimana kalau ternyata dia nggak balik lagi ke rumah?”

Alzi memajukan tubuh, emosinya terasa membeludak. “Bohong! Kamu hanya ingin menggoda anak saya, kan? Belajar jadi pedofil kamu, hah!”

Jidran tercengang atas tuduhan tersebut. “Gue ... kan, sudah berkeluarga, Bang.”

Kalimat tersebut berhasil membuat Alzi bungkam, dirinya tak lagi membusungkan dada untuk mengekspresikan kemarahan. Alzi lupa jika dua tahun lalu Jidran menikah dengan seorang gadis cantik yang tak pernah dibahasnya setiap ketemu, Alzi juga saat itu tidak hadir pada pesta tersebut.

“Tapi, bisa dikomunikasiin dulu sama saya, Dran! Bukan diam-diam dan menimbulkan kecurigaan gini. Saya nggak bermaksud nuduh kamu, saya nggak mau komunikasi kita rusak karena masalah sepele. Niat kamu sudah bagus, tapi caranya yang salah. Seolah kamu memiliki hubungan dengan putri saya, semua itu membuat kepala saya pusing!” Berkali-kali Alzi membentak Jidran, semakin membuat lelaki tersebut merengut ketakutan.

Satu sisi lain Aruna tampak panik. Ia sibuk dengan kegiatan sendiri, mencari sesuatu dari dalam tas kecilnya. “Ini, Pak. Obat pereda pening.” 

Alis Jidran bertaut. Kali ini perhatiannya berhasil ditarik memandang gadis asing di sebelah Alzi. Sedari awal lelaki itu ingin menanyakan siapa gerangan, tetapi dirinya terlanjur takut duluan dengan sikap Alzi mempertanyakan maksud dan tujuan menjemput Laras. Sementara Laras menepuk jidat, bisa-bisanya Aruna memecah ketegangan dengan cara yang kurang pas seperti itu. Cara Aruna memberi perhatian sudah oke, tetapi perawat ini tidak mengimbangi mana keluhan kesehatan dan mana kata kiasan.
“Saya tidak pening beneran, Runa.”

“Oh ... tapi, Pak Alzi tadi kelihatan pening beneran,” ujar Aruna dengan kepolosannya.
Alzi mengembuskan napas berat. “Gara-gara mereka saya jadi darah tinggi.”

Dengan segera Aruna kembali merogoh tas selempang berisi perlengkapan obat-obatan, tetapi kali ini berhasil terhentikan oleh Alzi yang menahan tangan perawat itu.

“Itu makna kiasan, Run, kiasan.”

Aruna terdiam sejenak. Setelah itu mengangguk-angguk sembari cengengesan malu. Dirinya bukan anak bahasa atau pecinta diksi dengan makna-makna tertentu. Bagi anak keperawatan seperti Aruna, semua kata yang terlontar itulah yang sebenarnya terjadi. Seperti keluhan tadi, jika saja Alzi tidak meberitahu, pastilah Aruna sudah mengeluarkan banyak sekali obat untuk mengentikan gejala dalam tubuh pria itu.

“Ini siapa, Bang?” Barulah Jidran mempertanyakan rasa penasarannya. Namun, jawaban yang ia terima justru malah senyuman milik Alzi yang telah lama tidak dilihatnya.
Jidran pun baru menyadari bahwa Alzi yang ada di hadapan sekarang berbanding jauh dengan Alzi dahulu yang hanya bisa diam di rumah sembari meratapi nasib. Kakaknya itu jauh lebih ceria dan berseri, tubuhnya pun tampak lebih terurus meski masih terlihat kurus. Setidaknya melalui senyuman, Jidran dapat melihat secercah masa depan Alzi di sana. Tidak lagi menginginan kematian.

“Calon pendamping hidup saya,” celetuk Alzi membulatkan jawaban. Tangannya yang tadi menahan pergerakan Aruna, kini diambil untuk dibawa ke dalam genggaman.

Sementara Laras yang masih hadir di sana, mengembuskan napas malas. Dirinya membuang pandangan ke lain arah sembari memutar bola matanya. “Mimpi buruk.”  

Journey of Personal Nurse [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang