Jurnal Ke-16; Bakat Harus Dikembangkan

247 15 8
                                    

Satu minggu sudah berlalu. Bulan madu pasutri baru itu hanya diisi oleh kesibukan menghias galeri sederhana. Warnanya dicat seperti baru; putih dipadukan oleh ornamen kayu. Salah satu pojok dijadikan sebagai tempat khusus Daneswara bisa mengembankan kemampuan melukisnya, terdapat penopang kanvas yang berdiri tegak, menghadap ke arah jendela agar Daneswara tidak suntuk saat melukis. Sudut satunya lagi diberikan sofa yang sangat empuk, agar siapa pun bisa bersantai di sana, terdapat lemari buku dan diisi novel milik Aruna juga Laras.

Dinding-dinding dipenuhi oleh piagam penghargaan Alzi sesuai janji, sebagian lagi dipajang jepretan Alzi ketika dirinya masih menjadi model. 

Kilauan yang berasal dari kamera membuat mata Alzi sedikit sakit, aktivitas membereskan pigura jadi terganggu oleh Aruna yang mengambil foto dirinya. Sudah lama mata Alzi tidak menerima kilatan kamera. Ketimbang memarahi istrinya karena merasa tak nyaman, pria itu memilih penasaran dengan hasil jepretan gadis itu.

“Coba Mas lihat.”

Aruna tersipu malu, enggan memberikan kameranya. Masalahnya Alzi adalah model ternama, sering melihat hasil jepretan yang sangat bagus, tentu dari fotografer profsesional. Namun, setelah Alzi membujuk akibat rasa penasarannya berlebihan, akhirnya Aruna mau memberikan kamera itu.

Mata Alzi sontak berbinar. Bagaimana cara Aruna mengambil gambar peris ketika dirinya melihat hasil jepretan saat mejadi model. Lekukan wajah Alzi terlihat tegas, gestur tubuh tidak asal tertangkap, kontras cahaya pun terlihat seimbang.

“Kamu seperti fotografer profesional,” puji Alzi berdecak kagum.

“Aku hanya mengikuti cara fotografer lain menangkap gambar, Mas. Apalagi aku sedikit mempelajari bagaimana fotografer mengambil posisi yang baik untuk memotret Mas dari majalah.”

Usia yang masih belia tidak menghentikan hobi Aruna dalam bidang foto. Sejak umur 9 tahun dirinya sudah mulai menguasai bagaimana cara menangkap sebuah objek melalui kamera. Hingga kini Aruna terus berlatih, meski masih belum merasa percaya diri.

Hasil jepretan istrinya membuat Alzi rindu menjadi seorang model. Ia memiliki sebuah ide untuk mengisi kekosongan waktu. Kebetulan galeri ini juga sudah lumayan rapi untuk dipandang.

“Mas bisa menjadi modelmu,” tawar Alzi.

“Eh? Hasil fotoku jelek, Mas.”

“Tapi, Mas rindu menjadi seorang model,” ujarnya beralasan.

Setelah dipikir-pikir Aruna juga ingin mencoba memotret objek manusia. Selama ini barang, pemandangan, atau makanan yang selalu ia jadikan bahan percobaan. Lantas Aruna mengiyakan penawaran suaminya. Alzi memilih salah satu sudut di pojok baca, berpindah dari kursi roda menjadi duduk di atas sofa. Dibantu oleh Aruna, kaki Alzi diposisikan agak terbuka, selayaknya seorang laki-laki biasanya yang bisa berjalan. Salah satu buku diambil olehnya, maka pemotretan pun mulai dilakukan.

Alzi semakin yakin jika istrinya bukan fotografer pemula; yang selalu memberi aba-aba ketika hendak memotret. Beragam jepretan telah Aruna ambil, begitu juga Alzi yang telah berganti-ganti gaya.

“Giliran Mas yang motret kamu,” ujar Alzi mengambil kamera Aruna. Jelas gadis itu senang. Sebagai fotografer, Aruna masih terlalu narsis. Lantas gadis itu dan suaminya bertukar tempat.   

“Satu ... dua ... tiga!” seru Alzi memberi aba-aba.

Aruna penasaran dengan hasilnya, ia segera menghampiri saat Alzi puas menjepret dirinya. Namun, senyum Aruna perlahan menurun. Foto itu gelap, gaya Aruna jadi kurang bagus, terlebih banyak foto berbayang.

Gadis itu paham dari raut wajah menyesal Alzi yang cemberut. Ia menghibur suaminya dengan kecupan di wajah, lalu tersenyum hangat. “Tidak apa-apa. Terima kasih, ya, suamiku.”

“Mas hanya bisa difoto, bukan memoto.”

Aruna terkekeh kecil mendengarnya.
Bunyi bel rumah terdengar hingga ruang galeri. Ada paket datang, sesuai dengan teriakan orang yang menekan bel tersebut. Aruna menerima kotak tersebut, ia membawanya dan hendak dibuka di ruang tamu.

Alzi memerhatikan gerik Aruna, lambat seperti terbebani. Jika paket tersebut adalah belanjaan Aruna, sudah pasti gadis itu akan membukanya dengan bersemangat.

Benda pertama yang Aruna keluarkan adalah sebuah toga beserta topinya. Sebentar lagi adalah acara wisuda di kampusnya, dan Aruna resmi memiliki gelar sarjana. Alzi yang juga merupakan lulusan Sarjana fakultas Ilmu Komunikasi merasa senang. Bagaimana tidak? Hari itu setiap wisudawan dijunjung dan diberi kata selamat. Tidak semua orang beruntung memiliki gelar sarjana.

“Kenapa sedih? Kapan acaranya? Nanti Mas sama anak-anak dateng, kok. Kita belikan buket bunga yang sangat besar untukmu, ya.”

“Nggak perlu, Mas.” Aruna menggeleng lemah. Ia memberesi pakaian toganya, dimasukkan kembali ke dalam kardus. Sejenak ia menatap ijazah yang ikut dikirimkan.

Pihak universitas sebenarnya tidak mengundang Aruna secara resmi, mereka hanya memberi kenang-kenangan untuk Aruna. Setelah kabar jika Aruna yang bekerja sebagai perawat itu menikah dengan pasien sendiri, banyak orang yang berpikir buruk terhadapnya, terutama kampus sendiri. Ditambah kabar mengenai pemecatan secara tidak hormat oleh pihak rumah sakit. Untuk itu ijazah pun diberikan satu paket dengan toga hari ini. Acara sebenarnya akan dimulai minggu depan.

Aruna Runyza, S.Kep.

Jika rencana berjalan normal, minggu depan Aruna akan mengucapkan sumpah sebagai perawat. Aruna tidak ingin berlarut-larut menyesali perbuatannya. Toh, membersamai Alzi pun merupakan suatu hal yang paling bahagia.

“Gelar ini sudah tidak berguna, Mas. Aku lebih suka mendapati Aruna Runyza Farazi. Lebih cantik, kan?” Ia terkekeh girang.

Alzi paham perasaan Aruna. Dirinya sekarang hanya bisa menyemangati Aruna untuk bertambah kuat, terlebih menjadi istrinya secara resmi. Ke depannya masih ada banyak tantangan yang harus mereka hadapi ketimbang meladeni orang-orang yang tak paham. 

Journey of Personal Nurse [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang