Aruna menarik selimut Alzi hingga ke bawah dadanya, dan merasa bahwa selimut tersebut telalu tipis untuk suhu sedingin malam ini. Aruna pun mengambil dan memakaikan selimut yang jauh lebih tebal untuk menghangatkan tubuh Alzi. Mengantisipasi jika terdapat sesuatu yang kelak mengganggu pernapasannya akibat suhu ekstrim.
Gadis itu memasangkan selang oksigen pada hidung Alzi setelah sebelumnya diatur terlebih dahulu, beberapa menit lalu pria itu mengeluh sesak, dipastikan ia kelelahan akibat bermain bersamanya seharian. Belum lagi sang putra angkat kembali hadir dalam hidup Alzi, pasti semua itu memenuhi pikirannya.
Dari raut wajah Alzi, ada sedikit kekhawatiran yang terus dipikirkan olehnya. Aruna belum bisa menebak apa yang dikhawatirkan Alzi sekarang, pandangan pria itu lurus menatap langit-langit kamarnya. Aruna menggenggam sebelah tangan Alzi sekuat mungkin, tangan Alzi begitu dingin.
“Tenang, Pak Alzi. Semua akan baik-baik saja.”
Sesekali Aruna ikut melihat ke atas—ke langit kamar yang Alzi pandang. Aruna juga menoleh ke ambang pintu. Setelah itu Aruna melirik ke luar jendela yang setengahnya tertutupi gorden. Alzi takut dengan hujan, mungkin itu yang mengganggu pikiran Alzi sekarang. Hujan seringkali diiringi oleh guntur dan kilat yang bisa membuatnya terkejut. Alzi takut suara yang mengagetkan.
Perlahan Aruna melepaskan genggaman, ia beranjak dari duduknya untuk menghampiri jendela. Aruna lalu menutup gorden jendela itu secara keseluruhan, berharap suara hujannya sedikit tidak terdengar ke dalam.
Kemudian gadis berambut panjang itu kembali duduk di tepi kasur Alzi, mengulurkan tangannya untuk mengusap pipi Alzi dengan hangat. Saat itu akhirnya mata Alzi bergerak melirik Aruna, setelah sekian lama menatap kosong ke atas. Alzi telah mengizinkan Aruna untuk menyentuhnya, apa pun yang ingin Aruna lakukan selagi masih dalam batas wajar, bahkan permintaan Alzi sendiri. Menurutnya, sentuhan Aruna begitu hangat dan menenangkan.
Aruna menyambut tatapan Alzi dengan senyum indah. “Ada apa? Hm?”
Alzi terdiam cukup lama, memandang wajah Aruna tanpa melengos sedikit pun. Sampai akhirnya Alzi mengatakan hal yang membuat Aruna bungkam. “Saya ingin sembuh.”
“Saya ingin sembuh dari semua penyakit saya, saya juga ingin sembuh dari semua ketakutan dan trauma saya.”
Alzi menarik napas yang tersenggal di tenggorokannya, mengisi udara ke paru-parunya melalui selang oksigen. “Kapan saya bisa sembuh?”
Aruna melihat dengan jelas jika mata Alzi mulai berlinang. Pria itu menyimpan rasa sakitnya sendiri, tidak ada siapa pun yang bisa dijadikan pelampiasan kesedihannya. Sebetulnya, bukan keinginan untuk sembuh yang seharusnya Alzi lontarkan tadi, tetapi Alzi hanya kebingungan bagaimana untuk mengatakan jika ia membutuhkan pendamping tetap. Bukan sementara seperti perawat macam Aruna. Alzi ingin sembuh dari rasa kesendiriannya.
Tangan Alzi terangkat mengambil tangan Aruna dan diletakkan di atas dadanya. Membiarkan Aruna merasakan denyut jantungnya yang berdetak sedikit kencang.
“Saya ingin menjadikanmu sebagai pasangan saya.” Tangis Alzi semakin sini mulai pecah dan menderas, seperti hujan di luar rumahnya.
Langit memahami suasana hati seseorang.
“Saya ingin selalu berjalan bersama kamu di taman ketika menjelang senja. Saya ingin menyalakan kembang api untukmu ketika hari spesial. Saya juga ingin mengajakmu ke konser musik artis favoritmu. Saya ingin mengenalkan dirimu kepada dunia, perihal paras cantik yang kamu miliki.”
Dahulu Alzi benar-benar tidak menerima keadaan dirinya yang lumpuh dan lemah, ia sering merutuki diri sendiri, ia selalu menyalahkan segala hal dan memilih mengurung diri di dalam kamar. Namun, jika tanpa kehadiran penyakitnya, Alzi tidak akan bertemu dengan gadis sehangat Aruna, biarpun ia merupakan mantan penggemarnya. Aruna tidak sepeti penggemar pada umumnya, Alzi merasa mereka memang ditakdirkan untuk bertemu dengan maksud lain.
Pertemuan mereka masih terlalu muda untuk mengungkapkan perasaan, terhitung dua bulan bukan perkenalan yang lama. Namun, dikarenakan masing-masing saling membersamai dalam wktu 24 jam penuh, ada kemistri tersendiri yang timbul dari benak mereka. Karena Alzi-lah Aruna harus kehilangan kedua orang tuanya di usia yang sangat belia. Maka, dengan ini Alzi harus mempertanggungjawabkan akibat tersebut. Akan tetapi, Alzi masih ragu dengan pendiriannya.
Tangan lain Alzi naik mengusap kedua mata yang basah karena bendungan airnya sudah hancur tak tertahankan. Kali pertama Aruna melihat Alzi serapuh ini. Terakhir Laras mengatakan jika Alzi tidak mudah dibodohi oleh cinta, terlebih perasaan yang pura-pura. Jikapun pernah Alzi tersenyum atau memuji diri Aruna, pasti ada sesuatu yang lain dari pria itu. Namun, Aruna tidak pernah menyangka bahwa sesuatu yang lain akan ditunjukan kepada dirinya. Dan Aruna kini terbawa suasana.
“Tapi nyatanya, saya hanya pria lumpuh yang terduduk di kursi roda. Saya hanya pria dengan penyakit paru-paru yang kambuh ketika malam hari. Saya juga pria yang trauma dengan suara keras. Dan... Saya adalah pria yang takut berada di keramaian.”
Sejauh ini, Aruna hanya bisa diam. Ia menatapi Alzi dengan pilu, tidak berani memotong pembicaraan penuh lukanya.
“Jika kamu bersama saya, nanti yang ada kamu menderita. Saya tidak bisa mewujudkan keinginanmu ....” Alzi menggantung kalimatnya sejenak.
Ia memejamkan kedua matanya, berharap air mata bisa terhenti bersama isak tangisnya. Alzi tidak mau menangis di depan Aruna, Alzi tidak mau terlihat lemahyang nyatanya memang begitudi hadapan orang yang ia cintai.
“Mana semangat Anda?”
Alzi membuka matanya secara perlahan, menatap Aruna walau tidak jelas karna masih ada air di kelopak matanya.
“Mana semangat membara Pak Alzi yang selama ini berkobar? Pak Alzi sering bilang kepada Aruna, bahwa sejak kehadiran Aruna di sini, semangat Pak Alzi untuk sembuh meningkat drastis, kan? Pak Alzi juga bilang kepada saya, ingin sembuh demi mewujudkan Laras kecil yang kehilangan figur ayahnnya, kan?”
Senyum Aruna semakin lebar ketika Alzi mengangguk. Tangannya menggeggam tangan Alzi dengan erat, berharap bisa menguatkan pria setengah paruh yang masih tetap terlihat muda itu.
“Hubungan kita hanya sekedar suster dan pasiennya, tetapi semangat Pak Alzi sudah semembara ini. Bagaimana jika hubungan kita lebih dari itu? Wah ... pasti langsung sembuh.” Aruna terkekeh pelan untuk mencairkan suasana.
“Pak Alzi,” panggil Aruna dengan halus. “Saya bukan gadis yang setiap keinginannya harus dikabulkan, itu hanya angan-angan saya saja. Tapi yang pasti, saya adalah gadis yang pandai merawat, walaupun saya baru berpengalaman selama dua bulan ini.”
Alzi menarik kedua ujung bibirnya perlahan, sehingga tergambar senyum tipis pada wajah pria itu. Namun, sedetik kemudian Alzi menautkan kedua alisnya tiba-tiba, seolah ada yang menjanggal dalam pikirannya.
“Tunggu ... kamu bilang tadi, bagaimana jika hubungan kita lebih dari itu, kan?” tanya Alzi memastikan jika ia tidak salah mendengar.
Aruna mengangguk yakin sambil tersenyum manis. Saat itu juga Alzi bergerak bangkit dari tidurnya membuat Aruna terkejut. Untungnya Aruna bisa spontan membantu Alzi yang ingin terduduk secara tiba-tiba ini.
“Kamu ingin hubungan kita seperti itu? Lebih dari sekedar suster dan pasien. Kamu menginginkannya?” tanya Alzi penuh antusias.
“Seberani apa saya sampai melarangnya? Toh, kenyataannya saya pun menyimpan rasa kepada pria yang usianya jauh di atas Aruna ini,” ujar Aruna sambil punggung tangan pria itu.
Senyum Alzi semakin merekah di wajahnya, pria itu mendekatkan diri kepada Aruna, mempertipis jarak di antara keduanya. Alzi menatap dalam-dalam wajah Aruna.
“Kalau begitu, kita hari ini resmi sepasang kekasih?” tanya Alzi memastikan kembali.
Aruna tersipu malu-malu tapi mau menjawab iya. Tidak disangka Aruna akan mengatakan hal yang sejujurnya belum siap dikatakan, yaitu tentang Aruna yang menyukai Alzi. Gadis itu membuat isyarat jangan berisik kepada Alzi, takut Laras di kamar akan mendengarnya.
“Ayo, kita menikah!”
Mata Aruna membesar terkejut. Bukan karena Alzi yang tiba-tiba mengajak nikah, tapi secepat itu perubahan emosi Alzi, yang awalnya sedih menjadi sangat ceria seperti ini.
“Hujan, Pak, sudah malam juga.”
Alzi menurunkan senyumnya, perlahan Alzi menyandarkan punggung ke bantal di belakang. Hal itu membuat Aruna kembali menoleh. Aruna tersenyum manis sambil mengusap-usap pipi Alzi, membujuk supaya Alzi tidak merajuk.
“Lagi pula, cepat sekali Anda ingin mempersunting saya. Restu dari anak Anda saja belum kita dapatkan,” kekeh Aruna.
Hening setelah itu, suara hujan di luar semakin menggelegar. Beberapa kali tubuh Alzi dikejutkan oleh suara guntur, tersentak hingga mencengkeram tangan Aruna tanpa sengaja. Lantas gadis itu beranjak berdiri untuk mengambil penutup telinga yang berbentuk seperti headphone.
“Pakai ini, agar tidur Anda lebih tenang. Di luar banyak sambaran kilat,” titah Aruna sambil memakaikan penutup telinga itu.
Alzi langsung menahan tangan Aruna untuk tidak memasangkan benda itu di telinganya. “Jika saya memakai ini, saya tidak bisa mendengar suara indahmu.”
Aruna tertawa pelan mendengar gombalan Alzi barusan. Sejujurnya jantung Aruna berdegup dua kali lipat, baru kali pertama Aruna digombali seperti ini.
“Hanya malam ini saja, Pak. Takutnya Anda akan tiba-tiba terbangun dan menangis bila mendengar kilat,” bujuk Aruna.
Alzi mengembuskan napas pelan, ia menuruti perintah Aruna demi melihat gadis yang telah resmi menjadi kekasihnya senang saja. Mata Alzi mengerjap tapi masih memandangi gadis di sebelahnya. Alzi terlihat sudah mulai ngantuk, tetapi ingin lebih lama memandang Aruna.
Setelah penutup telinga yang hangat itu dipasangkan, Aruna menepuk-nepukkan paha Alzi agar tertidur. Perlahan mata Alzi menutup, tetapi senyum di bibirnya masih mengembang dan tidak hilang.
Yakin Alzi sudah tertidur, Aruna mendekatkan wajahnya ke wajah Alzi, secara sengaja Aruna mengecup pelan kening Alzi dengan perlahan supaya Alzi tidak terbangun.
“Mimpi indah, Pangeranku.”
Aruna berdiri dari duduknya, lalu membenahi selimut Alzi yang kurang rapi sebelumnya. Aruna melangkah ke ambang pintu, sesekali gadis itu menoleh ke belakang untuk memastikan Alzi tertidur pulas dan tidak ada masalah dengan tabung atau selang oksigen. Setelah itu Aruna keluar dan menutup pintu sangat pelan, meminimalisir suara gesekan pintu.
Aruna terdiam memandang ke luar jendela setelah berjalan meninggalkan kamar Alzi. Aneh rasanya, Aruna tidak pernah memiliki perasaan terhadap lelaki, apalagi memiliki sebuah hubungan. Lantas, bagaimana ia harus menyikapi Alzi setelah ini? Selain atas dasar perlakuannya sebagai seorang perawat.
“Papa udah tidur?”
Gadis Tanpa Langkah tiba-tiba hadir di belakang Aruna. Ia sudah duduk manis dengan secangkir cokelat hangat dalam genggamannya. Sementara Aruna begitu yakin jika sebelumnya tidak ada tanda-tanda kehidupan Laras
“Sudah. Karena hujan, Pak Alzi kesulitan untuk tidur. Dan—”
“Aku mendengar percakapan kalian,” potong Laras, nadanya lumayan mencekam. Belum lagi tatapan Laras begitu datar, sama seperti tatapan saat pertama kali mereka bertemu di kafe tempo waktu lalu.
“Semoga Mbak bisa mempertanggungjawabkan keputusan Mbak.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Journey of Personal Nurse [TERBIT]
RomanceAruna Runyza, seorang gadis berusia 20 tahun yang awalnya bekerja sebagai administraser pada sebuah Home Care Servise mendapat kesempatan untuk menjadi bagian dari perawat pribadi. Pasien pertamanya adalah seorang duda anak satu berusia 39 tahun ber...