Jurnal Keenam; Kilas Balik

416 41 15
                                    

12 tahun yang lalu ....

“Zi?”

Alzi menoleh ke belakang dengan senyum merekah, seolah penat yang ia rasa menghilang begitu saja. Meski saat itu juga ia mendapat tumpuan berat di bagian bahu karena si pemanggil meletakkan sikutnya di sana.

“Udah mau pulang, Bro?"

Alzi mengangguk, senyumnya seketika berubah menjadi terlihat terpaksa. Lelaki itu menghempaskan bahu Haekal, sahabat sekaligus managernya. Sudah lelah seharian bekerja, harus menahan beban.

Foto model kali ini adalah untuk memenuhi projek besar yang diadakan oleh perusahaannya, mereka tengah berkolaborasi dengan sebuah forum remaja. Alzi yang terpilih untuk menjadi modelnya, di antara banyak sekali model di perusahaan itu. Kebetulan nama Alzi sedang tinggi-tingginya dikenal oleh banyak orang. Perusahaan memanfaatkan ketenaran Alzi, pria yang memiliki putri kecil itu juga tak keberatan dengan banyaknya permintaan jadwal pemotretan.

“Mau dianterin kaga?”

Alzi kali ini menggeleng, menolak tawaran Haekal yang baik ingin mengantar Alzi. Biasanya Haekal selalu mengantar Alzi sampai benar-benar masuk ke dalam rumah, terutama tugas utamanya sebagai manager selama 7 tahun terakhir.

“Saya bawa mobil sendiri kok. Hari ini hari ulang tahun Laras, saya berencana menyusul mereka untuk bertemu di kafe, sepertinya Laras dan Jean sudah sampai di sana sekarang.”

Haekal terkesiap. Ia tidak ingat jika anak kecil yang sering bertengkar dengannya setiap bertemu itu sedang ulang tahun hari ini. Waktu menunjukan pukul tujuh malam, tidak ada kesempatan baginya membelikan hadiah untuk Laras.

“Udah beli hadiah?” tanya Haekal.

Alzi mengangguk dan menjawab, “Ada di mobil.”

Pria yang sedikit pendek ketimbang Alzi itu berdecak kesal. Padahal ia ingin menitipkan uang kepada Alzi jika belum membeli, agar Alzi bisa memberikan sesuatu yang diinginkan putrinya, tetapi atas nama pemberian Haekal.

Tanpa berlama-lama lagi Alzi pergi ke basement untuk bersiap menghadiri pesta ulang tahun sang putri yang ke-6 tahun. Pasti sudah ada rekan-rekan yang ia undang, juga teman-teman Laras dari taman kanak-kanak. Sebetulnya Haekal juga diundang hadir, tetapi ia terus beralasan terlupa, belum membeli hadiah, dan lain sebagainya. Namun, ia berjanji besok pagi akan datang ke rumah untuk memberikan hadiah itu. Alzi tahu pasti bagaimana watak manager sekaligus sahabatnya yang jarang menepati janji, jadi ia tidak terlalu memaksakan.  

Sembari menunggu mesin mobil panas agar di tengah perjalanan tidak terkendala apa pun, Alzi terus saja memandangi tumpukan hadiah yang ia taruh di kursi belakang. Kardus berisi sepatu roda yang terbungkus rapi oleh kertas kado, boneka beruang besar yang memakan setengah kursi, bunga-bunga berwarna pink yang berbahan plastik, dan tas sekolah baru dengan merk ternama. Alzi hanya memastikan semua hadiah masih terlihat aman dan bagus.

Pria yang berusia 27 tahun itu menyandarkan kepala di sandaran jok mobil. Membayangkan bagaimana raut wajah bahagia putrinya saat mengetahui sang ayah memberi setumpuk hadiah, belum lagi hadiah yang diberikan oleh para tamu undangan. Alzi dan Jean sengaja menjadwalkan acara pesta sedikit malam. Selain karena mengikuti jadwal pemotretan Alzi dan Jean yang cukup padat, waktu malam tidak menarik banyak perhatian media terutama wartawan yang kepo dengan kehidupan pribadi mereka.

“Laras, Papa datang untukmu, Nak,” gumamnya seraya memasukkan gigi mobil, lalu mobilnya melaju memecah jalanan malam di Bandung hari ini.

Alzi menambah kecepatan mobil agar lebih cepat sampai ke kafe tujuan, supaya Jean tidak semakin mengamuk karena telat datang ke pesta putrinya sendiri. Suatu hari Alzi pernah datang terlambat untuk makan malam bersama Jean, beberapa saat sebelum mereka menikah. Alzi masih bisa membayangkan kembali betapa marahnya Jean akan hal tersebut, sampai mengancam akan membatalkan pernikahan. Maka dari itu, Alzi enggan melakukan kesalahan yang sama dan berujung fatal.

Alzi terfokus kepada jalanan yang cukup gelap, dengan kecepatan lebih dari 120 KM/jam. Tidak peduli akan melindas atau melewati apa, Alzi ingin sampai secepatnya di tempat tujuan.

Rasa lelah sebetulnya masih menyeruak dalam tubuh Alzi, terasa jika seluruh bagian badannya merasakan sakit dan linu yang besar. Alzi memijat bahunya menggunakan sebelah tangan, sebelah lagi masih terus memegang setir mobil.
Ia mengembuskan napas pelan berharap linu pada sendinya mereda. Namun, lama-lama dadanya mulai merasakan sakit, napas Alzi juga memendek.

Apa yang terjadi padaku? Aku tidak bisa bernapas lancar, batin Alzi. Dada pria itu semakin sakit, sebelumnya tidak pernah ia merasakan seperti ini.

Mobil Alzi melewati perempatan jalan, di mana tengah bundaran itu terdapat sebuah taman indah. Biasanya banyak lampu yang menyala, tetapi kali ini hampir semuanya mati. Sekilas Alzi melirik taman tersebut, lalu meringis kesakitan, ia sempat memejamkan matanya untuk menetralisir rasa sakit tersebut.

TINNNN! Suara klakson mobil itu memenuhi seluruh pendengaran Alzi, ia membuka matanya, saat itu juga cahaya putih menabrak pandangan pria itu.

BRAKKKK
Kedua mobil itu saling berhantaman dengan kuat, menimbulkan bunyi benturan yang cukup menggelegar. Sebab kerasnya benturan membuat mobil Alzi terpelanting jauh, berguling sejauh 4 kilometer dan berhenti menabrak pohon yang cukup besar.

Napas Alzi tercekat, kepalanya berkali-kali berbenturan ke kaca dan setir. Alzi mengerjapkan kedua mata untuk memperjelas pandangan, tetapi pandangannya semakin buram. Di ujung kesadaran ia merasakan sakit sekali pada bagian kaki. Saking sakitnya kaki itu, tidak dapat digerakkan. Tak hanya area kaki, kepala bahkan sampai seluruh tubuh Alzi juga merasakan sakit yang luar biasa.

Mulutnya terus bergumam memanggil nama istri dan anaknya, ia meminta maaf, berucap bahwa dirinya akan segera tiba dengan apa pun caranya. Namun, Alzi tidak mampu menggapai engsel pintu untuk membuka. Seluruh tubuhnya terkunci oleh luka. Dan kedua mata pun mulai berat ingin tertutup.

“Papa segera ke sana, Laras ....” 


✧✿✧


Bau obat menusuk dalam penciuman Alzi, ia meringis kesakitan sesaat sebelum membuka kedua matanya. Seluruh tubuhnya seakan diterpa bangunan bertingkat yang menghancurkan sebagian tulang. Alzi menggerakkan tangan dengan perlahan, menggapai kepalanya yang terasa pening bukan main.

Tak lama, seseorang terlihat bergerak dari samping Alzi. Membuat Alzi yang masih berada di ambang kesadaran tergubris dan terusik, gerakan itu terlalu rusuh.

“Bang Alzi? Abang masih hidup? Gu-gue panggilin dokter, ya, bentar.”

Alzi terus menatap orang tadi, mengunci tatapan ditambah bingung sedang ada di mana. Pria itu hanya ingat terakhir kali sedang berada di jalan untuk pulang. Matanya kian membesar saat menyadari bahwa ia belum menghadiri pesta ulang tahun sang putri. Gawat, Alzi takut istrinya akan murka sejadi-jadinya.

Seorang dokter menghampiri Alzi, memeriksa seluruh tubuh Alzi kemudian berbicara pada orang yang sebelumnya menemani Alzi saat tidak sadar tadi. Sesudah semuanya selesai, dokter memerintahkan para perawat untuk melepas segala macam alat bantu hidup; masker oksigen, beberapa kabel yang tersambung pada reka medis, alat pacu jantung, karena dirasa kondisinya cukup baik. Kemudian mereka keluar meninggalkan Alzi dan Jidran di sana.

Alzi masih menatap tidak mengerti pada orang di sampingnya, menarik Jidran untuk membalas tatapan dengan senyum menenangkan.

“Gue kira Abang nggak bakal sadar, gue udah panik.” ujar pria itu sambil mengelus dadanya sendiri.

Alis Alzi bertaut tidak mengerti, ia sedikit mengangkat kepalanya. “Memang saya kenapa? Di mana istri dan anak saya? Ini jam berapa?”

Nama pemuda tadi adalah Jidran, merupakan salah satu asisten yang telah dianggap seperti adik sendiri oleh Alzi selama tujuh tahun terakhir. Ia sedikit membungkukkan tubuhnya mendekat kepada Alzi untuk menjelaskan semua. Suara Alzi sangat kecil dan lemas, tenaganya belum terkumpul juga, jadi Jidran akan berbicara dengan pelan agar Alzi tidak terkejut saat diajak berbicara seperti ini.

“Abang abis kecelakaan tunggal sepulang kerja kemarin, Abang udah koma selama dua minggu. Semua orang mengkhawatirkan Abang pergi, ngnggak ada tanda-tanda kehidupan selama Abang koma. Namun, syukur sekarang Abang udah sadar.”

Alzi mencoba mendudukkan tubuhnya. Sempat Jidran melarang Alzi, tapi pria itu memaksa ingin duduk. Jidran pun berinisiatif membantu Alzi, ia juga menaikkan sandaran brankar Alzi agar bisa terduduk sambil bersandar. Hidung Alzi masih ditempeli nasal cannula untuk berjaga, sesuai pemeriksaan saat ditemukan di lokasi kejadian, paru-paru Alzi mengalami penyumbatan dalam salurannya. Itu merupakan kemungkinan penyebab pertama Alzi mengalami kecelakaan.

Tak lama mata Alzi membesar cukup lebar, ada satu hal yang baru disadari oleh pria itu. Alzi meraba kedua kakinya menggunakan kedua tangan yang masih lemah, lalu ia menyingkapkan kain selimut yang membaluti setengah tubuhnya.

“Kaki saya ....” Alzi menggantung perkataannya.

Pria itu menoleh kepada Jidran dengan tatapan panik, sementara Jidran seperti menghindari tatapan Alzi. “Kaki saya tidak bisa digerakkan.”

Jidran tertunduk lesu. Ia juga memejamkan matanya agar tidak bisa melihat ekspresi kecewa Alzi. Lelaki itu sangat bingung harus berkata seperti apa untuk menjelaskan keadaan Alzi yang sekarang, bahwa pria itu telah dinyatakan lumpuh seumur hidup. Kecelakaan kemarin membuat tulang sumsum sampai tulang ekornya retak parah, kecil kemungkinan untuk disembuhkan meski akan melewati banyak terapi, dokter berkata demikian.

Tangan Alzi terangkat menggapai lengan Jidran, ia juga menggoyang-goyangkan tubuh Jidran agar pria itu membuka mata dan membalas tatapannya.

“Kenapa kaki saya tidak dapat digerakan, Ji? Kenapa?”

Jidran masih terdiam. Hingga Alzi kembali bersuara, “Saya lumpuh? Saya dinyatakan lumpuh, kah?”

Alzi semakin merasa panik, dirinya tetap bersusah payah untuk bergerak. “Jidran, jika saya lumpuh, maka saya tidak bisa bekerja, Ji. Jean, istri saya pasti akan semakin kecewa dengan saya, Ji.”

Alzi masih mengguncang tubuh Jidran, berharap pria itu akan menjawab atau setidaknya merespon perkataan Alzi. “Jawab, Ji. Jawab saya.”

Perlahan Alzi melepaskan cengkeramannya, ia telah pasrah walau belum sepenuhnya mengikhlaskan keadaan. Alzi menyandarkan kepalanya ke bantal, menatap langit-langit kamar yang berhasil ia duga merupakan rumah akit ini.

Jidran akhirnya berani menatap Alzi yang sudah terdiam, mungkin sahabatnya ini sudah sedikit tenang dari sebelumnya. Jidran mengembuskan napas pelan, lalu menceritakan semua tentang keadaan Alzi dan juga hasil dari pekeriksaan TKP tentang kecelakaan dua minggu yang lalu.

Journey of Personal Nurse [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang