Alzi menggeleng-gelengkan kepala, memaksa dirinya untuk tersadar dari lamunan panjang. Ia telah merasakan guncangan di bahu sebelah kiri sedari tadi, hal itu membuatnya menoleh ke samping. Hadirlah di sana seorang gadis cantik, seperti bidadari yang mengobati luka dalam batinnya.
“Pak Alzi melamun, ya?” tanya Aruna dengan senyum manisnya.
Aruna kemudian mensedekapkan kedua tangan dan bersandar pada sandaran kursi, bibirnya dimajukan seolah kesal pada Alzi yang sedari tadi tidak merespons cerita panjangnya. Padahal ia sendiri yang meminta Aruna untuk bercerita perihal masa lalunya, tetapi justru Alzi yang terbawa suasana sampai membayangkan tragedi masa lalu yang menimpa sampai berpengaruh ke masa depan.
Sejenak pria itu menatap Aruna yang mulai sibuk lagi kepada aktivitasnya; merapikan obat-obatan kiriman dari rumah sakit. Rumah Sakit Fanfa secara rutin mengirim obat dalam jangka waktu dua minggu sekali ke rumah pasien yang menyewa perawat pribadi. Hal ini memudahkan para pasien, terutama lansia yang benar-benar enggan keluar dari rumahnya.
Gadis itu masih asyik menata obat sesuai jadwal, seperti jenis obat A untuk jam sekian, B untuk selepas makan, dan sebagainya. Sudah 12 tahun Alzi ditimpa kelumpuhan dan berbagai penyakit lainnya, tetapi ia masih belum bisa mengingat obat mana yang harus dikonsumsi sesuai jadwal. Selama ini Alzi hanya memikirkan kematian, ia ingin segera pergi dari dunia yang fana ini. Maka jika Alzi terlepas dari pengawasan, ia akan memakan obat apa pun yang terlihat oleh mata kepala.
Akan tetapi, semenjak kehadiran Aruna dalam hidupnya, rasanya Alzi ingin mengingat semua jadwal itu. Pandangan Alzi beranjak memperhatikan bagaimana Aruna menyimpan obat-obatan yang rata-rata kapsul atau tablet, begitu telaten dari balik sarung tangan untuk menjaga kehigienisannya.
“Terima kasih, Aruna, sudah mau bertahan merawat saya.”
Padahal sudah hari ke sekian, tetapi Alzi baru teringat jika tempo hari Aruna sempat diancam akan ditukar oleh putrinya. Maka pria itu berterima kasih untuk menghargai negosiasi kemarin yang membuat Aruna bisa bertahan ada di sini.
“Jangan berterima kasih ke saya, Pak. Tapi, kepada putri Anda. Dia mau menerima saya di sini, padahal saya dan dia masih memiliki sedikit masalah yang belum terselesaikan.”
Alis Alzi bertaut tidak mengerti. Ia pikir Laras hanya sekadar gadis yang menyebalkan dan tidak betahan jika ada orang asing menginap di rumahnya, Alzi tidak pernah menyangka bahwa dua perempuan muda ini memiliki masalah yang bertahan selama berminggu-minggu. Sementara Aruna, dirinya tertegun di tempat. Setablet obat dalam genggaman tak jadi ia jatuhkan, Aruna keceplosan.
“Masalah simpel, Pak. Anda tidak usah menghiraukannya. Biasa perempuan,” ujar Aruna dengan sedikit kekehan di belakangnya. Kemudian ia beranjak pergi membuang sampah.
Alzi menyandarkan kepala lagi, tegang uratnya kembali terurai. Semoga bukan masalah yang akan memecah belah mereka berdua, harap Alzi demikian. Kalau tidak masalah yang sama akan terulang kembali, bahkan berujung perpisahan. Sudah cukup perpisahan yang dirinya alami selama ini, ia tidak ingin menghadapinya lagi.
“Sepertinya, gara-gara Mbak itu, Papa jadi tambah semangat, ya?”
Sumber suara berasal dari ambang pintu, bersedekap sembari bersandar menatap Alzi. Kini Laras harus dijuluki sebagai Gadis Tanpa Langkah, sebab kehadirannya selalu di luar dugaan, orang rumah tidak pernah menyadari derap langkah Laras ketika mendekati, selalu membuat jantung hampir jatuh.
Kedua sudut bibir Alzi tertarik sempurna. Barulah ia menyadari bahwa selama ini sangat kurang berinteraksi dengan putrinya. Hanya sekadar mengetahui jika Laras masih hidup. Selama ini perawat yang berganti-ganti itu dianggap seperti asisten rumah tangga. Selain merawat Alzi yang sakit, mereka juga mengurus kebutuhan rumah bahkan seolahnya Laras.
Alzi sangat tertutup. Ia bersalah kepada putrinya. Tempo lalu Alzi kekurangan semangat hidup, dan semuanya diutarakan pada Laras. Alzi yakin, dalam hati Laras merasa kesedihan yang tiada tara.
“Putri Papa sudah besar ....”
Laras sedikit tersentak mendengar penuturan ayahnya. Tangan Laras perlahan turun dan menyikapkan gugup, ujung matanya juga seakan didobrak oleh air mata yang ingin keluar. Entah ia sakit hati dengan kalimat yang menyimpulkan bahwa Alzi benar-benar tidak memerhatikan perkembangannya, atau rasa rindu karena sudah lama tidak dipanggil putri oleh ayah sendiri.
Laras sangat bingung harus sedih atau bahagia. Akhirnya setelah sekian tahun dirinya dapat kembali melihat senyuman ayahnya.
Gadis itu menoleh ke belakang, kepada Aruna yang beberapa langkah darinya. Si perawat mendukung Laras untuk masuk, menggunakan gerakan tangan yang menyuruh agar segera menghampiri. Namun, Laras sangatlah ragu. Pasti akan canggung jika berdekatan dengan ayahnya. Sebab selama ini, dirinya hanya bisa memarahi ketika Alzi menyebalkan atau sulit diatur.
“Papamu rindu denganmu,” bisik Aruna.
Laras meneguk salivanya, tenggorokan terasa kering sekali. Tak lama ia memberanikan diri masuk ke dalam menghampiri papanya, dengan suasana hati yang sangat berbeda ketimbang biasanya, belum lagi cuaca cerah di luar seakan mendukung mereka untuk memperbaiki komunikasi yang kurang baik.
“Terima kasih sudah berusaha memberikan yang terbaik untuk Papa, Nak.” Alzi mengusap-usap pucuk kepala putrinya saat sudah duduk di tepi kasur. Rasa rindu juga menyeruak dalam benak Alzi, seolah bisa melihat sosok mantan istrinya dalam rupa Laras.
“Papa telah memisahkan kamu dari ibumu. Mengapa sekarang kamu tidak berusaha mencarinya agar lebih bahagia?”
Laras mendengkus pelan, sebenarnya menyembunyikan sebuah isakkan yang akan keluar. Kemudian gadis itu menggeleng. “Dari kepergian Mama secara tiba-tiba, membuat Laras belajar; bahwa hidup akan bergantung kepada siapapun yang ingin membersamainya.”
Perlahan Laras memberanikan diri menatap Alzi, tidak lagi peduli akan ada tetes air mata yang membeludak keluar dari kelopak matanya.
“Laras tetap di sini, Pa. Merawat dan menjaga Papa sampai pulih lagi, dengan harapan Laras bisa merasakan kasih sayang Papa secara sempurna. Laras dulu kekurangan kasih sayang selama Papa berkarya di dunia permodelan, Papa jauh lebih sibuk ketimbang Mama.”
Laras mengatur deru napasnya yang tercekat. “Nanti kalau Papa udah sembuh, Laras mau dimanja lagi sama Papa, Laras mau dinina bobokan sama Papa seperti dulu. Tak peduli berapa pun usia Laras nanti, Pa. Laras rindu dengan masa kecil Laras.”
Pipi Laras telah basah. Melihat tangisan dan rentetan kalimat Laras, Alzi jadi merasa bersalah atas sikapnya selama ini terhadap putri sendiri. Seharusnya ia tidak bersikap dingin setelah mengalami sakit serta kelumpuhan. Seharusnya Alzi bisa lebih banyak meluangkan waktu untuk membesarkan Laras dengan segala keterbatasannya. Alzi tau, di luaran sana banyak orang tua yang berhasil menyukseskan anak mereka walau mengalami segala kendala, terutama dalam hal fisik dan biaya.
“Tapi ... Laras capek, Pa. Laras sekarang udah kerja. Namun, Laras lagi capek-capeknya ngadepin dunia.” Tangis gadis itu semakin pecah.
Dipeluknya sang putri ke dalam dekapan. Alzi sudah mengorbankan Laras untuk dirinya sendiri, walau sebetulnya Alzi tidak meminta perlakuan itu. Sekarang semangat hidup Alzi telah kembali, dan ia baru menyadari sebanyak itu perjuangan Laras untuk mempertahankan hidup.
Tangan Alzi tak henti-henti mengusap kepala Laras, beberapa kali beralih pada punggun tegarnya. “Papa berjanji akan sembuh dalam waktu cepat, ya, Nak. Papa akan kembali memberikan kasih sayang untukmu seorang. Sekarang kamu bisa istirahat dulu, fokus sama tujuan masa depan kamu, ya? Putri Papa ini akan lanjut kuliah, kan?”
Sembari menghentikan isakkannya, Laras menganggu-angguk antusias. Alzi bisa membaca perjuangan Laras untuk lolos ke perguruan tinggi melalui kantung mata. Ia tahu Laras sering bergadang demi belajar, belum lagi pekerjaan yang membuatnya kerap pulang terlambat.
“Kamu berhenti kerja dulu, ya,” anjur Alzi, demi kebaikan kesehatan Laras.
Kali ini Laras terdiam cukup lama. Ia tidak ingin memberitahu bahwa biaya keperawatan Aruna baru dibayar setengahnya saja. Mana mungkin harus menghentikan kerja, ia akan dapat uang dari mana? Jika kontrak Aruna dihentikan di tengah jalan, pasti akan menimbulkan kecurigaan ayahnya. Bisa-bisa semangat hidup itu kembali berkurang seperti sebelumnya.
Gadis itu tertawa kecil. “Iya, Pa. Semoga Laras bisa berhenti kerja. Soalnya Laras lebih nyaman kerja ketimbang sekolah, orang-orangnya baik dan ramah.”
“Kerja apaan pakai baju minim gitu?” Aruna celetuk penasaran. Awalnya ia memang terharu atas interasi ayah anak ini, beberapa bulir air mata juga sempat ikut terjun membasahi pipi. Namun, sekarang justru membuat urat nadi Laras menegang.
Laras tersentak dari duduknya, melepaskan pelukan Alzi yang belum sempat melonggar. Sialan, batin Laras mengumpat.
Alzi terlihat celingukan di antara dua gadis yang tengah bertatap tajam, bahkan tatapannya itu sangat sengit dan mencekam. Rasa-rasanya Alzi ingin segera melarikan diri. Sedari dulu pria itu tidak pandai memisahkan kekisruhan antar sekelompok atau antar orang.
“Ini ada hubungannya sama masalah sepele kamu, Run?”
“Iya, Pak. Dia banjur saya subuh-subuh pakai air kopi yang dingin!” adu Aruna sembari menunjuk gadis di seberangnya.
Alis Laras bertaut marah. “Habisnya dia liatin Laras terus, Pa. Laras jadi tersinggung. Ya udah Laras banjur dia pakai kopi pesanan Laras.” Gadis itu tak mau kalah, sebab ia yakin seorang ayah pasti akan tetap membela putrinya.
“Kamu salah paham, Laras. Saya nggak mikir yang bukan-bukan sewaktu saya liatin kamu. Main fitnah aja,” timpal Aruna semakin menaikkan nada suara.
“Heh, kalau nggak mikir yang bukan-bukan, kenapa tadi curigain pekerjaan gue? Ya, suka-suka gue mau kerja apa, yang penting gue dapet duit, Mbak juga dibayar karena hasil kerja gue, ya!” Air mata yang tadi membasahi kedua pipi Laras seperti terserap kembali. Suasana hari itu kini berubah menjadi pertengkaran yang semakin sengit.
“Sudah, sudah!” Akhirnya Alzi menengahi dengan mantap. “Laras, bisa kembali ke kamarmu dulu? Papa mau bicara dengan Aruna.”
Alis Laras bertaut, ia curiga kepada anjuran tersebut. Mengapa dirinya harus masuk kamar? Seolah ingin membicarakan hal yang privasi sampai dirinya tidak boleh mengetahui. Padahal, Laras sudah cukup dewasa. Lagipula mereka bukan siapa-siapa dan Laras yang membawa Aruna datang ke rumah ini, Laras harusnya lebih tahu dan lebih dekat dengan Aruna ketimbang papanya.
“Laras belum siap punya mama baru, Pa,” celetuk Laras dengan gelengan lesu, membuat Alzi yang sebenarnya belum bermaksud melepas masa dudanya itu tertawa.
“Laras ... bukan begitu maksud Papa. Ayo, sekarang pergi ke kamarmu.”
Laras kemudian meninggalkan kamar papanya dengan perasaan lega, sebab sudah menyelesaikan masa senggang dan jarak komunikasi yang bertahan selama bertahun-tahun. Namun, ketika melewati Aruna yang masih berada di ambang pintu, ia melempar tatapan sengit.
“Sampai kapan pun, keluarga aslinya akan selalu menang. Ingat itu, Mbak.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Journey of Personal Nurse [TERBIT]
RomanceAruna Runyza, seorang gadis berusia 20 tahun yang awalnya bekerja sebagai administraser pada sebuah Home Care Servise mendapat kesempatan untuk menjadi bagian dari perawat pribadi. Pasien pertamanya adalah seorang duda anak satu berusia 39 tahun ber...