[Flashfiction #19]

588 59 2
                                    

"Sudah kaupastikan tak ada tanda apa pun?" Harry Potter bersuara. Matanya yang sayu kompak terarah pada tubuh terbujur kaku di hadapannya.

"Tak ada jejak satu pun, Sir."

Harry mengangguk pada anak buahnya sebelum lantas ia menyuruh pria berbadan kurus itu keluar. Membiarkannya berdiam seorang diri di hadapan sepasang tubuh yang terbujur. Ya, tak hanya satu jasad. Operasi yang berlangsung selama hampir 72 jam itu membuat sosok paling disegani di dunia sihir tersebut menemukan sepasang jasad. Seorang pria bertubuh jangkung dan perempuan berambut brunette. Si pria nampak memeluk si perempuan dari belakang. Dari punggung hingga perut keduanya, menyebul sebuah pedang yang kini berlumur darah.

Harry Potter jatuh berlutut. Di hadapannya kini terpampang jelas nasib lain yang tengah ia hadapi. Seorang bayi yang kehilangan orang tua, sama sepertinya. Dan, sepasang sahabat yang tinggal nama. Jantungnya serasa diremas begitu mendapat kabar serangan dadakan yang muncul setelah perang resmi berakhir sepuluh tahun lalu. Sepanjang hari setelah beberapa tawanan Azkaban kabur, ia menjadi sibuk. Mengawasi satu per satu tempat. Hingga luput akan nasib dua orang sahabat yang, harusnya, ia sadari menjadi umpan empuk dalam peperangan yang sekali lagi, telah terjadi.

Tangis bayi dari keranjang tepat di samping dua jasad tersebut terbujur kaku berhasil menyadarkan kembali sang kepala Auror. Ia mendekat. Meraih dengan tangan gemetar tubuh bayi berambut pirang platina tersebut. Bayi yang berusia tak kurang dari delapan bulan. Matanya yang berwarna abu-abu menatapnya lekas. Sebelum sebuah senyum merekah dari bibirnya yang mungil.

"Hai, Scorp, Paman mengejutkanmu?" Harry bermonolog. Ia memeluk tubuh ringkih Scorpius, putra dari kedua sahabatnya yang ia temukan bersimba darah. Matanya lantas menemukan secarik kertas. Menyebul dari bantal yang di keranjang bayi bocah malang itu.

Harry, jika kau membaca surat ini, berarti keadaanku dan Draco sedang buruk.

Jika kau menemukan hal buruk terjadi padaku dan Draco, kami titip Scorpius padamu.

Semua hal yang ingin kauketahui ada di kotak di lemari kamar Scorpius. Di sana juga ada segala hal yang aku dan Draco persiapkan untuknya.

Jangan cemas, Harry, perang ini akan berakhir jika aku dan Draco menghilang.

Terima kasih dan maafkan kami
Hermione

Harry Potter meremas secarik kertas tersebut. Telinganya seolah tertutup dari segala hiruk-pikuk yang muncul begitu pintu ruangan ini kembali terbuka. Menampilkan Ginny, sang istri, yang datang bersama rombongan lainnya. Mereka lantas sibuk mengurus jasad Draco dan Hermione. Dua orang yang ia temukan bersimbah darah di samping ranjang bayi Scorpius. Putra sekaligus alasan keduanya menerima hunusan pedang berlumur racun itu.

"You okay, Harry?" Ginny mendekat. Ia mengambil alih bayi Scorpius, membuat bocah itu kembali terlelap.

"Harusnya aku tahu, mengawasi keduanya jauh lebih penting."

"Maafkan aku," ucap Ginny kemudian. Matanya meredup. "Andai aku bisa mencegah Ron lebih cepat. Mereka tidak akan berakhir seperti ini."

Mendengar nama Ron kembali terucap, lidah Harry Potter mendadak kelu. Segala pengkhianatan yang dilakukan, kekejaman pria yang dulu ia anggap sahabat, mendadak membuat Harry ngilu. Ron berkhianat, itu yang ia tahu. Membebaskan tawanan Azkaban paling berbahaya, Lucius Malfoy, membunuh tuan dan nyonya Malfoy muda, dan membiarkan si kecil Malfoy tanpa orang tua, hanya segelintir kejahatan Ron Weasley.

"Bukan salahmu, Gin," timpal pria berkaca mata tersebut. Ia memandangi tubuh Draco dan Hermione yang kini berada di atas tandu. Sementara pedang beracun itu tergeletak di lantai marmer ini. Didekatinya benda berlumuran darah tersebut. Tak ada aura sihir di dalamnya. Hal yang makin membuatnya ngeri, Ron bahkan telah menggunakan cara-cara kejam untuk membuat tujuannya nyata.

Membunuh setiap darah pengkhianat, dengan Draco dan Hermione menjadi target utamanya.

Namun, yang pasti, Harry Potter juga tahu, bahwa tak seperti hal yang ditulis Hermione, kematian sepasang sahabatnya itu hanya permulaan dari perang yang sesungguhnya.

#end

DRAMIONE ONESHOT #BOOK1Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang