[Flashfiction #17]

573 50 0
                                    

Hah ... Hah ...

Deru napas Draco memenuhi ruang kosong. Kelam. Dan, pekat. Tak ada lagi yang nampak di sekelilingnya. Tak ada suara yang menyahut berat napasnya sendiri. Kecuali, segerombolan ajak yang bersahutan menyalak. Ia melewati tempat itu. Berderet-deret pohon yang bahkan tak berani diusik angin.

Hah ... Hah ...

Draco terus melangkah. Menyeret kakinya yang masih terbalut dengan pakaian lengkap. Lupakan beberapa bagian yang koyak sana-sini. Benda itu masih dapat disebutnya 'celana' selama lebih tujuh jam berada di tempat ini. Ah, jangankan hanya sebutan celana, Draco juga enggan memikirkan luka menganga yang telah ia terima. Di betis, paha, lengan, punggung, dan bahkan beberapa gores darah di wajahnya yang kini memucat.

Hah ... Hah ...

Draco terduduk. Jatuh di hadapan tubuh yang tak lagi mampu bergerak. Sosok yang kini hanya mampu terbaring. Disentuhnya lengan terbuka dari pemilik gaun hitam yang begitu ia rindukan. Masih suam-suam kuku.

Kau masih punya harapan, Draco! Ucapnya pada diri sendiri.

Pemuda itu bangkit. Kedua lengannya yang dibalut luka sana-sini, gemetar menggendong tubuh itu. Kembali berlari, ia tak lagi dapat merapalkan satu mantra. Harapan. Harapan agar wanita di gendongannya mencapai, setidaknya, tempat untuknya terbaring. Membuat tubuhnya kembali hangat.

Hah ... hah ...

Draco merasa kakinya bergetar hebat. Sementara suara ajak tak lagi terdengar, gemuruh di langit yang kini berwarna jingga lah yang bergantian bersahutan. Pemuda itu kembali berlari. Bukan hanya ajak yang harus ia jauhi, hutan ini juga sebentar lagi akan diguyur hujan.

Bertahanlah, kumohon. Pinta Draco dalam hati.

Di kedalaman hutan, tepat setelah langit sempurna gelap dan rintik hujan mulai membasahi ranting musim gugur, Draco menemukan tempat. Dibenarkan posisi perempuan di gendongannya itu. Sebelum lantas menempatkannya di lantai gua yang agak basah. Walaupun jelas tempat ini jauh lebih baik ketimbang tanah di luar sana. Pemuda itu melepas pakaian, jika kemeja koyak yang dikenakannya masih pantas disebut 'pakaian.'

Memeriksa lengan dan kaki, Draco menemukan beberapa sayatan di tubuh perempuan itu. Tak pedulikan luka menganga di lengan dan kakinya, Draco membalut luka perempuan itu. Sosok gadis yang harusnya telah ia bunuh sehari lalu. Gadis yang dengan begitu bodohnya, melempar kutukan pada aliansinya sendiri. Hingga berakhir dengan mereka yang menjadi buron selama kurang lebih 36 jam terakhir.

"Dra ... co," panggil gadis itu lirih. Ia meringis ketika mencoba bergerak.

"Bisakah kau diam sebentar?" Draco berujar kasar.

Draco berjalan ke bibir gua. Mencari apapun untuk mengambil air hujan yang kini mulai deras. Membasahi dedaunan kering musim gugur. Menggunakan telapak tangannya, Draco menahan perih mengumpulkan air. Setidaknya, ia dan gadis itu tidak akan kehausan karena hujan ini. Ya.

"Tanganku kotor, tapi setidaknya kau harus minum," ucap Draco. Ia mengajukan telapak tangannya yang kini terpaut terisi air. Gadis itu menyambutnya tanpa permisi.

Hujan di luar gua makin deras. Membuat tanah tempat mereka duduk dalam diam, kian basah. Draco mulai merasakan perih dan pegal di sekujur badannya. Ia menggeliat sebelum kembali terdiam ketika gadis di sampingnya terdiam dengan sebuah pandangan lurus. Perlahan. Draco mulai merasa hangat. Terutama setelah kulitnya bersentuhan dengan kulit suam-suam kuku milik gadis itu.

"Herm-"

Draco masih belum selesai berucap ketika gadis itu menggeser duduknya. Makin mengikis jaraknya dengan Draco. Sebelum lantas memaksakan lengannya yang ringkih untuk meraih pemuda itu. Membawa Draco dalam dekap dalam.

"Terima kasih, Merlin," bisik gadis itu.

#end

Ps. Ogut gabut, tidak punya ide 😭

DRAMIONE ONESHOT #BOOK1Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang