Cerita 7_Obliviate

3.1K 184 7
                                    

Perang tidak menyisakan apapun selain kehancuran.

Ya, kehancuran menyeluruh meskipun Voldemort sudah musnah dan Death Eaters mendapatkan ganjaran. Hogwarts hancur, seluruh dunia sihir dalam kehancuran. Dumbledore, Severus Snape, pasangan Lupin, dan seluruh penyihir yang sudah menjadi korban menyisakan luka kepada semua yang ditinggalkan.

Hermione berdiri di jembatan yang seorang diri. Baru saja Harry Potter dan Ron Weasley kembali ke kastil. Menyisakan dirinya yang kini kembali berurai air mata. Memandang ruang kosong di balik kabut tebal. Berharap bahwa untuk sekali saja, Merlin berkenan menemukan keduanya. Harapan yang entah sampai kapan akan ia bisikkan dalam hati.

"Aku mohon," pinta Hermione. Suaranya terdengar parau.

Kabut semakin bertambah tebal. Malam semakin nampak kelam. Hermione meremas kedua tangannya gusar. Gemuruh di dadanya masih juga enggan berkurang. Merasa harapan yang ia dambakan berada di ujung tanduk, Hermione berbalik. Meskipun enggan, kakinya melangkah pelan.

Disekanya air mata yang masih mengalir dengan pelan. Seraya menghitung detik di dalam hatinya. Berharap -untuk terakhir kali saja- bertemu kembali dengan orang itu. Seseorang yang ia harapkan datang dari ruang kosong tadi.

"Hermione."

Panggilan itu berhasil membuat Hermione membalikan badan secepat kilat. Di depan sana -di ruang kosong- nampak seseorang dengan ekspresi yang tak jauh berbeda darinya. Dengan sorot mata penuh kerinduan, tetapi juga ketakutan.

Hermione melangkah cepat. Kakinya dengan gancang melewati reruntuhan. Ia menghambur memeluk seseorang yang baru saja datang dari ruang kosong. Merlin ternyata mendengar permintaannya.

"Hermione," panggil orang itu lagi. Seorang pemuda yang kini merengkuh tubuhnya dengan erat. Hingga dapat ia rasakan bagaimana degup jantung mereka saling beradu.

Pemuda itu, Draco Malfoy, seorang yang dilihatnya pergi meninggalkan kastil bersama Narcissa. Draco Malfoy yang dicap sebagai pecundang oleh seluruh dunia sihir begitu membelot ke kubu Harry Potter. Draco Malfoy yang baru saja Merlin kembalikan kepadanya.

Dilepasnya pelukan itu, perlahan tangan Hermione yang bergetar menyentuh lembut wajah Draco. Merasakan tatapan penuh luka yang masih saja bersarang di dalam mata hijau memesona itu. Luka yang sudah dilihatnya semenjak tahun ketiga mereka di Hogwarts.

Mereka memang benar, Draco hanyalah seorang pecundang. Ia pecundang kelas kakap yang rela berada di kubu Voldemort karena Narcissa, sosok ibu yang begitu ia cintai. Narcissa yang membuat Draco mengambil tanda kegelapan yang masih nampak mengerikan ketika kemeja pemuda itu tersikap. Sosok yang membuat Draco merasa kuat sekaligus rapuh dalam satu waktu.

Mereka memang benar, Draco hanyalah seorang pecundang. Ia pecundang yang menutup telinga untuk satu hal. Hanya satu hal, yaitu permohonannya untuk bergabung dengan Dumbledore, dengan Harry Potter. Draco tidak pernah mendengar, hanya itu.

"Are you okay?" tanya Hermione dengan suara parau.

Sudut bibir Draco terangkat sedikit. Ia meraih tangan Hermione, menahannya untuk tetap berada di wajahnya. Merasakan kehangatan tangan itu kembali. Tangan yang sudah berhasil membawanya ke jalan yang paling ia inginkan, dan yang ia benci sekaligus.

Draco menginginkannya, terbebas dari Lucius, terbebas dari segala yang membuat dirinya dan Narcissa menderita. Ia menginginkannya melebihi apapun. Namun, di sisi lain ia juga membencinya. Ia benci karena tidak bisa berjalan dengan Hermione di jalan itu.

"Are you okay?" ulang Hermione. Dan lagi, ia hanya mendapati senyum tipis Draco.

"Untuk seseorang yang baru saja mendapatkan predikat baru?" Draco berhenti, ia kini menggenggam erat tangan Hermione. "I'm okay."

Liar.

"Kau baru saja mengatakan aku berbohong?" Draco terkekeh.

Hermione mengangguk mantap. "Kau tidak bisa membohongiku, Draco."

Genggaman kedua tangan mereka semakin bertambah erat. Mereka masih berdiri di atas jembatan yang telah hancur di beberapa bagian. Di balik kabut tebal malam yang kian gelap. Mereka hanya saling berbicara melalui mata. Melalui tatapan yang hanya dimengerti oleh keduanya.

"Kenapa, Draco? Kita menang, kita hidup. Kau terbebas sekarang," bisik Hermione parau. Ia mengusap air matanya kasar.

"Karena Lucius akan mati setelah ini, karena ibuku akan menderita setelah ini." Karena aku tidak akan bisa bersamamu lagi setelah ini.

Hermione tersadar kedua tangan mereka terlepas setelah itu. Draco yang melepasnya terlebih dahulu. Pemuda itu kini memunggunginya. Punggung Draco bergetar hebat. Membawanya kembali ke masa ketika ia mulai tersadar, Draco bukanlah seorang pengecut yang ia kira selama ini.

Memori tentang hari itu kembali datang ke dalam benak Hermione. Malam ketika ia menyelinap dan melihat pemuda itu meraung di pinggir tepian danau hitam. Cahaya bulan membuatnya tahu apa yang ditangisi Draco. Di tangan pemuda itu tergambar tanda kegelapan mengerikan.

Ketika pandangan keduanya bertemu malam itu, ia tersadar apa yang sedang mencoba dibisikkan sisi lain Draco. Permintaan tolong. Draco tak ubahnya seseorang yang jiwanya telah pergi. Hingga entah dari mana kekuatan itu berasal, tetapi yang jelas langkah kakinya menuju ke arah Draco.

Lalu, kemudian hari ini tiba. Hari yang seharusnya membuat Draco tidak lagi terpengaruh oleh tanda mengerikan itu. Hari yang seharusnya ia dan Draco rayakan. Namun, Hermione tersadar satu hal, bahwa bagaimana pun juga Lucius masihlah bagian dari diri Draco. Lucius masihlah ayah untuk pemuda itu.

Perlahan, Hermione meraih pemuda itu. Menyenderkan kepalanya di punggung Draco. Sementara kedua tangannya melingkar erat di perut pemuda itu. Mendengar detak jantung Draco yang tidak keruan.

Di atas jembatan di antara ruang kosong malam yang semakin kelam, keduanya hanya mampu tergugu.

***

Kementrian nampak sibuk hari ini. Hari ketika keluarga Malfoy mendapat imbalan yang setimpal. Lucius menghuni Azkaban. Narcissa diberi ganjaran sebagai tahanan rumah selama dua tahun berkat kesaksian Harry Potter. Kemudian, Draco Malfoy terbebas dari segala tuntutan.

"Terima kasih, Potter." Draco mengajukan tangannya. Harry meraih dengan senyum tipis yang nampak di bibirnya.

Di samping Harry, Hermione juga tersenyum. Gadis itu menggandeng erat tangan Ron Weasley. Rona mata keduanya mengisyaratkan kebahagiaan yang teramat kentara. Tidak mengerti dengan suasana seorang pemuda dengan setelan hitamnya yang hanya bahkan untuk tersenyum tipis pun ia tak mampu.

Draco meninggalkan Golden Trio yang masih di tempat semula. Ia mengembuskan napas berkali-kali. Mencoba untuk membuang semua sesak yang menguasainya semenjak malam di atas jembatan berkabut dulu. Ketika ia, dengan bibir gemetar membisikkan mantra itu untuk Hermione.

Ya, malam itu, ketika Hermione memeluknya erat. Ketika gadis itu tergugu bersamanya di dalam kelam malam. Ketika Hermione tidak menangkap alasan ia kembali menghampiri ke kastil yang sudah runtuh. Ketika pengabulan atas permintaan Hermione terhadap Merlin dibalasnya dengan begitu kejam.

Obliviate.

Mantra itu mengalir di ujung harapan Hermione -dan harapannya- untuk dapat melihat hidup mereka yang lebih baik. Draco melakukannya dalam satu tarikan napas. Lalu, ia yang membopong tubuh pingsan Hermione ke kastil. Sebelum buru-buru meninggalkan tubuh gadis itu di pelataran.

Waktu berlalu, Draco merasa melakukan hal yang benar. Setidaknya, ia tidak harus melihat Hermione -si Pahlawan Dunia Sihir- dipandang sebelah mata karena bersama dengannya. Ya, tentu saja ia melakukan hal yang benar.

Sebelum asap hijau menelannya, embusan napas berat Draco terdengar. Ia sudah melakukan hal yang benar.

/The End/

Obliviate sebenarnya adalah proyek novel untuk fanfiction Dramione. Tentu saja akan saya publikasikan di akun ini. Kapan? Tentu saja menunggu outline matang terlebih dahulu.

☺️☺️☺️

Terima kasih untuk teman-teman pembaca. ❣️❣️❣️

DRAMIONE ONESHOT #BOOK1Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang