10.

61.4K 7K 547
                                    



Lagi dan lagi Rafa harus mengalami hal ini. Dia ingin menangis tapi ia merasa sudah tak bisa. Ia merasa air matanya mengering.

Sudut bibirnya berdarah pun dia tak merasakan sakit. Dilihatnya sang daddy yang menatap dirinya nyalang, begitu pula dengan abang keduanya. Bahkan abang sulungnya hanya menatap dirinya datar.

"Berhenti, menyusahkan kami!"bentak Oliver.

"Tidak tau kah kau, jika kami panik karena kau tidak pulang!" Nafas Oliver memburuk, dia hanya panik mengetahui anaknya tidak pulang. Tanpa sadar dia menampar putra bungsunya begitu ia berdiri di depannya.

Oliver pergi dari sana, dia  tidak mau amarahnya semakin tersulut.

Carlos pun berkata, "Stop menyiksa kami, Kenzie. Iya abang tau, kami memiliki salah padamu. Tapi apa kau tak bisa memaafkan kami? Segitu sulitnya kah?"

"Kau tidak tau betapa kelimpungannya kami ketika  tidak ada kabar dari kamu. Kami keluargamu, kamu masih menganggap kami keluarga bukan?" Carlos benar-benar kecewa dengan adikknya.

"Sejak kapan kalian menganggap ku sebagian dari keluarga? Sejak kapan kalian pernah menganggap ku adik?" Rafa berkata lirih.

"Semua orang tau kok, bahwa anak daddy dan mommy hanya kalian. Tidak ada tempat untukku, tidak ada tempat untuk orang pembawa sial sepertiku," Rafa menggeleng ribut.

"Itu hanya fikiranmu saja Ken, jangan terus-terusan menyalahkan kami!" geram Carlos.

"Oh ya?" Rafa menatap puas Carlos.

"Coba tanyakan pada orang sekitar abang, mereka mengenalku sebagai siapa?"

"MEREKA HANYA MENGENALKU SEBAGAI ANAK PEMBAWA SIAL BANG, MEREKA MENGENALKU SEBAGAI ANAK TIDAK TAU DIRI. BEGITU GAMPANGNYA KAU BERKATA SEOLAH ITU SEMUA BUKAN APA APA!" Carlos tersentak. Ini pertama kalinya sang adik membentak dirinya.

"YA, AKU MENYALAHKAN KALIAN. ATAS SEMUA KEMALANGAN YANG MENIMPAKU, ATAS SEMUA PENDERITAAN YANG AKU ALAMI. KALIAN BIADAB, KALIAN TIDAK PUNYA HATI!"

"Tuhan berkata dia akan mengabulkan doa hambanya yang tersakiti, jika memang begitu aku akan meminta padanya, agar Ia tidak pernah membiarkan kalian bahagia barang sedetikpun!"

Ctarr

Petir menyambar dengan nyaring, cuaca yang tadinya cerah seketika mendung. Rafa keluar dari rumah itu, rumah yang menjadi luka baginya.

Dia berlari tanpa arah, meninggalkan Carlos yang meneriakkan namanya. Rafa ingin menangis, dia butuh sandaran. Dia butuh pelukan hangat, setidaknya untuk saat ini.

Gala, yang menyaksikan semuanya, segera membantu Rafa. Dia memeluk bocah rapuh itu di derasnya hujan. Rafa membalas pelukan Gala erat, pelukan hangat yang sedari dulu dia idamkan.

Dia menangis histeris. Dia, Rafa. Menangis, meraung di bawah deraian hujan. Tubuh rapuh itu tak kuasa menahan tubuhnya, rasa sesak yang menjalar itu tak bisa menghentikannya menangis.

"Tuhan, jika kau memberikan kesempatanku untuk hidup. Maka hamba mohon, berikan hamba secerca bahagia. Jangan terus-terusan menyiksa hamba yang tak  berdaya ini," Tutur Rafa di sela tangisnya.

"Engkau begitu membenci seorang hamba yang bunuh diri, tetapi mengapa engkau membiarkan aku memiliki pemikiran seperti itu. Aku lelah Tuhan, aku mohon, jangan biarkan gelap menggapaiku."

"Aku bukan orang kuat, sebegitu percaya engkau pada hamba yang memiliki bahu yang rapuh ini, hiksss."

"Aku ingin bahagia. Hanya itu, apa tak bisa engkau mengabulkannya walau hanya sekejap?" Gala membawa Rafa kedalam mobilnya. Rafa terus meracau di pelukan Gala.

"Ken...semua orang berhak bahagia." dia menangkup wajah pucat Rafa.

"Tuhan tak akan menguji hambanya melewati batas sabarnya, percaya saja akan datang dimana kau akan merasakan rasa itu. Karena aku hadir disini untuk membuatmu merasakan jauh lebih dari itu." Rafa mendengarkan dengan baik, bocah itu sesenggukan.

"Dua aspek kehidupan, rasa sakit dan rasa bahagia. Jika rasa sakit lebih memimpin maka bahagia lebih mendominasi. Percayalah, Tuhan hanya percaya padamu jika kamu adalah manusia kuat yang di ciptakan olehnya," tutur Gala begitu lembut.

Pria 25 tahun itu menangis. Dia bukan orang yang lemah, tetapi melihat betapa rapuhnya tubuh di rengkuhannya, dia tak bisa untuk tidak seperti ini. Dia berjanji pada hidupnya, dia akan membahagiakan orang di dekapannya.

Memang dia orang asing, tetapi siapa yang tau dengan takdir Tuhan yang di tuliskan untuknya. Dia hanya merasa ini akan menjadi tanggung jawabnya. Jadi biarkan dia hidup untuk membahagiakannya.

Rafa menangis, dia memeluk Gala. Anak itu sesenggukan. Bahkan sesampainya di Mansion Gala, Rafa tetap menangis. Gala tidak menyuruh Rafa untuk berhenti, ia akan membiarkannya.

Membiarkan Rafa menangis atas apa yang menimpanya. Namun setelah ini dia berjanji, akan membawa Rafa ke bahagia yang sesungguhnya.

Dia akan menuntun anak itu, entah sesulit apapun rintangannya, dia akan melewati.

Rafa akhirnya tertidur di pelukan Gala. Gala melepaskan pelukan itu, dia membersihkan Rafa, menggantikan pakaiannya yang basah, dia pun ikut berganti. Setelah itu membaringkan tubuh Rafa di kasur. Dia juga merebahkan tubuhnya, memeluk Rafa dan ikut tertidur.

.

Rafa terbangun, dia merasa perutnya berat. Dia menoleh kesamping dimana Gala tertidur. Dia menoleh lagi ke arah balkon, itu sudah sore. Sore yang cerah, berbeda dengan siang yang mendung.

Rafa mengangkat tangan Gala hati hati. Dia berjalan menuju Balkon, tempat favorit, dimanapun dia berada. Matanya bengkak, dia tidak peduli. Perasaanya lebih baik setelah menangis. Dia berfikir untuk tidak peduli dengan keluarganya, dia  akan hidup untuk dirinya.

Dia hidup sampai ajal menjemputnya. Sebelum itu, dia akan menjalani kehidupan sesuai apa yang di kehendaki Tuhan. Dia tak akan menolak tak juga menerima, dia hanya perlu menjalankan.

"Feel better?"

"Kurasa."

"Ken, Boleh aku menjadi abangmu?" tanya Gala. Dia berdiri di samping Rafa. Menatap Rafa yang menatap lurus kedepan.

"Terserah."

Gala tersenyum tipis, "Baiklah adik abang. Kita harus makan siang. Kasihan dengan cacingmu yang akan demo karena tidak di berikan makan."

Tanpa menunggu persetujuan Rafa, Gala menarik adiknya itu kebawah. Dia yakin Maid sudah menyiapkan segala kebutuhan mereka.

Di meja makan, Rafa di suapi dengan berbagai makanan sehat. Rafa tak menolak, dia menerima perlakuan itu. Rafa fikir, Gala itu orang yang hangat. Semangat matahari di pagi hari, tetapi jika telat 1 jam itu akan menjadi panas.

"Bang."

"Ya!" Jawab Gala antusias. Dia memiliki adik, dari dulu dia sangat menginginkannya, tetapi Tuhan mengambil orang tuanya terlebih dahulu.

"Bisakah abang menemaniku hingga aku mendapatkan bahagiaku?" tanya Rafa.

Gala tersenyum begitu lembut, "Anything for my angel." pria itu mengecup dahi Rafa lama. Air matanya mengalir dengan sendirinya.

Dia memeluk Rafa erat, "Hanya, jangan pernah tinggalkan abang."

Rafa tersenyum, "Uhmm!"

Para pekerja disana pun tersenyum. Aura positif terpancar di kediaman itu. Mereka juga ikut berbahagia, mereka juga akan melihat kemana takdir menuntun tuan mereka.

Mereka hanya akan berada di belakang sang Tuan, mendukung secara diam-diam. Berdoa untuk segala kebahagiaan sang Tuan.





Double

Tbc...

Just Figuran ✔ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang