I Don't Believe It

17 7 2
                                    

Suara gemuruh bersahutan di langit. Warna birunya yang menawan kian memudar menjadi hitam. Sepertinya hujan akan turun. Anaya mengeluarkan jaketnya dari dalam tas. Dengan bibir yang sedikit bergetar karena dingin sudah mulai menusuk persendiannya, dia memakai jaket kesayangannya. Kemudian, dia mencari wajah Dewa yang sejak jam istirahat tak berada di dalam kelas. Kemana pria tampan nan gondrong dengan fashionnya yang kadang kala tak sesuai dengan ekspektasi itu? Anaya terus berjalan menyusuri koridor sekolah sambil melirik ke kanan dan ke kiri.

"Roy, lu lihat Dewa, nggak?" tanyanya pada seorang lelaki jangkung, kurus, dan sedikit hitam. Lelaki itu adalah Roy Sunaryo Kesuma Atmaja, anak kelas IS 4. Biasanya sering berkumpul bersama Dewa dan teman-temannya yang lain.

"Bukannya dia udah masuk kelas dari jam 1 tadi?" jawab Roy sambil menekukkan tangannya ke dada. Mungkin dingin juga sudah menusuk tulangnya yang terlihat di balik kulit pekatnya.

Anaya menggeleng. "Dia nggak ada masuk kelas sejak jam istirahat," jawabnya. Diliriknya jam di tangan yang sudah menunjukkan pukul 15.00 WIB.

"Nggak tahu kalo gitu, Nay. Soalnya kita udah bubar abis jam istirahat," jawab Roy mengangkat bahunya sambil menggeleng.

"Ya udah, deh. Makasih banyak, ya?" jawab Anaya dan kembali mencari lelaki setengah gondrong itu di setiap koridor sekolah.

Tak berapa lama, dia bertemu dengan Johan. Anak kelas Bahasa yang katanya terkenal pendiam dan arogan. Anaya menatap lelaki itu dari jauh. Dengan segala keberanian diri, dia pun menyapa lelaki berperawakan tinggi gemuk itu dengan lembut dan sopan.

"Jo, kenal sama Dewa?" tanya Anaya dengan hati yang bergetir. Dia sudah mempersiapkan ancang-ancang, kalau saja Johan mengeluarkan jurus Harimau Pencakar Langit padanya. Apa-apaan, sih, si Anaya ini?

Johan menoleh padanya dengan lirikan yang tajam.

Anaya tersenyum membalas lirikan itu.

"Siapa dia?"

Hampir saja jantungnya berhenti berdetak begitu mendengar suara Johan yang tak kalah kerasnya dengan loudspeaker di ruang rapat guru. Anaya berusaha sabar menghadapi sikap Johan. Dia mengatur suaranya agar terdengar lebih lembut lagi.
"Hum... Dewa itu anak REPALA, IS 2. Lu kenal, nggak?" jawabnya masih dengan santai.

Johan mengernyitkan dahinya. "Dewa? REPALA?"

Anaya mengangguk.

"Nggak kenal gue!" seru Johan sambil melangkah meninggalkan Anaya yang tampak begitu kesal dengan sikapnya. Johan sama sekali tak menghiraukan kekhawatiran Anaya. Dia pergi begitu saja tanpa kalimat apapun selain gayanya yang sangat arogan.

Ya ampun, dari tadi gue pikir dia bisa baik-baik ngomongnya. Ternyata benar yang dibilang sama anak-anak. Nggak ada sopan-sopannya tuh cowok! Pantesan nggak ada yang mau sama dia! Huh! cerocos Anaya yang baru saja merasa dicampakkan oleh Johan. Dengan langkah lunglai, hati yang cemas, dan jiwa yang resah Anaya terus menyusuri koridor sekolah untuk mencari Dewa. Dia yakin sahabatnya itu masih berada di sekolah ini. Namun, langit semakin gelap. Hujan deras juga sepertinya akan terjadi. Anaya terus berdoa di dalam hati agar Dewa muncul di hadapannya dan mereka kembali ke rumah dengan aman. Tiba-tiba....

"Erm..." Suara Anaya tertahan. Lidahnya seperti kaku dan tangannya menjadi dingin. Bukan pengaruh cuaca yang sedang berubah, tetapi karena seseorang yang sangat dikenalnya sedang berada di hadapannya sekarang.

"Ada apa?" tanya seseorang yang baru saja membuat Anaya hilang kesadaran dan keseimbangan.

"Erm... Ini... Gue lagi..." Anaya merasakan jantungnya berdetak lebih kuat sampai dia tak sanggup untuk berkata-kata. Tangannya pun ikut bergetar. Bayangkan saja, bagaimana perasaan seseorang saat bertemu dengan orang yang diam-diam sedang dipujanya? Sungguh luar biasa dibandingkan dengan orang yang sedang jatuh cinta. Molekul-molekul dalam tubuhnya pun ikut menjadi saksi apa yang sedang terjadi.

Thankyou, Dewa (Tamat) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang