Rama menghadang seorang gadis tomboi dengan rambut yang diikat ekor kuda di depan kelasnya. Siapa lagi, kalau bukan Anaya?
Anaya tersenyum lebar saat melihat lelaki pujaannya sudah berada di depan mata. Sambil merapikan rambutnya yang sedikit berantakan, dia menghampiri Rama.
"Kita pergi sekarang, nih?" tanya Anaya seraya melihat jam yang melingkar di tangannya. Sudah pukul 14.45.
"Iya, dong! Lu udah izin, kan?" tanya Rama.
"Izin sama siapa? Dewa?" Anaya memelotot ke arah Rama.
"Izin ke kak Nathan. Udah, belum?" jawab Rama.
"Udah, dong! Sebelum sampe di sekolah tadi pagi, gue bilangin ke dia supaya nggak usah jemput gue pas pulang sekolah," jawab Anaya dengan datar. Wajahnya berseri-seri karena pesona Rama yang sejak kemarin tak terlihat. Kini semangatnya bangkit lagi.
"Terus, lu pulang, gimana?" tanya Rama.
"Entar gue naek taksi aja, deh!" jawab Anaya. Sebenarnya dia berharap Rama dapat mengantarkannya pulang nanti.
"Eh, jangan, dong! Gue anterin, ya!"
"Serius, nih?" tanya Anaya dengan semangat.
Rama mengangguk. "Iyalah! Nggak mungkin gue biarin lu naik taksi sendirian, Nay! Dewa aja nggak bisa biarin hal itu, apalagi gue?" tukasnya membuat hati Anaya semakin berbunga-bunga.
"Ya, udah, ntar gue kabarin kak Nathan."
"Oke!" seru Rama dan mengajak Anaya menuju tempat parkir.
Mereka menaiki motor Rama menuju sebuah kafe baru yang berada tak jauh dari sekolah. Mereka turun dari motor dan masuk ke dalam kafe. Nuansa kafe sangat cocok sekali dengan remaja seusia mereka. Ada beberapa potongan kata-kata mutiara yang tertempel di dinding. Um, Anaya juga dapat bernapas dengan lega karena setiap sudut kafe terdapat pot besar yang berisi bunga hidup di dalamnya. Asri, sejuk, dan menenangkan.
"Nih, lu baca dulu menunya setelah itu, baru pesan!" seru Rama dan menyodorkan buku menu pada Anaya.
Anaya menyambutnya dengan senang hati. Setelah selesai membaca buku tersebut, dia memberikannya kembali pada Rama. Kemudian, Rama memesan minuman yang sudah ditunjuknya.
"Kemarin bete, ya?" tanya Rama dengan tiba-tiba sehingga membuat Anaya terkejut.
"Um, gitu, deh!" Anaya menjawabnya dengan ragu-ragu.
"Maaf, ya, gue nggak bisa dateng latihan. Soalnya bunda masuk rumah sakit lagi," jelas Rama sembari meminta maaf pada Anaya.
"Kalo gue boleh tahu, bunda lu sakit apa, sih, Ma?" tanya Anaya sangat penasaran.
"Sakit jantung, Nay," jawab Rama dengan cepat.
"Serius?" Anaya membelalakkan kedua bola matanya.
Rama mengangguk. "Udah lama, sih. Sejak dua tahun yang lalu."
"Kenapa nggak dioperasi aja atau gimanalah caranya supaya lekas sembuh?" Anaya mencoba memberi saran pada Rama.
"Bunda nggak mau," jawab Rama sambil menggeleng.
"Kenapa?"
"Menurut bunda, akan banyak masa-masa indah bersama gue dan Kak Syahra yang terlewati. Apalagi, kakak gue mau nikah tahun depan. Gue juga udah bujuk bunda, tapi beliau tetap kekeh sama keputusannya," ucap Rama.
"Emang, sih, kalo orangtua udah nggak mau, gimana pun anak ngebujuk pasti tetep sama pendiriannya. Sama, tuh, kayak ayah gue. Sampe sekarang ayah juga nggak mau dibuang usus buntunya. Padahal, bisa aja suatu saat nanti bakal kambuh lagi," ujar Anaya.
"Oh, ya? Ternyata kita punya kesamaan juga, ya, Nay?" balas Rama.
Anaya tersenyum sembari mengangguk.
"Tapi, lu baik-baik aja kemarin waktu latihan, kan?" tanya Rama sambil menyeruput minumannya yang sudah terhidang di atas meja.
"Lumayan. Agak bete juga lihat Johan. Nggak tahu gue apa salah gue sama dia," jawab Anaya.
"Maklumin aja! Johan emang gitu orangnya. Dia cuma belum bisa adaptasi sama lu. Yang penting, permainan gitarnya oke banget, loh, Nay!" jawab Rama.
"Kalo itu, sih, gue acungin jempol. Tapi, kalo yang lain, nggak, deh!" ujar Anaya dengan wajah cemberut.
"Belum saatnya aja, Nay. Dulu juga waktu pertama kali gue jadi anggota mereka, gue sebel banget sama Johan. Tapi, makin lama, makin nyaman juga, kok, sama sifatnya itu," ujar Rama.
Anaya hanya diam.
"Seiring berjalannya waktu, pasti lu juga bakal nyaman. Percaya, deh, sama gue!"
Anaya tersenyum.
"Um, gimana sekarang perasaan lu?" tanya Rama sembari memandang Anaya.
"Perasaan gue? Maksudnya?"
"Masih sedih karena Dewa?"
Anaya tertawa kecil. Bagaimana dia harus mengakui pada Rama bahwa kesedihan itu selalu ada setiap saat, apalagi dia harus melihat bangku kosong di kelasnya, bangku dimana Dewa duduk dan belajar di sana. Tidak ada satu orang pun yang berani memindahkan bangku itu. Bagi mereka, Dewa bukan hanya sahabat Anaya, tetapi seorang yang selalu bisa menghidupkan suasana kelas saat rasa bosan menghantui mereka.
Pertengkaran yang sering terjadi antara dirinya dan Dewa menjadi hiburan bagi teman sekelas. Sampai saat ini bangku itu masih ada di dalam kelas, menemani Anaya setiap kali merasakan kerinduan mendalam pada Dewa.
"Kok, diem?" tanya Rama sembari mengguit jemari Anaya yang berada di atas meja.
"Um, masih sedihlah. Gue selalu dibayangin sama sosok Dewa. Apa pun yang gue lakuin, pasti gue ngerasa ada dia. Rasanya Dewa, tuh, masih ada di sini," jawab Anaya.
"Ketulusan itu emang susah dilupain, Nay. Dewa sayang sama lu setulus hatinya. Sampe lu nggak sadar, kalo dia takut kehilangan lu! Ya, kan?" ujar Rama.
"Gue juga baru tahu dari Tante Anne, kalo selama ini Dewa bukan cuma anggap gue sahabatnya, tapi dia juga cinta sama gue." Anaya menatap Rama dengan tajam seolah-olah ingin Rama tahu bahwa Dewa saja mencintainya.
Rama tersenyum.
"Gue malah nggak pernah sadar sama semua perhatian dan kasih sayang Dewa."
"Karena buat lu, Dewa cuma sekedar sahabat. Makanya, lu nggak pernah berpikir akan cinta sama sahabat sendiri," tukas Rama dengan cepat.
"Lu benar, Ma!"
"Saat dua orang bersahabat -cewek dan cowok-, lama-kelamaan perasaan itu akan tumbuh, Nay! Banyak faktor yang dapat mendorong perasaan itu!" jelas Rama.
Anaya tersenyum. "Paham banget, ya, masalah perasaan," celetuk Anaya.
"Dikit-dikit. Emangnya gue nggak punya perasaan sampe nggak bisa paham?" jawab Rama dan tersenyum memandang Anaya.
Anaya terkesima oleh kelugasan Rama setiap berbicara. Mungkin keputusan Dewa menjadikannya teman duet Rama di promnite adalah sebuah tindakan yang benar. Kalau saja itu tidak terjadi, dia tidak akan mungkin duduk bersama Rama di sini, menikmati setiap rasa yang mengalir dalam kerongkongannya sambil memandang senyum manis Rama dan menghirup wangi parfum yang dipakainya. Dia sangat bahagia dan berterima kasih pada Dewa.
"Kalo gue boleh tahu, lu udah punya pacar, belum?" tanya Anaya pada Rama dengan tiba-tiba.
"Pacar? Pacar gue maksudnya, Nay?" tegas Rama sekali lagi.
Anaya mengangguk.
"Lu ngejek, nih?" tanya Rama.
Anaya mengerutkan dahinya. "Ngejek?" gumamnya. Apa yang salah dengan pertanyaannya?
KAMU SEDANG MEMBACA
Thankyou, Dewa (Tamat)
Fiksi RemajaMenjalin persahabatan hampir sembilan tahun lamanya, membuat Dewa terancam dengan perasaannya sendiri. Kadang rasa takut kehilangan lebih kuat daripada sekadar memiliki Anaya seutuhnya. Tak tahu sampai kapan dia harus menyimpan perasaannya sendiri. ...