Ssst... Rahasia!

24 8 19
                                        

Pagi itu, suasana langit membiru diterpa biasan cahaya matahari yang menguning dengan sempurna. Sangat cerah. Secerah hati Anaya yang sedang berbunga-bunga dirundung cinta sepanjang hari pada seseorang. Tak pagi, siang ataupun malam, bayangan seorang Rama yang dikaguminya tak berhenti menyapanya dengan balutan senyum termanis. Hati memang tak bisa berbohong. Anaya mengaku sudah membuat kesalahan dengan meletakkan perasaannya pada seseorang yang belum dikenal. Jiwa remaja yang sedang bergejolak dalam hati membuatnya tak sadar akan semua yang sedang terjadi di sekelilingnya, termasuk Dewa, sahabatnya.

Pagi itu, dia mulai melamun kembali. Melayangkan semua harapan dan khayalannya setinggi langit. Dia yakin Tuhan pasti mendengar doa dan permintaannya.

"Nay... Naya! Naya!!!" Suara cempreng Dewa membuyarkan lamunan paginya.

Dengan mulut yang mengerucut, dia memandang Dewa, anak lelaki dengan rambut setengah gondrong ini sudah membuat lamunannya terhenti. Dengan terpaksa, dia berusaha menyunggingkan senyum untuk Dewa.

"Tuh, tali sepatu!" seru Dewa dan membalas tatapan tajam Anaya dengan senyum sambil menunjuk ke arah kakinya.

Anaya mengikuti kata-kata Dewa kemudian berjongkok untuk mengikat tali sepatunya yang lepas. Saat sedang mengikat tali tersebut, dia melihat sebuah keramaian di dekat koridor sekolah. Sangat ramai. Perasaan yang luar biasa pun muncul begitu saja saat sosok Rama melintas di hadapannya. Hanya melintas, anak lelaki itu seperti menjeratnya dalam tali cinta yang setiap saat dapat lepas maupun melilitnya. Ah, kharisma Rama yang tak bisa dilupakan seorang Anaya.

"Eh, tuh kan...." Anaya menghentikan suaranya saat sosok itu menoleh padanya sambil tersenyum. Seketika itu pula, Anaya membalas senyuman Rama. Dia tersadar dari tatapan maut itu.

Dewa melihat arah pandangan Anaya dan berdecak dalam hati, beneran Naya suka sama si Rama? Kemudian Dewa berjalan mendekati Anaya. Dia memperhatikan setiap gerak-gerik Anaya dengan seksama. Ya, Anaya pasti menyukai Rama. Tidak salah lagi.

Anaya membalas senyuman itu dengan menganggukkan kepalanya. Hatinya berdebar. Dia tak menyangka sosok itu kembali lagi dengan mengukir kenangan paling manis di hidupnya. Akankah perasaan ini terbalas? Seolah tak ingin kehilangan momen berharga itu, Anaya rela membiarkan tali sepatunya yang belum terikat menjulur begitu saja.

"Woi, bengong aja! Yuk, masuk kelas!" seru Dewa saat dia melihat Anaya masih berdiam di tempat. Tanpa disadari, Dewa sudah merangkul bahunya dengan santai dan menyeretnya menuju kelas mereka. Tangan setengah kekar itu melingkar di pundaknya.

Anaya sempat merasa risih saat Dewa merangkulnya dengan mesra, seperti biasa tentunya. "Dewa!!!! Pelan-pelan dong! Sakit!" serunya sambil berusaha menarik tangan Dewa yang sedang merangkulnya. Dia juga mencoba mendorong tangan itu agar menjauh dari dirinya.

"Sewot banget sih beberapa hari ini, Nay? Lu mens?" tanya Dewa pura-pura tidak mengerti dengan reaksi Anaya barusan.

Anaya melotot pada sahabatnya itu, "Iya! Kenapa??"

"Pantesan lu agak sinting!" seru Dewa lagi sambil tertawa.

"Ih, Dewa! Lu yang sinting!" rengek Anaya dengan manja.

Dewa mengangkat bahunya dan kembali menyeret Anaya menuju kelas.

Wajah Anaya berubah dalam seketika. Dia berusaha melepaskan pegangan Dewa. "Pelan dikit dong narik tangan gue, Wa! Sakit ini!" Kali ini suara Anaya sedikit memelas. Sebenarnya tangannya tidak sakit sedikitpun, tetapi dia tidak ingin Rama melihat adegan mereka. Beberapa fakta yang ditemuinya di sekolah, hampir seluruh anak laki-laki di kelas mereka tidak berani mengutarakan isi hatinya pada Anaya. Semuanya karena Dewa. Mereka berpikir Dewa adalah sosok yang selalu menjaga Anaya dimana pun dia berada. Nah, kali ini Anaya benar-benar tidak ingin kehilangan kesempatan itu. Ini Rama, bukan bocah lelaki biasa yang cuma bisa menyukainya tanpa ada kelebihan apapun. Rama. Rama, lelaki dengan kharisma yang luar biasa.

Dewa memperhatikan raut wajah Anaya yang memang terlihat kesal. Apakah dia benar-benar telah membuat Anaya semarah ini? Dewa terus memperhatikan wajah gadis yang selalu dipujanya dalam hati itu.

Sejak pelajaran IPS tadi pagi, selera Anaya sedikit tak karuan. Berkali-kali dia menggerutu dalam hati pada apa yang membuatnya kesal. Anaya sedang tak ingin diganggu sekarang. Anaya tahu bahwa ini adalah sebuah perubahan hormon estrogennya. Dia sedang jatuh cinta. Jatuh cinta pada Rama.

"Ngelamunin siapa sih?" Suara Sarah mengagetkannya. Anak perempuan asli Jawa itu duduk di samping Anaya sambil mengeluarkan sebungkus Toblerone dari saku roknya.

Anaya menggeleng. "Nggak ngelamunin siapa-siapa."

"Serius nih?" tanya Sarah sambil membuka bungkus coklat itu.

Anaya mengangguk.

"Yakin?"

Anaya tersenyum. Dia bahkan tak bisa menyimpan kebahagiaan hatinya sendiri. Anaya merubah posisi duduknya menghadap Sarah dan mulai menceritakan satu persatu isi hatinya.

"Lu pernah tahu atau kenal sama Rama, nggak?"

"Rama?" Sarah terkejut mendengar nama itu.

"Iya. Kata Dewa sih dia itu vokalis band."

"Rama vokalis Electric bukan maksud lu?"

"Mungkin. Gue juga nggak tahu soalnya." Anaya mengangkat bahunya.

"Ya iyalah. Ada berapa orang Rama sih di sekolah kita? Cuma dia, kan?" tanya Sarah sambil membagi coklat itu menjadi dua bagian dan memberikan sebagiannya pada Anaya.

"Ehm, gue juga nggak tahu."

"Si Rama tahu, kalo lu suka sama dia?"

"Aih, jangan sampai deh!" jawab Anaya dengan cepat dan mengunyah coklatnya.

"Kenapa?"

"Malu gue. Apalagi ada Dewa."

"Kenapa sama Dewa? Heran deh gue, lu suka sama Rama tapi takut sama Dewa," tukas Sarah dan mulai mengunyah coklat yang sudah lama meluber di dalam mulutnya.

"Bukan takut. Nggak enak aja sama dia. Dia udah kayak bodyguard gue gitu. Takutnya bunda dapat laporan dari Dewa yang nggak-nggak, bisa kena marah deh," jelas Anaya dengan lugas.

"Ya ampun. Dewa juga udah gede loh, Nay. Dia pasti pahamlah masalah hati kayak gini. Lu nggak percaya sama sahabat lu itu?" tanya Sarah merasa bingung dengan pikiran Anaya.

"Percaya sih, tapi...."

"Sekarang gini deh. Coba lu ngomong sama Dewa. Ceritain semua perasaan lu tentang Rama. Terus lihat aja ekspresi dan respon Dewa gimana?" Sarah berusaha memberikan saran yang tepat untuk Anaya. Dia berharap sahabat yang disayanginya itu dapat mengerti maksudnya.

"Oke deh. Nanti kalo waktunya udah tepat, gue bakalan cerita ke Dewa," jawab Anaya.

"Ngomong-ngomong, sejak kapan sih lu suka sama si Rama?"

"Hahahahhahaha..." Anaya tertawa dengan keras tanpa menjawab apapun.

"Ditanya malah ketawa, bukannya dijawab! Aneh nih anak!" seru Sarah saat mendapat respon yang aneh dari Anaya.

"Sejak gue dalam kandungan!" ceplos Anaya sambil tertawa.

"Kurang asem lu! Dasarrr!" Sarah memukul lengan Anaya. Kedua sahabat itu tertawa terbahak-bahak.

Suasana siang itu tampak cerah. Mungkin keceriaan itu terpancar dari kebahagiaan yang sedang melanda Anaya. Kebahagiaan yang terjadi di saat perpisahan sudah di depan mata. Mengapa hatinya harus tersentuh saat masanya di SMU ini tinggal 2 bulan lagi? Apakah ini seperti kenangan indah yang akan menjadi momen terbaik dalam masa SMU? Anaya masih tak mengerti dengan perubahan yang dialaminya sekarang.

Thankyou, Dewa (Tamat) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang