I Hope You

2 0 0
                                        

Anaya mengurung dirinya di dalam kamar sejak pulang sekolah. Dia masih mengingat kalimat demi kalimat yang keluar dari mulut Noni, Tantri, dan Rika. Apakah benar ini semua salahnya? Apakah penyebab Dewa meninggal karena dia? Kalimat itu adalah kalimat yang paling menyakitkan sepanjang hidupnya. Mana mungkin dia membunuh sahabatnya sendiri. Dewa adalah sosok yang sangat berarti untuknya. Bahkan, sampai hari ini pun dia belum bisa membiasakan diri tanpa Dewa.

Anaya mengambil sebuah bingkai yang di dalamnya terdapat foto Dewa dan dirinya. Foto itu diambil saat mereka duduk di bangku kelas satu SMU. Dia menatap wajah Dewa sampai air matanya menetes.

Ingatannya kembali ke masa itu.

"Lu itu mirip kayak Popeye, Nay!" ujar Dewa sambil menggambar tokoh kartun kesukaannya.

"Ih, mirip dari mana?" jawab Anaya membantah ucapan Dewa.

"Beneran, loh!" seru Dewa.

"Emang lu kira gue kartun? Enak aja lu!" tukas Anaya sembari memukul lengan Dewa.

"Ada buktinya. Kalo lu capek ngomel, lu pasti laper, kan? Sama kayak si Popeye. Bedanya si Popeye makannya bayam, kalo lu makannya bubur ayam Bang Somad," celetuk Dewa dan tertawa.

Anaya menghapus air matanya yang sudah mengalir di pipi. Dia mencoba tersenyum dengan mata yang basah dan hidung yang memerah. Itu adalah segelintir kenangan indah bersama Dewa yang tak mungkin dapat dilupakan. Setiap waktu adalah Dewa. Tak ada yang bisa menghapus kenangan Dewa di dalam ingatannya, sekali pun itu adalah Rama, orang yang mulai mengisi hari-harinya.

Kehidupan Anaya tanpa Dewa terasa kelabu tanpa warna-warni. Kepergian lelaki yang humoris itu terus membekas. Apalagi, pada saat Dewa pergi untuk selama-lamanya, semua terjadi di depan mata Anaya. Tak ada yang bisa dia lakukan, selain menangis dan menjerit sekuat-kuatnya untuk melepaskan kepergian sahabatnya. Namun, dia juga tak mungkin menghidupkan Dewa kembali. Itu mustahil.

Kenapa lu harus pergi secepat ini, Wa? Gue nggak punya sahabat kayak lo lagi. Gue nggak bahagia. Gue sayang banget sama lu, Wa! ucap Anaya dalam hatinya sembari menatap foto Dewa.

Anaya keluar dari kamarnya dan turun ke lantai bawah karena waktu makan malam sudah tiba. Dia berjalan menuju ruang makan sembari mengikat rambutnya. Piyama berwarna kuning hadiah ulang tahun dari Dewa menjadi pakaian favoritnya selama beberapa hari ini. Bi Nini harus ekstra cepat setiap hari mencuci dan menyetrika piyama tersebut.

Anaya menarik kursinya. Tak ada sapa, dia hanya menunduk.

"Kenapa dari tadi Bunda panggil nggak nyahut, Nay?" tanya Soraya sembari meletakkan beberapa mangkuk lauk dan sayur ke atas meja.

Anaya hanya tersenyum. Namun, wajahnya yang basah tak dapat menutupi kesedihannya.

Nathan langsung memberondong Anaya dengan pertanyaan. "Lu habis nangisi Dewa lagi? Nggak capek apa, Nay?" tanyanya.

Anaya masih diam. Dia mengambil nasi dari wadah dan meletakkannya ke piring.

"Udah sebulan Dewa pergi, Nay." Nathan masih memandang adiknya.

Anaya menoleh ke arah Nathan. "Nath, emang bener, ya, Dewa meninggal karena gue?" tanyanya.

Nathan tersentak dan segera memandang ke arah Soraya.

Soraya pun tersentak. Beliau menarik kursi yang berada di samping Anaya dan kemudian memegang tangannya dengan erat. "Kamu kenapa ngomong gitu?"

"Naya cuma pengen tahu, Bun. Kenapa Dewa ngelakuin ini sama Naya?" tanyanya dan mulai terisak.

"Dewa meninggal bukan karena siapa-siapa, Sayang. Ini emang udah jadi takdirnya," jawab Soraya.

Nathan memegang pundak adiknya dengan lembut. "Lu nggak boleh ngomong itu, Dek!" ucapnya mencoba menenangkan Anaya.

"Tapi, kenapa temen-temen nyalahin Naya? Mereka nuduh Naya cewek yang nggak punya otak, nggak peka, dan egois karena ngebiarin perasaan Dewa. Sampai akhirnya, Dewa nahan sakitnya cuma buat ngelihat Naya bahagia. Emang itu bener, Bun?" tanya Anaya sembari menangis.

Soraya segera memeluk anak gadisnya. Kemudian, mencium dahi Anaya dengan lembut. Mata beliau juga mulai berkaca-kaca. Di saat seperti ini, Anaya memang sangat membutuhkan dukungan dari dirinya. Dia mulai khawatir, mental Anaya terganggu karena tuduhan yang tidak masuk akal. Walaupun, beliau tahu bahwa persahabatan Anaya dan Dewa sudah mencapai ketulusan yang paling tinggi. Beliau tidak ingin Anaya menyalahkan dirinya sendiri.

"Siapa, sih, temen-temen lu yang ngomongnya ngawur kayak gitu?" Nathan juga mulai kesal saat mendengar pengakuan adiknya. Dia juga tidak ingin Anaya melukai hatinya sendiri dengan memercayai kata-kata mereka.

Anaya menangis di pelukan Soraya.

"Naya, ini semua udah takdir dari Yang Mahakuasa. Setiap makhluk Allah pasti akan mengalami kematian. Mungkin saat ini adalah giliran Dewa, kita nggak pernah tahu kapan dan bagaimana ajal menjemput kita. Jadi, jangan pernah berpikir yang aneh-aneh lagi kayak gini!" ujar Soraya yang juga ikut menangis.

Nathan memandang kedua wanita kesayangannya. Dia juga tak menyangka adiknya akan menjadi sosok yang lemah sejak kepergian Dewa. "Udahlah, Nay! Jangan didengerin kata-kata mereka! Mereka cuma mencoba untuk melampiaskan emosinya ke lu."

Anaya masih menangis. Dia masih terlalu sedih mengingat kalimat Noni.

"Bunda percaya, kok, anak Bunda ini anak yang baik hati dan nggak mungkin sejahat itu sama Dewa," ucap Soraya menenangkan hati Anaya.

"Nah, lu juga harus semangat, dong, jalani hidup! Bagaimanapun kehidupan lu harus tetap berjalan. Semua ini udah diatur sama Allah, Nay. Jadi, kita nggak perlu peduli apa kata orang. Apalagi, kalo kata-kata mereka cuma bikin kita down." Nathan ikut memeluk adik kesayangannya dengan erat.

Anaya semakin menangis.

"Udah... udah... sekarang hapus air mata kamu, kita makan, ya?" ucap Soraya sembari memberikan selembar tisu pada Anaya.

Anaya melepas pelukan Soraya dan Nathan. Dia mencoba tersenyum. Kemudian, dia mengambil tisu dari tangan Soraya dan mulai menghapus air matanya.

Nathan meraih piringnya yang sudah diisi nasi oleh Soraya. "Um, lauknya banget, nih!" serunya saat melihat sepiring Jengkol Rendang Padang dan Gurame Asam Manis tersedia di atas meja.

Soraya tersenyum. "Favoritnya siapa, ya?" tanya beliau saat Nathan mengambil piring yang berisi Jengkol Rendang Padang.

Nathan dan Anaya saling memandang. Makanan itu bukan hanya favorit mereka, tetapi juga menjadi favorit Dewa.

"Um, Bunda buat Anaya sedih lagi, nih." Anaya mengerucutkan bibirnya.

Soraya tertawa kecil dan meletakkan sepotong Gurame Asam Manis ke atas nasinya.

"Emang rumah ini penuh sama kenangan Dewa," sahut Nathan.

Anaya mengulum bibirnya. Nathan benar. Dewa akan selalu meninggalkan kenangan yang teramat indah di hati semua orang. Dia mulai teringat kembali dengan sosok Dewa yang selalu memberikannya ketegaran saat dia mengalami masalah. Sosok itu akan selalu ada di dalam hatinya sampai kapan pun. Sepertinya Dewa sudah menyiapkan semua kenangan manis dalam persahabatan mereka sebelum dia pergi untuk selama-lamanya.

Thankyou, Dewa (Tamat) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang