Setelah bel pulang berbunyi, Anaya bergegas memasukkan semua peralatan tulisnya ke dalam tas. Dia juga memeriksa laci meja. Wajahnya tampak panik karena terburu-buru. Apalagi, Rama tidak datang untuk latihan hari ini. Itu berarti dia akan berjalan sendirian menuju studio yang terletak di belakang sekolah.
"Lu kenapa, Nay?" tanya Sarah sedari tadi memerhatikan teman sebangkunya, Anaya, yang terlihat gelisah.
Anaya menggeleng. "Gue cabut duluan, ya!" serunya dan berlari ke luar kelas. Dia juga lupa memberitahu Dewa, kalau hari ini ada jadwal latihan. Anaya terus berlari kencang menuju studio.
"Naya!" panggil Dewa dari dalam kelas.
Namun, Anaya tak memedulikannya.
Dewa memandang Anaya sampai menghilang di ujung koridor.
Setelah lelah berlari, Anaya mencoba berjalan cepat. Mungkin dengan cara ini, dia akan sampai tepat waktu di studio. Kenapa, sih, jarak dari kelas ke studio itu jauh banget? Kaki gue udah mulai pegal-pegal, nih. Uh," gerutunya sepanjang jalan di koridor sekolah.
15 menit berlalu, akhirnya Anaya sampai di studio. Dia memerhatikan sekelilingnya. Masih terlihat sepi. Apakah dia terlalu cepat datang atau mereka sudah selesai latihannya? Dia semakin takut. Namun, Anaya sedikit lega karena di depan studio terparkir Jeep berwarna biru milik Johan dan Sedan hitam milik Zacky. Hatinya semakin tak karuan. Hawa tak enak segera menghampiri sepertinya. Gue pasti udah telat, gumamnya. Anaya membuka pintu studio dengan perlahan-lahan dan masuk ke dalam.
"Cepet banget lu dateng, Nay!" sindir Johan yang sedang menyetel gitar kesayangannya.
"Em, maaf. Tadi gue makan siang dulu," jawab Anaya dengan terbata-bata. Lidahnya terasa keluh.
"Banyak alasan! Sejak masuk grup kita, dari awal emang lu nggak pernah on time!" seru Johan lagi.
Anaya menundukkan kepalanya. Sepertinya apa yang ditakutinya dari kemarin menjadi kenyataan. Johan jauh lebih galak dari guru Fisika mereka, Pak Subhan.
"Udahlah, Jo! Naya nggak telat-telat amat, kok. Lagian, dia juga harus makan siang dulu sebelum latihan," bela Zacky dari balik drum-nya.
Anaya berusaha tersenyum membalas kebaikan Zacky siang itu.
Johan mengalihkan wajahnya dari Anaya tanpa berkata apa-apa.
"Yuk kita mulai latihannya, Nay!" ajak Zacky dan menghentakkan stik drum untuk memulai latihan mereka.
Anaya mengangguk. Dia duduk di tempatnya.
Setelah hampir 2 jam latihan, akhirnya mereka selesai juga. Anaya melangkah keluar dari studio setelah berpamitan pada Zacky dan yang lain. Dia berlari menuju parkiran berharap Dewa masih menunggunya di sana. Syukurlah, sahabatnya itu masih setia menunggunya sambil duduk di atas bangku.
"Cabut, yuk!" seru Anaya dan masuk ke dalam mobil tanpa basa-basi.
Dewa memerhatikan wajah Anaya. Sepertinya penyakit anak itu kambuh lagi. Wajahnya merah dan cemberut. Dewa masuk mengikutinya ke dalam mobil. "Kenapa, sih, muka udah kayak jeruk purut, gitu?" tanyanya saat mendapati Anaya sedang menggerutu hebat di dalam mobil.
"Udah, deh, jalan aja! Lagi bete gue!" jawab Anaya dengan ketus.
Dewa mengikuti kemauan Anaya. Dia menghidupkan mesin dan mulai mengemudikan mobil menuju rumah. Dipandanginya cewek kesayangannya itu dengan seksama. Sedari tadi wajah imut itu tak berubah, masih dengan posisi yang sama, yaitu cemberut.
"Ih, bete bete bete!" teriak Anaya sembari memukul-mukul dashboard mobil.
Dewa masih diam memperhatikannya. Dia tak ingin menjadi korban kehilangan kesadaran dari Anaya. Lebih baik membiarkan gadis ini seperti ini daripada dia berusaha untuk menenangkannya. Dia tidak pernah berhasil setiap mencoba menenangkan Anaya saat marah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Thankyou, Dewa (Tamat)
Novela JuvenilMenjalin persahabatan hampir sembilan tahun lamanya, membuat Dewa terancam dengan perasaannya sendiri. Kadang rasa takut kehilangan lebih kuat daripada sekadar memiliki Anaya seutuhnya. Tak tahu sampai kapan dia harus menyimpan perasaannya sendiri. ...