Dewa masuk ke dalam rumah dengan perlahan-lahan karena takut mengganggu sang mama. Namun, ternyata dia mendapati mamanya sedang asyik menonton televisi di ruang tengah. Sambil berjalan jinjit, Dewa mencoba untuk mengusik beliau yang tampak serius. Setelah hampir mendekati Tante Anne, mamanya, Dewa menghitung di dalam hati untuk mengejutkan beliau.
"Mama!" teriaknya sembari memeluk Tante Anne dari belakang. Sejak papanya meninggal empat tahun yang lalu, dia yang juga merupakan anak tunggal, menjadi satu-satunya teman hidup Tante Anne.
Tante Anne benar-benar terkejut mendengar suara Dewa yang begitu kuat. "Astagfirullah. Kamu, ya, Dewa!" seru beliau sembari memukul badan Dewa bertubi-tubi.
Dewa tertawa terbahak-bahak dan berusaha mengelak dari pukulan sang mama. "Ampun! Ampun, Ma! Serius, nih, sakit banget, Ma!" serunya.
"Nggak akan! Mama nggak akan kasih ampun!" jawab Tante Anne.
"Ampun, dong, Ma! Dewa cuma becanda, kok!"
"Becanda apaan, Wa? Jantung Mama hampir copot, nih!" seru beliau sambil memegang bagian dadanya.
Dewa menangkap tangan sang mama saat berusaha memukulnya lagi. "Iya, maafin Dewa, ya? Janji, deh, Dewa nggak akan gitu lagi," ujarnya sembari mengatupkan kedua tangannya memohon maaf pada sang mama.
Tante Anne menghela napas panjang. "Ya udah! Awas, kalo kamu buat gitu lagi ke Mama!" jawab beliau dengan wajah yang masih cemberut.
Dewa mengangguk sambil tersenyum. "Ma, ada yang mau Dewa omongin ke Mama, nih!" ujarnya dan kemudian mengambil posisi duduk tepat di sebelah Tante Anne.
Tante Anne berpura-pura tidak peduli dengan ucapan Dewa. Namun, dia tetap melirik anak lelakinya itu dengan tajam.
"Opa dan oma masih tinggal di Amerika, kan?" tanya Dewa dengan sangat hati-hati saat menanyakan keberadaan kakek dan neneknya yang berasal dari sang mama.
Tante Anne kembali terkejut dengan pertanyaan Dewa barusan. "Kenapa kamu tanya gitu?"
"Um... Dewa pengen nerusin kuliah di sana, Ma!" jawab Dewa sedikit gugup. Dia ragu mamanya tidak akan memberikan izin karena takut jauh darinya. Kalau pulang sekolah terlambat sedikit saja, Tante Anna akan terus meneleponnya.
"Ke Amerika? Kuliah di sana?" tanya Tante Anne dengan sangat terkejut.
Dewa mengangguk. "Iya. Boleh, Ma?"
"Kenapa harus ke sana, Nak? Itu jauh banget, loh," jawab Tante Anne yang mulai khawatir dengan permintaan Dewa.
Dewa memutar bola matanya. "Ya, pengen aja!"
"Di sini juga banyak, kok, kampus-kampus keren dan hebat kayak di luar negeri." Tante Anne mengubah posisi duduknya.
"Dewa pengen nambah ilmu lebih banyak lagi," sanggah Dewa lagi.
"Emangnya ilmu di Indonesia ini masih kurang, gitu?"
"Ya, nggak juga, sih!" jawab Dewa.
"Terus?"
"Sebenarnya ada yang mau Dewa hindari di sini." Akhirnya Dewa tak bisa menahan rahasia hatinya di depan Tante Anne. Mamanya harus mengetahui semuanya sebelum beliau benar-benar melarang Dewa pergi ke Amerika.
"Maksud kamu? Kamu mau jauhi seseorang?"
Dewa mengangguk.
"Kamu punya musuh, gitu?" tanya Tante Anne dengan sangat penasaran.
"Nggak gitu juga, Ma. Emangnya cuma musuh doang yang harus dihindari?" jawab Dewa sedikit kesal. Sepertinya mamanya sedang tak bisa diajak kompromi hari ini. Atau memang sang mama tidak mengerti dengan hal-hal seperti ini?
KAMU SEDANG MEMBACA
Thankyou, Dewa (Tamat)
Teen FictionMenjalin persahabatan hampir sembilan tahun lamanya, membuat Dewa terancam dengan perasaannya sendiri. Kadang rasa takut kehilangan lebih kuat daripada sekadar memiliki Anaya seutuhnya. Tak tahu sampai kapan dia harus menyimpan perasaannya sendiri. ...