Anaya mengibaskan rambutnya ke belakang. Jam sudah menunjukkan pukul 7 pagi. Itu berarti dia akan telat sampai di sekolah, seandainya masih menunggu Dewa di sini. Ah, dia lupa. Sepertinya Dewa tidak akan datang menjemputnya. Kejadian tadi malam masih belum bisa dilupakannya.
Anaya berlari keluar dari rumah. Dia memandang rumah Dewa yang berada di sebelah rumahnya. Tidak ada tanda-tanda kehidupan. Apakah Dewa benar-benar pergi? Kemana Dewa, ya? Apa dia benar-benar ninggalin gue? tanyanya dalam hati. Dia juga memeriksa handphone-nya, apakah Dewa memberikan kabar? Namun, tidak ada sama sekali. Bahkan, nomor Dewa juga tidak aktif setelah berkali-kali dihubungi.
"Kak Nathan!" seru Anaya memanggil Nathan yang masih berada di dalam rumah.
Nathan keluar dengan kemeja biru yang belum dikancing bagian atasnya. "Ada apa, sih? Ribut banget lu pagi-pagi," gerutunya pada Anaya.
"Anterin ke sekolah, dong! Udah telat, nih," rengek Anaya dengan memasang wajah memelas di depan Nathan.
"Emang Dewa nggak jemput?" tanya Nathan karena biasanya mereka berdua selalu berangkat ke sekolah berdua setiap pagi.
Anaya mengangkat bahunya. "Nggak tahu. Mungkin dia masih marah sama gue."
"Masa, sih, lu nggak tahu? Kalian berdua biasanya berangkat bareng, kan?" tanya Nathan merasa heran dengan jawaban Anaya.
"Gue nggak tahu, Kak! Ayolah, anterin gue!" jawab Anaya merengek lagi pada kakak semata wayangnya itu.
"Ya, udah. Gue siap-siap dulu, nih!" jawab Nathan dan masuk kembali ke dalam rumah.
Dengan lirih, Anaya menoleh ke rumah Dewa. Sudah hampir jam 8 pagi, tetapi rumah itu tampak sepi. Apakah Tante Anne juga ikut pergi?
Anaya hanya diam tak bicara sepatah kata pun sepanjang perjalanan menuju sekolah. Dia sangat menyesal dengan kejadian tadi malam. Seharusnya dia tidak membuat Dewa marah. Namun, saat itu dia benar-benar tidak ingin diganggu oleh siapapun, termasuk Dewa. Baginya, berdua dengan Rama adalah hal yang selalu diimpikannya. Mungkinkah ini karena cinta sudah terpatri di hatinya?
Nathan menatap adiknya dengan rasa iba. Sejak berangkat dari rumah, Anaya hanya diam saja. "Lu udah telepon Dewa, Nay?" tanyanya.
"Handphone-nya nggak aktif."
"Sengaja dimatiin?"
Anaya menggelengkan kepalanya. Pandangannya tidak terarah.
"Dia benar-benar marah, ya, sama lu?" tanya Nathan lagi.
Anaya diam.
"Lu, sih, keterlaluan banget tadi malam!" seru Nathan.
Anaya masih diam. Dia tidak tahu apa yang harus dilakukannya sekarang? Dewa pergi dan itu membuatnya benar-benar kehilangan.
"Tumben lu kalem banget pagi ini? Kesambet setan apaan?" ujar Nathan mencoba mencairkan suasana. Dia tidak ingin adiknya menyalahkan dirinya karena Dewa.
Anaya masih tetap diam.
"Entar lu benar-benar kerasukan, loh, Nay!"
"Udah, deh, Kak. Nyetir aja yang bener. Gue udah telat!" seru Anaya tiba-tiba.
"Um, mulai beraksi, nih. Betah amat si Dewa nyupirin lu tiap hari dengerin omelan lu, ya?" ucap Nathan meledek Anaya.
"Udah, deh, nggak usah bawa-bawa nama Dewa. Lagi nggak suka gue sama dia," jawab Anaya dengan ketus sembari memukul dashboard mobil.
"Ampun, Nay. Ampun!" seru Nathan saat melihat reaksi Anaya yang tiba-tiba saja se-anarkis itu.
"Apa susahnya, sih, ngabarin, kalo emang nggak sekolah hari ini? Buat gue telat aja," ucap Anaya dengan kesal.
KAMU SEDANG MEMBACA
Thankyou, Dewa (Tamat)
Roman pour AdolescentsMenjalin persahabatan hampir sembilan tahun lamanya, membuat Dewa terancam dengan perasaannya sendiri. Kadang rasa takut kehilangan lebih kuat daripada sekadar memiliki Anaya seutuhnya. Tak tahu sampai kapan dia harus menyimpan perasaannya sendiri. ...