I'm A Stupid Friend

2 1 0
                                    

Suasana malam di rumah sakit semakin mencekam. Anaya tertunduk lemah di kursi tunggu di depan ruang operasi. Sudah hampir tiga jam Dewa berada di dalam ruangan tersebut. Beberapa kali pintu ruangan itu terbuka, Dokter belum juga menyelesaikan pekerjaannya. Mereka mengatakan bahwa Dewa masih belum bisa dioperasi. Entah apa sebabnya, tak ada yang bertanya karena semua orang hanya ingin kesembuhan Dewa. Soraya terus menguatkan sembari menggenggam erat tangan Anne. Beliau dapat merasakan apa yang sedang dirasakan wanita itu saat melihat keadaan anaknya yang sedang berjuang dari kesakitan ini.

"Udah jam segini, Dokter belum juga ngasih kabar apa pun tentang Dewa. Ini gimana, sih?" tukas Anaya sembari mengintip ke dalam ruangan dari pintu kaca beberapa kali. Dia merasa sangat kesal. Berkali-kali dia bertanya perihal Dewa, Dokter tidak bisa memberikan keterangan yang valid.

"Sabar, Nay! Namanya juga operasi!" sahut Nathan masih tetap berusaha menenangkan Anaya. Dia menarik tangan Anaya agar dia kembali ke tempat duduknya.

"Dari tadi juga gue sabar, Kak. Udah hampir empat jam kita di sini, masa nggak kelar-kelar, sih?" ucap Anaya menggerutu dengan hebat. Apa pun yang terjadi pada Dewa nanti, setidaknya Dokter mengatakan sesuatu pada mereka, bukan malah menyuruh menunggu terus menerus dan entah sampai kapan.

"Mendingan lu berdoa, minta sama Allah supaya ada keajaiban untuk Dewa," kata Nathan saat merasa resah dengan keadaan adiknya.

Anaya menghentakkan kakinya. Dia benar-benar tak menyangka harus selama ini menunggu kabar terbaru tentang Dewa. Dia berjalan menuju kursi tunggu yang berada di luar ruangan dan menyempit di sudut. Dia mulai menangis. Dia menangisi kebodohannya yang sama sekali tak peka pada sahabatnya. Padahal, selama ini Dewa bagaikan malaikat pelindungnya setiap hari. Dewa selalu meyakinkan bahwa keadaannya baik-baik saja. Dewa tak pernah lupa mengingatkannya untuk makan dan menjaga kesehatan. Ternyata, selama ini Dewa-lah yang menyembunyikan sesuatu darinya. Dia benar-benar bodoh. Dia tidak mengetahui apa yang terjadi pada Dewa selama delapan tahun. Sahabat macam apa gue? Malah gue mentingin diri sendiri dan nggak peduli sama dia. Bodoh gue, bodoh banget. Anaya terus menggerutu dalam hati.

"Keluarga Mahadewa Atmaja?" ujar Dokter yang baru saja keluar dari dalam ruang operasi. Wajah beliau tampak lelah dan tak ada tanda suka cita yang terpancar.

"Ya, Dokter," jawab Anne dan beranjak dari kursinya diikuti oleh Soraya.

Anaya yang mendengar pun beranjak dan berlari mendekati sang bunda disusul Nathan. Dia berada paling depan untuk mengetahui keadaan Dewa saat ini.

"Kami sudah berupaya sebaik mungkin, tetapi...."

Anaya memegang lengan Dokter tersebut. "Kenapa, Dok?"

Dokter memandang mereka satu persatu.

"Tetapi apa, Dok?" tanya Anaya lagi sangat antusias ingin mengetahui keadaan Dewa.

"Kita hanya bisa menunggu keadaan Dewa membaik. Saya tidak dapat pastikan, apakah dia akan selamat melewati operasi ini atau tidak," jawab Dokter.

"Maksud Dokter, Dewa bakal meninggal?" seru Anaya tiba-tiba saat dia memahami apa yang sedang dikatakan oleh beliau.

Dokter itu mengangguk pelan.

"Gimana ceritanya dia bakal meninggal? Terus, dari tadi Dokter lakuin apa di dalam? Bukannya buat nyelamatin dia?" tanya Anaya memekik dan membuat suasana di ruang operasi sedikit ribut.

"Nay, tenang! Tenang, ya, Sayang!" seru Soraya sembari mengelus punggung anak perempuannya itu.

"Ini nggak bener, Bunda. Seharian kita nungguin keadaan Dewa, tapi dokter ini malah bilang, kalo Dewa bakal meninggal. Naya nggak terima sama semua ini!" seru Anaya. Jeritannya semakin menjadi-jadi saat dia melihat beberapa perawat sedang mendorong bed Dewa keluar dari ruangan operasi.

"Dewa!" ucap Anaya menjerit dengan kencang berharap Dewa mendengar jeritannya.

Nathan memegang kedua lengan Anaya dan berusaha menenangkannya. "Nay, sadar lu! Ini rumah sakit, Nay! Dewa nggak bakal kenapa-napa, kok! Sabar, Dek!" serunya.

"Nggak, Kak. Gue nggak mau kehilangan Dewa. Gue nggak mau! Dewa nggak boleh mati! Gue sayang banget sama dia!" Anaya terus menjerit tanpa peduli apa yang sedang terjadi sekarang.

Soraya dan Anne juga berusaha menenangkan Anaya. Mereka mengerti bagaimana perasaan gadis itu sekarang. Anaya adalah saksi kehidupan Dewa yang sesungguhnya. Bahkan, Dewa lebih banyak menghabiskan waktu bersamanya daripada dengan ibunya sendiri. Dewa dan Anaya adalah dua insan yang tak dapat dipisahkan. Kekuatan persahabatan mereka tak dapat digambarkan seperti apa. Bahkan, rasa cinta yang tak terbatas diantara keduanya tak ada yang dapat memisahkan. Dewa adalah segalanya untuk Anaya dan Anaya adalah segalanya untuk Dewa.

"Dewa, bangun lu!" Anaya terus berteriak memanggil nama Dewa saat perawat-perawat itu telah jauh membawanya.

Pada akhirnya, Anaya bersimpuh di lantai dengan derai air mata yang mengalir deras. Dia terus menangis. Dia tak dapat melakukan apa-apa terhadap sahabatnya.

Nathan mendekap adiknya dengan erat. Dia juga dapat merasakan apa yang sedang dirasakan Anaya. Bahkan, air matanya ikut menetes melihat adegan bak drama cinta menguras air mata ini. Rasa iba dalam hatinya untuk Anaya dan Dewa benar-benar tak dapat dikendalikan. Akankah Anaya mampu bertahan dalam kesedihan ini? Nathan ikut terjebak dalam perasaan haru saat melihat derita yang dihadapi Anaya.

"Tenang, Sayang! Tante dapat merasakan apa yang Naya rasakan. Tante juga sedih mendengar kejadian ini, Nay. Tante mohon sama Naya bertahan, ya, Sayang! Jangan berlarut dalam kesedihan. Kita cuma bisa berdoa pada Tuhan agar Tuhan memberikan keajaiban buat Dewa," ujar Anne sembari memeluk tubuh Anaya yang tak berdaya.

"Bunda juga sedih dengan keadaan ini, tapi mau gimana lagi? Ini sudah ketentuan dari Yang Maha Kuasa, Sayang. Kalo kamu nangis terus kayak gini, Dewa juga bakal sedih dengarnya. Gimana pun kita masih punya kesempatan untuk ngelihat Dewa. Berdoa terus, ya, Sayang?" ucap Soraya sembari membelai rambut Anaya dengan lembut.

Anaya menangis terus menerus. Air matanya terus mengalir membasahi wajahnya yang sudah sembab sejak tadi malam. Bahkan di pagi buta ini, Anaya memutuskan untuk tidak tidur karena dia ingin melihat Dewa sadar kembali.

"Nggak ada yang nggak mungkin, Dek. Dengan doa semuanya bakal terjadi. Yakinlah, Dek!" seru Nathan sekali lagi berusaha menenangkan Anaya yang terlihat terpuruk.

Anaya masih saja menangis tanpa mempedulikan apa yang dikatakan sang bunda dan kakaknya. Dia sudah merasa menjadi orang yang paling jahat karena membiarkan Dewa melawan penyakitnya sendiri. Padahal, Dewa selalu ada di sampingnya saat dia sakit maupun sehat.

Anaya memeluk Soraya dengan kuat. "Naya nggak mau, kalo Dewa kenapa-napa. Naya juga nggak bakal maafin diri Naya sendiri, kalo aja apa yang dibilang Dokter itu bener," ujarnya dan terus memeluk sang bunda.

Soraya mengangguk. Dia membelai kepala gadisnya dengan lembut. "Tenang, ya, Sayang!"

Suasana di rumah sakit kembali tenang setelah Anaya dibawa ke sebuah ruang inap yang kosong. Nathan sangat berhati-hati menjaga adiknya. Dia tahu bahwa saat ini Anaya sedang rapuh dan sangat membutuhkannya.

"Sejahat ini gue, ya?" Anaya memiringkan tubuhnya. Tubuhnya yang mulai lemah membuatnya harus berbaring.

"Kenapa lu ngomong gitu?" tanya Nathan yang duduk di samping jendela.

"Gue nggak tahu, kalo sahabat gue lagi sakit parah," ucap Anaya dengan lirih.

"Nggak semua yang lu nggak tahu adalah kesalahan, Nay. Gue juga nggak nyangka Dewa punya penyakit serius. Selama ini dia have fun, nggak ada ngeluh apa pun," ujar Nathan meluruskan pemikiran Anaya.

"Tapi, gue ini sahabatnya, Kak. Gue ngerasa bodoh banget sekarang."

Nathan mendengus.

"Sekarang gue harus gimana? Dewa belum sadar juga. Terus, gue gimana?" Anaya mulai menangis.

Nathan beranjak dari kursinya dan membelai kepala Anaya. "Berdoa, Nay. Semuanya kita serahkan sama Tuhan."

Anaya menangis tersedu-sedu.

Thankyou, Dewa (Tamat) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang