Anaya menatap wajah Dewa. Dia memegang tangan lelaki itu dengan erat. Tanpa disadari, air matanya menetes. Begitu sedih rasanya melihat Dewa dalam keadaan seperti ini. Padahal, sebelum dia melakukan operasi, semuanya masih baik-baik saja. Mereka masih bersenda gurau, walaupun sempat bertengkar terakhir kali sebelum dia masuk rumah sakit.
"Kenapa, Nay?" tanya Rama. Sore itu, dia datang menjenguk Dewa.
"Nyesal gue, Ma. Kenapa malam itu gue marah-marah sama dia? Kenapa juga gue nggak lari dan minta maaf sama dia?" jawab Anaya sembari menghapus air matanya yang membasahi pipi.
Rama tersenyum. "Penyesalan emang selalu gitu, Nay. Selalu datangnya telat."
"Sekarang gimana caranya gue minta maaf, coba? Dia juga belum sadar," ucap Anaya. Kemudian, dia melepaskan pegangannya dari tangan Dewa.
"Nggak apa-apa, kok. Lu bisikin aja ke Dewa. Nyampe, kok, permintaan maaf lu!" seru Rama.
Anaya menoleh ke arah Rama. "Serius lu?" tanyanya. Dia terkejut mendengar pernyataan Rama.
Rama mengangguk. "Orang yang lagi koma, masih bisa ngerasain, bisa dengar, bisa tahu, tapi nggak bisa ngerespon apa-apa. Sekarang juga Dewa pasti dengar kita ngomong apa di sini."
"Tapi, masih nggak afdol, sih, kalo Dewa nggak jawab langsung permintaan maaf gue." Anaya menyanggah penjelasan Rama.
"Paling nggak, lu lega."
Anaya memutar bola matanya. Apa yang dikatakan Rama ada benarnya. Paling tidak, dia merasa lega karena bisa mengalahkan keegoisannya untuk minta maaf pada Dewa.
"Dokter belum ada ngomong apa-apa?" tanya Rama.
Anaya menggeleng. "Tante Anne bilang masih kayak biasa, Dewa belum bisa ngerespon."
Rama menghela napas. "Semoga Dewa cepat sadar dari koma, ya, Nay. Kangen juga, sih, sama kegokilannya di sekolah."
"Apalagi, gue? Gue kangen banget berantem sama lu, Wa!" seru Anaya mencoba tersenyum.
Rama tertawa. "Ya, itu juga gue kangen. Gue kangen lihat kalian berdua adu mulut."
Anaya menundukkan wajahnya karena malu.
"Oh, ya, lu udah makan, Nay?" tanya Rama.
Anaya menggeleng. "Belum."
"Makan, yuk! Entar lu bisa sakit, kalo telat makan."
Anaya menggigit bibirnya. Kemudian, dia mengangguk.
Hari itu, hari kelima Anaya berada di rumah sakit ini. Dengan kesabaran, dia menunggu Dewa sadar dari komanya. Dia yakin bahwa sahabatnya itu adalah lelaki yang kuat. Namun, entah mengapa hari ini terasa sedikit berbeda.
"Tante!" seru Anaya memanggil Anne yang masih terlelap di sampingnya.
Anne membuka matanya sedikit. "Ada apa, Nay?" tanyanya.
"Dewa, Tan," jawab Anaya.
Wajah Anne berubah. "Dewa kenapa?"
Anaya bangkit dan menarik Anne menuju tempat tidur Dewa. "Bibir Dewa, kok, membiru gini, sih?" tanyanya.
Anne mendekati wajah Dewa. Kemudian, beliau mendekatkan telinganya ke hidung Dewa. Anne menggeleng.
"Kita panggil Dokter aja, ya?" ujar Anaya memberi saran.
Sekali lagi, Anne mendekati Dewa dan memegang dahi putranya itu. Terasa dingin. Beliau juga merasakan tubuh Dewa tak seperti biasanya. Apa jangan-jangan? batinnya.
"Kenapa, Tante?" tanya Anaya. Dia melihat Anne yang tampak resah.
"Kayaknya...."
"Kayaknya apa, Tante?" Anaya pun mulai gelisah.
Wajah Anne menjadi pucat. Sembari menoleh ke arah Anaya, beliau masih tetap memegang dahi Dewa.
Nathan yang mendengar suara Anaya, bangun dari tidurnya. Dia melihat kedua wanita itu sedang berdiri di sisi tempat tidur Dewa. Dia bangkit dan mendekati Anaya. "Ada apa, Nay?" tanyanya.
Anaya mengangkat bahunya dan menunjuk wajah Dewa dengan bibir yang sudah membiru.
Nathan terkejut. Dia memandang Dewa dengan sangat lama.
"Panggil Dokter, Than!" Ucapan Anne terbata-bata. Sepertinya beliau sedang menahan sesuatu.
Tanpa pikir panjang lagi, Nathan berlari menuju ruangan Dokter sembari menjerit dengan kuat, "Dokter!"
Anaya mendekati Anne. Dia menggenggam tangan Dewa yang sudah dingin dan kaku. "Wa, lu baik-baik aja, kan?" ucapnya dengan mata yang mulai berkaca-kaca dan bibir yang bergetar hebat.
Anne tak tahan lagi. Beliau mulai menangis. Beliau sudah yakin bahwa Dewa telah pergi meninggalkan mereka. Dewa sudah tidak ada lagi di dunia ini.
Anaya memanggil nama Dewa berkali-kali. "Dewa, ini gue! Lu nggak kenapa-napa kan, Wa? Bangun dong, Wa!" serunya. Dia tak dapat menahan air matanya.
Anne mendekap Anaya dengan sangat erat. "Dewa udah pergi, Sayang," ucap beliau sambil memekik.
Tubuh Anaya merinding seketika. Jantungnya berdetak semakin kencang. Air matanya mengucur dengan deras tanpa sadar. Dia menggenggam tangan Dewa dengan sangat kuat. Dewa telah pergi. Benarkah ini, Tuhan? tanyanya dalam hati.
Tak berapa lama, Nathan kembali ke ruangan Dewa bersama Dokter dan beberapa perawat lainnya.
Dokter pun memeriksa keadaan Dewa.
"Ibu, tenang dulu, ya!" ucap beliau dengan wajah yang menenangkan.Anne hanya mengangguk. Beliau sudah tahu keadaan Dewa yang sebenarnya. Anak lelakinya sudah pergi meninggalkannya. Tak ada lagi yang beliau harapkan saat ini.
Anaya memeluk tubuh Anne dengan kuat sambil menangis. Dia dapat merasakan kesedihan mendalam wanita paruh baya itu. Dia bisa merasakan tubuh Anne bergetar kuat karena menahan sesak di dadanya. Namun, dia juga tak bisa melakukan apa-apa.
Dokter masih memeriksa seluruh tubuh Dewa. Mereka mencoba meyakinkan Anne, Anaya, dan Nathan bahwa Dewa akan baik-baik saja.
"Bibirnya biru, Dok. Badannya juga dingin dan kaku. Saya yakin dia sudah pergi," ucap Anne dengan terisak-isak.
Dokter tersenyum dan masih mencoba menenangkan Anne.
"Kita berdoa dulu, Tante. Semoga Dewa nggak apa-apa." Nathan juga ikut menenangkan beliau.
Akan tetapi, sepuluh menit telah berlalu. Dokter tak dapat mengatakan apa-apa lagi. Beliau hanya menggelengkan kepalanya. Perawat pun menutup seluruh tubuh Dewa dengan kain putih yang berada di atas tempat tidurnya.
Tangis Anne dan Anaya pun pecah. Nathan berlari ke arah Anaya dan memeluk adiknya dengan kuat.
"Dewa! Dewa! Bangun, Wa! Lu nggak boleh ninggalin gue!" seru Anaya berteriak dengan kencang. Dia mengguncang tubuh Dewa yang sudah kaku.
"Nay, sabar! Tenang, ya, Nay!" ucap Nathan menenangkan Anaya, walaupun dia sendiri tak kuasa menahan kenyataan yang mereka hadapi malam ini.
Anne memeluk tubuh Dewa dan menangis di atas dada sang putra. "Kenapa kamu tinggalin Mama secepat ini, Nak? Mama nggak mau sendirian. Tolong, balik, Nak!"
Anaya melepaskan pelukan Nathan. Dia memeluk tubuh Dewa dari sisi kiri. "Jahat, lu, Wa! Jahat! Lu benar-benar pergi dan nggak balik lagi! Lu jahat, Wa!" serunya.
Sementara itu, Nathan hanya bisa memandang Anaya dan Anne. Dia pun ikut hanyut dalam duka ini.
Ruangan itu menjadi saksi kesedihan Anaya. Betapa pilu hatinya mendapati sahabatnya pergi kepada Sang Khalik di depan matanya sendiri. Tak ada yang lebih menyedihkan bagi Anaya selain kehilangan Dewa, seorang sahabat yang selalu menjadi penolongnya di mana pun dan kapan pun. Kini tubuh kekar, rambut setengah gondrong, dan fashion yang tak pernah cocok untuknya itu sudah menghadap Sang Khalik. Anaya bersimpuh pasrah.
"Dewa!" Teriakan terakhir di malam itu menjawab semua kegelisahan Anaya selama lima hari menunggu Dewa sadar dari koma. Kini Dewa sudah sembuh dari semua penyakitnya. Dewa tak akan lagi meringis kesakitan seperti sebelumnya. Dewa akan tenang di sana.

KAMU SEDANG MEMBACA
Thankyou, Dewa (Tamat)
Teen FictionMenjalin persahabatan hampir sembilan tahun lamanya, membuat Dewa terancam dengan perasaannya sendiri. Kadang rasa takut kehilangan lebih kuat daripada sekadar memiliki Anaya seutuhnya. Tak tahu sampai kapan dia harus menyimpan perasaannya sendiri. ...