Kesal Kubik (³)

1 1 0
                                    

Anaya melemparkan handbag-nya ke dalam mobil. Kemudian, dia masuk tanpa menunggu aba-aba dari Nathan. Dibukanya ikatan rambut yang mulai kesemrawutan. Berulang kali diacmendengus dengan keras. Hal ini membuat Nathan tak tahan lagi untuk menanyakan apa yang sedang terjadi.

"Kenapa lagi, nih, anak? Kenapa, sih, lu?" tanya Nathan.

"Ah, nggak usah tanya-tanya, Kak! Ayo, pulang!" seru Anaya dengan nada tinggi. Dia menghempaskan tubuhnya dengan kuat.

"Lah, kok, jadi gue yang disemprot? Gue nanya baik-baik, Anaya sayang," ujar Nathan tetap santai. Dia tahu bahwa mood adiknya pasti sedang tidak baik. Apakah ini ada hubungannya dengan absennya Rama di latihan mereka hari ini? Bisa jadi, sih!

"Kesel gue!" jawab Anaya dengan suara membentak.

"Kenapa? Sama siapa? Sama gue?" tanya Nathan tetap tenang mengemudikan mobil .

"Ngapain, sih, Rama pake acara nggak bisa datang?" Nama Rama mulai terseret dalam masalah ini.

Nathan tersenyum. Ternyata, wajah cemberut dan emosi yang tidak stabil ini diakibatkan oleh satu orang yaitu Rama.

"Tuh, si Johan! Nyebelin banget. Kenapa Zacky dan yang lain bisa nerima dia dalam grup? Padahal, mulutnya sadis banget, Kak!" Anaya menggerutu dengan hebat.

"Eh, yang namanya grup pasti ada aja yang kayak si Johan itu! Manusiawi, dong! Makanya, lu yang harus pande-pande bawa diri ke mereka!" ujar Nathan tetap tenang mengemudikan mobilnya.

"Tapi, si Johan suka banget ngomelin orang, Nath. Tadi aja udah tiga kali gue kena semprotan mautnya." Anaya menggerutu lagi sembari memukul dashboard mobil.

"Kok, bisa? Emang kenapa?"

"Gue lupa lirik lagunya, tapi bukan berarti dia harus ngomelin gue kayak emak-emak di pasar yang lapaknya digusur satpol PP, kan? Gue ini vokalis, loh! Apalagi, gue cewek. Bener-bener dia nggak ada manis dan sopan sama cewek. Aneh lihat cowok kayak gitu!" Anaya menggerutu terus-menerus sampai tak menyadari sang kakak sedang tertawa cekikikan mendengar keluhannya.

"Ya, udah, anggap aja ini pemanasan. Besok-besok lu tunjukin, tuh, bakat lu yang sebenarnya sama dia. Biar dia nyahok dan nggak ngomel-ngomel sama lu lagi kayak emak-emak yang anaknya ngilangin tupperware emaknya," ujar Nathan. Dia tak dapat menahan kelucuan Anaya hari ini. Saat marah saja, Anaya bisa membuat sebuah hiburan di tengah kemacetan ibukota.

Anaya memandang Nathan dengan cemberut. "Apaan, sih, lu, Kak? Tupperware pake dibawa-bawa segala!" serunya yang sadar dengan ucapan Nathan.

"Nah, lu pake bawa-bawa lapak di pasar sama Satpol PP!" seru Nathan.

"Udah, deh, nggak usah dibahas lagi itu robotik!" seru Anaya.

"Kok, robotik? Siapa? Rama?"

Anaya melirik Nathan dengan tajam, "Si Johanlah! Kok, Rama, sih?" serunya benar-benar kesal.

Nathan tertawa mendengar keluhan Anaya tentang teman-temannya.

"Kalo aja Dewa masih hidup, udah nyahok si Johan. Dia nggak bakal bisa ngeremehin gue lagi!" seru Anaya.

"Oh, ya? Emang bakal diapain sama Dewa?"

"Ditonjoklah! Atau paling nggak, bakal dibalas omelannya sama Dewa," ujar Anaya mulai mengingat Dewa kembali.

"Um, kalo mereka berdua ketemu dan saling berantem gara-gara lu, seru juga, tuh! Yang satu teriak, tupperware gue! Yang satunya lagi teriak, merdeka! Singkirkan satpol PP! Selamatkan lapak kita bersama!" seru Nathan sambil tertawa.

"Apaan, sih, lu, Nath? Ih, nggak lucu banget!" seru Anaya yang sebenarnya juga ingin tertawa mendengarkan ocehan Nathan. Namun, karena dia sedang tidak enak hati, dia hanya bisa menahan tawanya.

"Itulah yang bakal terjadi. Sesuai sama yang kayak lu bilang tadi, kalo Dewa dan Johan ketemu," jawab Nathan.

Anaya memandang kakaknya dengan wajah kesal. "Udah, deh, Nath! Ngomong sama lu buat gue makin gila. Udah, deh, cepetan bawa mobilnya!" serunya.

Nathan terus tertawa. "Bukannya sesama orang gila harus menghargai, ya?"

Anaya meliriknya sembari bergidik ngeri. "Lu aja yang gila!" serunya.

"Emang lu sendiri, gimana?"

Anaya membuang wajahnya.

Akhirnya, mereka sampai di rumah menjelang azan magrib. Anaya langsung menaiki tangga menuju kamarnya yang berada di lantai dua setelah memberi salam kepada Adjie dan Soraya. Dia menghempaskan tubuh mungilnya ke atas kasur. Sambil memandang langit-langit kamar, dia mulai mengenang hari-harinya bersama Dewa. Andai saja Dewa masih ada, hidupnya pasti tidak akan hampa sekarang ini. Masih jelas di ingatannya, kalimat Dewa saat itu.

"Lu kenapa putus sama Billa?" tanya Anaya pada saat mereka berdua masih berada di kelas 1 SMU.

"Gara-gara lu!" seru Dewa dengan sinis.

"Kok, gara-gara gue? Emang gue apain dia?" tanya Anaya.

"Dia nggak suka gue terlalu mikirin lu! Dikit-dikit Naya, apa-apa Naya, gitu katanya!" jawab Dewa.

"Ih, sembarangan banget, tuh, si Billa!Emang dia nggak tahu apa, kalo gue ini lebih dari segalanya buat Dewanya ini?" jawab Anaya dengan geram.

"Tuh, dia masalahnya. Mendingan gue pacarin lu aja sekalian daripada tiap gue pacaran sama cewek lain, yang gue pikirin cuma lu doang!" ucap Dewa sembari menepuk jidat setengah lapangan tembak milik Anaya.

"Haha. Ngarep banget lu!" Anaya membalas tepukan di jidatnya dengan memukul lengan Dewa.

Dewa mengerang kesakitan. Maklum saja, selain jago bernyanyi, Anaya juga jago bela diri. Nah, Dewa? Dewa hanya bisa mengantarkan sahabatnya itu sampai depan pintu aula tempat Anaya latihan Taekwondo, selebihnya dia akan menunggu Anaya selesai latihan di dalam mobil.

Anaya sadar dari lamunannya ketika handphone-nya berdering.

"Halo, Ma," sapa Anaya setelah mengangkat panggilan tersebut.

"Belum tidur, Nay?" tanya Rama dari seberang.

"Baru sampe rumah, nih."

"Oh, gitu? Gimana tadi latihannya? Bagus, kan?"

Anaya menghela napas. "Ya, gitu, deh."

"Kok, lemes banget? Ada apa?"

"Bete gue!" jawab Anaya dengan ketus.

"Gara-gara apa?"

"Gara-gara lu nggak dateng," jawab Anaya spontan.

Rama tertawa. "Serius?"

"Dua serius malah,"  jawab Anaya.

"Kok, bisa?"

"Nggak ada yang nenangin hati gue setelah diomelin habis-habisan sama Johan!" seru Anaya dengan wajah cemberut.

"Gila! Johan ngomel lagi?"

"Iya."

"Emang kenapa?"

"Gu-gue lupa lirik lagunya."

"Lu, sih, kenapa bisa lupa?"

"Kan, udah gue bilang, gara-gara lu nggak dateng. Gue lupa part gue di mana!" seru Anaya.

Rama tertawa. "Maaf, deh! Tadi bunda emang ngizinin gue pergi latihan, tapi gue yang nggak enak ninggalin bunda sendirian di rumah sakit," jawabnya.

Perasaan Anaya sedikit lebih tenang dari sebelumnya setelah dia mendengar suara Rama.

"Um, gimana kalo besok kita nongkrong dulu sebelum pulang? Biar hati lu makin anget, nggak dingin kayak sekarang!"

Anaya memutar bola matanya.

"Oke, Nay?"

"Um...."

"Gue yakin lu pasti setuju. See you, ya, Nay!

Telepon terputus. Anaya tersenyum di balik rasa kesalnya.

Thankyou, Dewa (Tamat) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang