Assalammualaikum, Sahabat. Udah masuk Bab ke-5 aja, nih! Udah gimana perasaan kalian baca ceritanya? Campur aduk, kah? Aku harap setiap hari kalian selalu nungguin cerita ini, ya! Oke?
Anaya turun dari atas motor sambil merapikan rambutnya yang sudah berantakan. Dia mencoba untuk tetap biasa saja agar Rama tak curiga dengan perasaannya. Walaupun, sebenarnya dadanya masih berdebar-debar.
"Makasih banget ya, Ma..." ujar Anaya seraya tersenyum dengan puas.
"Iya," jawab Rama membalas ucapan Anaya.
"Lu nggak masuk dulu?"
"Nggak usah, Nay. Udah mau hujan," jawab Rama menolak ajakan Anaya.
"Oh, gitu. Ya udah, deh."
"Kirim salam sama Dewa, ya?"
"Oke."
Lelaki idaman Anaya itupun meninggalkannya tepat di depan gerbang. Anaya memasang senyum manis selama mengiringi kepergian Rama. Tak ada habisnya dia berdecak kagum dalam hati memuji Rama. Mungkin ada berjuta kali hatinya membatin tentang Rama. Cinta memang sangat hebat. Kekuatannya mengalahkan goncangan gempa terdahsyat. Tak berapa lama, Anaya masuk ke dalam rumah. Di dalam rumah, Nathan sudah menunggunya.
"Ehem... Ehem..." ujar Nathan saat melihat Anaya melintas menuju tangga.
Anaya menoleh ke arah ruang makan yang berada di sisi kanan bagian dalam rumah. Seorang Nathan sedang menatapnya dengan mulut menganga. Anaya tak perduli. Dia terus saja berjalan menaiki tangga menuju kamar.
"Bukannya tanpa pacaran juga lu bakalan kawin ya, Nay?" Suara Nathan yang keras menggiring seisi rumah menatap Anaya, termasuk sang ayah.
"Ih, Nathan! Lu apaan, sih?" seru Anaya membalas sindiran keras kakaknya sambil melihat ayah dan bunda yang juga sedang memandangnya dari meja makan.
"Baru pacaran, ya?" ledek Nathan lagi.
"Eh, lu bisa diem, nggak?" serunya lagi dan kali ini dia nekat menuruni tangga untuk menemui kakaknya itu.
Nathan tertawa terbahak-bahak. "Cakep kok, Dek."
Anaya tak menjawab. Dia hanya melayangkan sebuah pukulan maut ke bahu Nathan. Ini adalah reaksinya saat Nathan menggodanya di hadapan ayah dan bunda.
"Aduh... Pukulan lu sakit juga ya, Nay?" ucap Nathan sambil meringis.
"Udah, deh. Lu jangan ngeledek gue melulu! Lu mau gue tampol lagi, Kak?" ucap Anaya sambil mengangkat tangannya bersiap-siap untuk memukul Nathan.
"Gue nggak ngeledek kok. Emang kenyataannya gitu, kan?" Nathan berusaha membuat pertahanan dengan bersembunyi di balik lengan ayah.
"Rama tuh cuma temen, bukan siapa-siapa. Jangan sampe lu buat gosip murahan, ya?" bantah Anaya dengan wajah merah padam.
"Oh, jadi namanya Rama," sahut ayah yang ternyata mengikuti perbincangan antara kedua anaknya.
"Ayah..." ucap Anaya merengek.
"Rama toh namanya?" sambung Nathan lagi.
Anaya tak henti-hentinya memukul Nathan di setiap bagian tubuhnya. Sehingga membuatnya tak tahan lagi dengan pukulan itu dan berlari meninggalkan Anaya yang masih kesal.
Sang bunda mendekati gadis belianya sambil tersenyum. "Bener itu, Nay?" tanya beliau dengan senyum mengembang.
"Bunda juga..." ucap Anaya merengek lagi sambil memeluk beliau dengan erat.
"Bunda, kok, senang ya dengar berita kayak gini?" ledek Bunda.
"Bunda nggak usah ikutan, deh! Kak Nathan itu emang suka jahil."

KAMU SEDANG MEMBACA
Thankyou, Dewa (Tamat)
Подростковая литератураMenjalin persahabatan hampir sembilan tahun lamanya, membuat Dewa terancam dengan perasaannya sendiri. Kadang rasa takut kehilangan lebih kuat daripada sekadar memiliki Anaya seutuhnya. Tak tahu sampai kapan dia harus menyimpan perasaannya sendiri. ...