Entah sudah berapa lama berlalu. Mungkin tiga bulan atau mungkin ... lebih? Tapi, nyatanya Leony nyaris melupakan hal yang satu itu. Hal yang justru tanpa sadar diungkit oleh Miska. Ketika temannya itu merasa bahagia. Lantaran hubungan dirinya dan Eros yang sudah membaik lagi. Tapi ....
"Pokoknya aku beneran nggak mau cerai sekarang, Ros. Ya kali aku jadi janda dengan perut buncit. Lagian ini anak kamu. Mau nggak mau, kamu harus tanggung jawab."
"Ya pastilah. Kalaupun kita bermasalah, seenggaknya bayi yang kamu kandung itu anak aku. Mana mungkin juga aku menelantarkan darah daging aku sendiri. Aku ini masih manusia kali."
"Makasih. Seenggaknya, dengan hal ini mau nggak mau kita terpaksa menunda perceraian kita."
"Paling nggak sampe dia lahir."
Ketika suara-suara itu mengiang di benaknya, Leony sontak menunduk. Melihat pada perutnya yang makin hari makin membuncit. Mengusapnya dengan kaku.
Karena pada saat itu, semua bayangan semua hal yang terjadi di antara mereka, muncul di ingatan Leony. Menampilkan Eros yang selalu memijat tekuknya ketika ia muntah. Yang selalu dengan senang hati masak untuk dirinya. Yang selalu tak keberatan memijat kaki. Yang selalu memberikan perhatian padanya. Melindunginya.
Dan apakah kalau nanti bayi mereka lahir, itu menjadi tanda bahwa sudah saatnya Leony dan Eros berpisah? Hingga tak akan ada lagi kehadiran cowok itu di kehidupannya. Pun dengan bayinya yang mungkin tidak akan mendapatkan kasih sayang Eros.
Lalu, tubuh Leony terasa bergetar. Lantaran satu pertanyaan yang segera muncul.
Ce-ce-cerai?
A-a-apa aku dan Dedek ... bakal kehilangan Eros?
*
"Sekarang kan nggak. Dan jujur aja, jadi buat aku lega. Ngeliat kamu udah happy lagi dengan Leony, aku bisa jamin. Nggak bakal pernah ada lagi ide cerai di otak kamu. Benar kan?"
Eros tertegun. Dengan satu cangkir yang ia pegang di satu tangannya. Ketika itu, rencananya ia akan membuat pesanan pelanggan yang masuk. Tapi, sepertinya ia tidak bisa fokus dengan pekerjaannya kali ini. Lantaran perkataan Evan tadi.
Menarik napas dalam-dalam, Eros tau pasti bahwa Evan bukan bermaksud untuk menyindir dirinya. Alih-alih meyakinkan dirinya bahwa kehidupannya dan Leony baik-baik saja. Lantas, mengapa harus bercerai? Tapi ....
"Perut aku mual banget rasanya. Ya ampun, Ros. Aku beneran nggak mau kita pisah sekarang, Ros. Aku nggak mungkin bisa bertahan kayak gini seorang diri. Pokoknya aku nggak mau kita cerai. Kamu nggak boleh lepas tanggung jawab, Ros. Ini anak kamu juga."
"Tenang, Ny. Aku juga manusia. Lagi hewan aja nggak mungkin ninggalin anaknya. Masa aku bakal ninggalin anak aku? Apalagi ...."
"Kita lupakan dulu soal perceraian itu. Karena kalaupun kita tetap bersikeras buat bercerai, ada dua keluarga yang pasti bakal menentang keputusan kita."
Menatap cangkir di tangannya, Eros lantas tertegun. Membiarkan bagaimana benaknya berulah. Seperti ingin mengingatkan dirinya ... seperti apa hari-hari yang ia lalui selama ini.
Ada Leony yang selalu menyiapkan sarapannya. Selalu memastikan kerapian pakaiannya. Selalu menyambut ia dengan antusiasnya. Selalu manja padanya. Dan selalu bersemangat ketika membicarakan soal kandungannya.
Lantas ... bila pada akhirnya bayi mereka lahir ke dunia, apakah rencana mereka harus tetap terlaksana? Seperti keinginan mereka dulu? Karena saat ini Eros sadar bahwa hal itu mengganggu pikirannya. Dengan satu pertanyaan ....
KAMU SEDANG MEMBACA
POSITIF! 🔞 "FIN"
RomanceJudul: POSITIF! Genre: Romantis Komedi Dewasa (18+) Status: Tamat Cerita Pertama dari Seri "Satu Kata" Buat yang belum dewasa, sangat tidak disarankan untuk membaca! ************** "BLURB" Pradipta Erosandy dan Leony Rosalie adalah satu dari sekian...