All Doom and Gloom Yesterday #11

23 8 0
                                    

Tembe Mburi, 2013

Oh, yesterday came suddenly. Not so far away, certainly. Ah, agaknya tidak seperti itu syairnya. Tembe Mburi dulunya sangat suka lagu Yesterday, terbius atmosfer sebuah kafe retro, bahan bangunannya mahoni dengan nuansa rustic kebersahajaan. Ada derit pintu usang, nampak tua sekalipun terbuat dari aluminium. Sebuah pondokan teduh yang seingatnya, menyatu dengan pohon besar angsana yang kulit kayunya berharum mawar merah.

Di kafe itu, meja yang paling disukai Tembe Mburi berdekatan dengan batang pohon angsana, dikenal pula sebagai pohon sena, tingginya mencapai empat puluh meter dan bunga-bunganya kuning semerbak. Tembe menyesal melupakan bau bebungaan, yang gugurannya layaknya sehelai permadani gading, menyemarakkan halaman dan atap sirap kedai kopi yang namanya patut dikenang, yakni Kafe Taman Botani. Sebuah rustic garden hut tak terlupakan, dalam keindahan cinta yang berlalu dalam sekejap mata.

Kafe kenangan Tembe memang berlokasi di Taman Botani sekitar kampus. Kampus Merah tempat Tembe menuntut ilmu, merupakan tempat ia bersua dengan sang kekasih, Mavella Zevania, perempuan yang terpaut dua tahun lebih tua, satu angkatan di atas Tembe, seorang mahasiswi Fakultas Biologi yang cemerlang.

Tembe pun murid berprestasi menonjol, menamatkan SMA sebagai juara umum pada usia 16 tahun, diterima sebagai mahasiswa Fakultas Hukum dengan meraih nilai tertinggi dalam ujian masuk. Gilanya lagi, ia yang bersikeras mengikuti ujian masuk, sementara melalui penelusuran bibit unggul berprestasi semasa SMA, dipastikan Tembe lulus seleksi tanpa ujian tertulis. Keinginan Tembe menantang diri sendiri, juga keunikan karakternya, itulah yang membuat Mavella tergila padanya.

Yesterday. Rasanya baru kemarin, Tembe merayakan ulangtahunnya yang ke-18, sekaligus menjadi selebrasi cintanya bersama Mavella. Tepat pada hari bersejarah itu, Tembe dan Mavella resmi menjadi sepasang kekasih, setelah Tembe menyatakan cintanya di Kafe Taman Botani nan misterius. Aura khas kafe yang rustic, kedesa-desaan, kharisma pohon angsana yang menua, bagaikan tuah kasmaran yang tak lekang atas waktu.

Sayang, kutukan angka delapan belas tak meluputkan Tembe, kesialan turun temurun yang merundung keturunan Sahaya. Terutama tiap anak lelaki tertua dalam keluarga, dikutuk untuk berseteru dengan angka delapan belas. Entah apa sebabnya. Tembe Mburi Sahaya. Apakah nama Sahaya adalah sebab musababnya?

Tak lama berselang, setelah genap berusia delapan belas, Tembe terbujuk dalam pergaulan dengan kawan-kawan sesat, larut dalam pesta miras hingga mabuk berat. Nekat memaksakan diri bermotor dalam kondisi mabuk, Tembe tak sengaja menabrak ibu tua yang menyeberangi jalan hingga sang ibu meninggal seketika.

Catatan hitam di kepolisian menyudahi harapan Tembe menjadi advokad ulung. Sebagai calon pakar hukum, Tembe hafal mati. Ia terhadang pasal 106 ayat 1 UU 22 / 2009 yang mengatur bahwa setiap pengemudi kendaraan bermotor di jalan wajib mengemudikan kendaraannya dengan wajar dan penuh konsentrasi. Apalagi dirinya terjerat pula pasal menghilangkan nyawa tanpa sengaja.

Walau dengan kepercayaan diri yang remuk, Tembe sukses menggondol gelar Sarjana Hukum sebelum berusia 20 tahun. Sayang, harapannya menjadi pengacara atau notaris urung terlaksana, lantaran "dosa tak terencana" yang terjadi pada tahun kedelapan belas hidupnya.

Kini, di masa sekarang, pada tahun hidupnya yang ketiga puluh, seorang asing menanyai soal masa depannya. Mencari jawaban dari masa depan? Untuk apa? Hanya untuk menemui kenyataan yang lebih memalukan?

"Tadi Anda bertanya soal masa depan saya? Ehm, saya kok malah lebih terpikat menelaah masa lalu keluarga saya. Kami, keturunan lelaki keluarga Sahaya dikutuk berseteru dengan angka delapan belas. Ibarat minyak dan air yang tak dapat menyatu, kami dan nasib baik pun sering tak akur dan tak sejalan. Menurut Anda, itu nasib atau kutukan?"

Tomorrow Forget Me NotTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang