Tomorrow to Die For #22

27 6 0
                                        

"Anda cerdas. Pikiran Anda pasti tajam, kan? Silakan saja dicoba." Tembe dengan gaya berwenang menyodorkan gagang telepon di muka Clark. Sesaat Tembe menunduk untuk menelusuri notes kecilnya.

"Oh iya." Tembe mengangkat wajahnya dengan berbunga. "Waktu Anda di masa depan terbatas, sayangnya. Good news, Anda dapat kelonggaran waktu tujuh detik dari tenggat 11 menit. Begitu bulir pasir terakhir gugur, Anda akan kembali ke masa kini. Ingat, letakkan gagang telepon begitu mendengar nama Anda dipanggil. Ini poin yang paling sering dilanggar. Ingat untuk patuh, ya. Kecuali, ya itu ..."

"Kecuali apa ya, Pak?" Clark menyergah tak sabar.

"Kecuali Anda memang memutuskan jadi arwah gentayangan untuk menghindari kematian yang menyakitkan. Itulah gunanya konsultasi kematian tadi. Tak mungkin Anda tak paham, kan?"

Dengan banyak gaya dan upacara, Tembe membalikkan jam pasir merah muda, dengan tangan kirinya, agar hitungan waktu mundur dimulai. Refleks, Clark bergidik dan hendak mencegah. Jangan dimulai dulu hitungan waktunya. Aku belum siap! Cegatan Clark tak terucap. Mungkin tercekat di kerongkongnya, atau tertelan dalam lambungnya?

Spontan, Clark menjauhkan badannya, sementara gagang telepon masih terulur ke arahnya. Bagaimana bisa, sementara benda ini punya kunci menuju impiannya. Masa depan yang tak mungkin dimilikinya. Tubuhnya sekarat, waktu dan spiritnya sudah menyurut. Namun, sodoran Tembe tak mungkin ditolak. Mau tak mau, Clark mengukuhkan hati, mengepalkan tangan kirinya keras-keras, menghimpun kekuatan yang mustahil sejatinya. Ia berteriak dalam hati, dan dengan kekuatan tekad mampu mematahkan keraguannya.

Aku siap dengan risikonya! Clark menyambar gagang telepon kuno yang dipoles keemasan. Pengawasan Tembe yang tegang menularkan rasa gugup luar biasa. Keringat dan lembab melemahkan tangan kanan Clark, sebagaimana tangan kirinya melemas oleh ketakutan.

Password terkutuk itu. Hanya empat digit angka, tetapi ia cuma punya satu kali kesempatan. Tanpa diperkenankan melakukan satu kali pun kesalahan. Sial, seingatnya mesin ATM saja masih memberi tiga kali kesempatan sebelum kartu debitmu terblokir akibat PIN yang keliru. Begitu kikirnya aturan toko, yang memperkecil peluang Clark atau siapa pun untuk mencoba pergi ke masa depannya. Habislah peluangku! Clark mengatupkan matanya putus asa.

"Halo, Clark." Andai Andarani berbicara, terngiang bahagianya sang istri di ujung telepon, beberapa hari lalu. "Kata dokter, bayi kita diperkirakan akan lahir tepat di akhir tahun ini. Dia bakal jadi anak Old and New. So sweet! Aku dapat nama yang bagus lho, Clark. Bagaimana kalau namanya Tiara? Feeling-ku ini pasti anak perempuan."

Istri Clark berapi-api, sementara dasarnya ia perempuan kalem dan jarang berbicara lantang. Tak pernah absen mengabari seluk beluk tumbuh kembang calon buah hati mereka, bahkan tak menunggu sampai Clark pulang ke rumah, Andai menyambar telepon dengan riang, menyampaikan setiap detail terkini yang diketahuinya dari dokter kandungan. Seorang dokter yang menangani kehidupan baru dalam rahim istrinya.

Clark tak mampu menyela, karena perkataannya adalah kiamat bagi kebahagiaan istrinya. Vonis Dokter Harahap dan Dokter Pandi atas tenggat kematiannya. Enam bulan maksimalnya. Penyakit terminal artinya ambang maut yang tak terelakkan. Pupuslah harapan Clark menimang momongan, buah hati yang dinantinya sekian lama. Mati-matian merahasiakannya sementara waktu, itulah hal terbaik yang diperbuat Clark sebagai suami.

Gagang telepon melekat di telinga Clark. "Halo, Clark. Malam Old and New ini kamu gak bisa pulang juga? Aku sudah siapin dinner istimewa buat kita. Usahakan kamu pulang sebelum tengah malam, ya." Renyah, berharap banyak, Andai mengingatkan Clark setiap menjelang malam tahun baru.

Sebelas kali malam tahun baru, New Year's Eve yang berlalu kelabu, sekadar menjadi rutinitas kesibukan bagi kedai teh Clark, dan kekecewaan Andai Andarani yang merayakannya seorang diri saja. Makan malam yang mubazir, akhirnya disimpan Andai di lemari es untuk dihangatkan keesokan harinya. Tentu rasanya sudah berbeda. Kenangan pun demikian, sehangat apa pun, tetaplah dimiliki masa yang sudah berlalu. Apa yang kita rasakan sekarang, lambat laun memupus, tawar, dan tercerabut seiring lalu waktu.

Tomorrow Forget Me NotTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang