"Ka, lempar ke gua!"
Hap! Lelaki itu berhasil menangkapnya. Lalu dengan cepat, mendribble bola basket yang berada di tangannya.
"Langsung shoot, Jun!"
Bruk!
"Yes! Kita menang!" seru salah satu pemuda di antara dua kelompok yang berlawanan dalam pertandingan basket antar sekolah menengah atas.
Keempat pemuda mengangkat sang penembak skor akhir untuk tim basket mereka. Semua siswa yang berada di bangku penonton bersorak kegirangan melihat tim perwakilan sekolah mereka menang telak atas tim basket sekolah lain.
Entah siswi maupun siswa, mengerubungi tim basket sekolah menengah atas Artawijaya. Menyoraki sang kapten basket yang menciptakan kemenangan dan kebanggaan bagi sekolah mereka.
"Junior! Junior! Junior!" Begitu seru mereka.
Cekrek! Cekrek!
Kamera lama itu akhirnya menangkap gambar sosok yang sedang disanjung oleh para murid. Bibir itu mengulum senyuman karena bangga akan hasil jepretannya yang tepat dan tak buram. "Akhirnya."
Setelahnya, mata itu menatap lama wajah pemuda yang menjadi sorotan banyak orang.
Dengan keringat yang menghiasi wajah tampan itu, dan juga senyuman yang tidak diberikan padanya, membuat jantungnya berdebar walau melihat semuanya itu dari jauh.
Hingga mata elang itu tertuju tak sengaja berbentrok dengan tatapannya pada pemuda itu. Kemudian, terciptalah kontak mata selama beberapa detik, yang diputuskan sepihak oleh pemuda bermata tajam itu. Dan sekali lagi, debaran itu makin kencang dan membuat perutnya kencang seperti mengeluarkan ribuan kupu-kupu.
COULD YOU?
"Oke, anak-anak. Latihan ekskul kita sampai sini. Bapak ada urusan lain, jadi harus cepat-cepat pergi. Sampai ketemu minggu depan, anak-anak."
"Makasih, Pak Jaya!"
Sang pelatih ekskul mengangguk dan melanjutkan langkahnya keluar gedung aula basket milik sekolah itu. Sedang, semua yang mengikuti ekskul itu beristirahat di tempat duduk seraya bercerita keseharian masing-masing.
"Gila! Di tempat les gua, ada cecan turunan Korea!" seru Serga yang diejek oleh sekitarnya.
"Hu! Lo kalau soal cecan, gercep. Soal tugas kimia, lelet kayak ulet!" ejek Jerrel yang terlihat sirik pada Serga.
Serga mengangkat dagu menantang. "Napa? Lo iri? Bilang babu!"
"Astaghfirullah! Sesama pemuja cecan gak boleh menghina," tutur si alim, Nur Kartomo.
"Idih, najis. Lo juga gak mau dijodohin sama ukthi yang jelek, kan? Jangan pura-pura amnesia!" serang Juna, si paling sadis dalam hal pernyinyiran.
"Eh, mana ada kayak gua begitu? Gua Cuma memastikan kalau ukthinya itu berkualitas tinggi."
Puk!
"Your head. Lo kira barang online shop, gitu? Pake acara kualitas tinggi juga?" Haniel, si paling tua yang bijak, agung, tapi berakhlakless.
Nur meringis saat Haniel menepuk kepalanya dengan handuk kecil. Mentang-mentang, Nur paling muda, seenak jidat Haniel saja memukul Nur dengan handuk. Apalagi handuk milik Han bau menyengat.
"Bau keringat lo nyengat banget, Bang Han," keluh Nur setelah mencium rambutnya yang basah dengan aroma aneh.
"Bau-bau kemenangan itu namanya."
Nur memutar matanya malas. "Bang Juna, tungguin gua di kamar mandi, ya? Gua mau mandi."
"Ya, udah. Gua kayaknya juga mau mandi. Pengen banget pulang ke rumah, langsung tidur," ucap Juna sembari berdiri dan mengulurkan tangannya untuk adik kelasnya itu.
"Gua juga, deh." Dan yang lain pun mengikuti.
"Jun. Lo gak mandi juga?" tanya Jerrel dan Junior menggeleng.
"Gua mau latihan sebentar," jawab Junior sembari mengambil bola basket di tengah aula.
Jerrel mengangkat kedua alisnya. "Oh, lo pulang telat?"
"Yoi. Bilangin ke nyokap gua, ya," pinta Junior seraya melakukan dribble kecil-kecilan.
"Hp lo gunain dikit, napa? Gua berasa nabi aja, bawain pesan mulu," omel Jerrel yang kemudian pergi ke kamar mandi bersama yang lain.
Junior hanya terkekeh mendengar sepupunya mengomel karena menitip pesan pada sang ibu bahwa Junior pulang telat. Hal itu berulang kali terjadi, hingga Jerrel merasa lelah dan mengomel jika Junior meminta tolong.
Lupakan soal omelan Jerrel, kini Junior melakukan latihan basket sendiri. Ia begitu mencintai basket sedari kecil. Awalnya sang ayah yang mengenalkannya pada olahraga bola besar itu. Permainan basket pun menjadi favorit setelah berulang kali ayah Junior mengajaknya bermain. Hingga sekarang, Junior begitu menyukai basket.
Kini, sudah 50 shoot yang Junior berhasil cetak dalam kurung 10 menit. Ia juga mempraktekkan gerakan yang barusan Pak Jaya ajarkan. Banyak anak ekskul yang meminta pertolongan padanya jika mereka tak paham akan ajaran Pak Jaya.
Cekrek!
Junior menghentikan kegiatannya.
Ia mendengar seperti ada mesin yang bersuara dari arah pintu aula basket. Namun, Junior tak menemukan apa-apa dari dalam aula.
"Mungkin perasaan gua aja," gumam Junior.
Ia kembali fokus akan kegiatannya. Junior Nampak tak terganggu sama sekali jika ia sudah fokus akan basketnya.
Cekrek!
Junior kembali berhenti.
Junior menatap ke arah luar pintu. Ia mulai merasa janggal setelah mendengar suara mesin itu lagi.
Perlahan, kaki Junior berjalan menuju pintu tersebut. Rasa was-was Junior membuatnya menatap kedepan dan kebelakang. Matanya juga cepat melihat sekeliling.
"Gak ada apa-apa?"
Junior sudah sampai di pintu, tapi tak ada apa-apa di sana. Bahkan, terlihat baik-baik saja. Langit yang mulai berwarna jingga, angin yang bertiup pelan, juga beberapa anak ekskul taekwondo yang sedang praktik di lapangan sekolah.
Menggedikkan bahu, lalu berjalan acuh masuk lagi.
"Huft! Hampir, aja."
Perempuan itu bernapas lega. Ia berhasil bersembunyi dan tak diketahui oleh pemuda itu.
Grep!
"Siapa lo?"
Oh, tidak.
To Be Continued
KAMU SEDANG MEMBACA
Could You? (on Hold)
Teen FictionON HOLD Walau terlihat sederhana dengan kamera yang selalu dipegang, kehidupan perempuan yang kerap dipanggil Bi itu tak sesederhana itu. Memang berat. Namun, semenjak dentuman bola basket menarik perhatiannya saat ia berjalan melewati aula basket...