Surya menggeleng kepala. Dengan perlahan, tangannya memijat kuat kaki Bi.
"A-aduh, Kak! Sakit, huhuhu!" jerit Bi menahan nyeri.
"Sakit, ya? Sebentar, tahan dulu." Surya kembali memijat dengan perlahan dan lembut.
Setelahnya, dengan pelan Surya menggerakan kaki Bi memutar. Napas Bi lega saat nyeri di kakinya sudah reda.
"Udah gak apa, Sur?" tanya Serga memastikan.
"Gimana Bi? Udah gak sakit?"
Bi mengangguk pelan. "Iya. Udah gak begitu sakit. Makasih Kakak."
Serga menghela napas dan Surya mengangguk. Untung saja hanya keseleo biasa. Dan syukur saat ruang UKS kosong tidak ada orang, Surya yang mantan anak PMR itu datang ke UKS. Bi pun ditangani oleh Surya.
Surya mendekat ke arah bed Bi. "Lain kali kalo ada pemanasan, yang serius. Kalo gak, gini nih jadinya."
"Em, iya, deh. Maaf ya, semuanya. Khawatir, ya?" cicit Bi memandang Surya, Serga, dan Novila tak enak.
"Iya. Tapi kalo kamu udah baik-baik aja, aku juga ikut lega," balas Novila menenangkan dengan senyumnya.
Ceklek!!
"Bi mana? Udah gak apa, kan?"
Haniel nampak habis berlari cepat dan terburu-buru. Selelah itu sampai Haniel mengais oksigen rakus. Keringatnya pun membuat tubuhnya tercetak basah di seragam basketnya.
"Ya ampun, Kak. Kebiasaan apa-apa lari. Asma kumat, nanti nanges," sindir Surya kesal menatap Haniel malas.
"I-iya ini, u-udah se-sesak," keluh Haniel memegang dadanya.
Surya terburu-buru menarik kakaknya itu untuk duduk di kursi yang ada di sebelah bed yang Bi gunakan. Membuka tiga kancing teratas seragam kaos itu dan mengibaskan lembaran koran yang ada ke arah Haniel.
Bi terdiam. Selama ini ia baru tahu kalau Haniel punya asma seperti dirinya.
"Kak Han juga punya asma, ya?" tanya Bi penasaran.
Surya mengangguk. "Punya. Dia punya asma karena turunan dari Bunda."
"Sama kayak aku, dong. Kata Papa, aku juga punya asma karena Bunda." Bi mengecilkan suaranya dan menunduk.
"Oh, kamu panggil ibu kamu itu Bunda juga, Bi?" tanya Haniel yang mulai membaik kondisinya. Adik kelasnya itu pun mengangguk.
Novila mengerutkan dahinya. "Em, sorry Bi. Tapi, aku gak pernah tau bunda kamu deh."
"Iya. Kata Papa, Bunda meninggal pas aku udah umur dua tahun. Tapi aku gak pernah tau, makam bunda itu dimana, bunda meninggalnya kenapa, kapan," jawab Bi dengan sedikit lesu.
Novila membulatkan matanya. "Ups! Sorry, Bi, sorry! A-aku gak bermaksud-"
Bi tersenyum. "Gak apa, kok. Mau gak mau, aku harus ngerelain, kan?"
Tanpa sadar, dua pemuda kini tersenyum menahan pedih terasa di benak mereka.
COULD YOU?
Bi masih berada di UKS. Nyatanya lututnya juga memar, bahkan berdarah karena bergesekan dengan lantai aula yang keras. Untuk jalan pun terasa ngilu, hingga Surya menyuruh Bi untuk diam di UKS sampai jam pelajaran berakhir, dan jam pulang tiba.
Ceklek!!
Bi menoleh, dan Junior masuk. Pemuda itu memasuki ruangan dengan tas Bi dan jaket hitam miliki Bi. Gadis itu pun memalingkan wajah, enggan melihat Junior yang diam datar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Could You? (on Hold)
Teen FictionON HOLD Walau terlihat sederhana dengan kamera yang selalu dipegang, kehidupan perempuan yang kerap dipanggil Bi itu tak sesederhana itu. Memang berat. Namun, semenjak dentuman bola basket menarik perhatiannya saat ia berjalan melewati aula basket...