"Udah siap, Non?"
Bi mendongak dan mengangguk. "Udah, Bun."
"Sabar, ya? Aden lagi perjalanan ke sini." Bi kembali mengangguk.
Hari ini adalah hari yang Bi tunggu, apalagi semalam ia pulang ke rumahnya sendiri. Tentu di pagi hari tadi, Bi bangun dengan perasaan yang membuncah. Ia dapat beristirahat dengan nyenyak di rumah sederhana yang ia selalu tinggali.
Walau dengan banyak aturan dan larangan yang Junior beri, Bi tak keberatan asal ia dapat kembali ke sini lagi.
Salah satunya dengan kehadiran maid kepercayaan keluarga Junior bersama dengan Bi. Untung saja kalau maid Bernama Isma, atau akrab dipanggil Bunda itu mau merawat Bi di rumah sederhana itu. Setidaknya, Bi memiliki teman untuk berbincang disaat ia merasa sendiri. Menguntungkan juga ternyata.
Tin tin!
"Nah, itu. Den Junior udah sampe," sahut Isma setelah mendengar bel mobil.
Saat akan keluar dari pintu rumah, Junior terlebih dulu membuka pintu. "Oh, udah siap ternyata."
"Iya, dong. Gak sabar soalnya," balas Bi dengan cengiran.
Jun hanya mengangguk dengan wajah datarnya. "Bunda, minta tolong bukain pintu mobil belakang, ya? Biar Jun aja yang dorong kursinya."
Dengan segera, Isma melaksanakan apa yang Junior titahkan. Begitu juga pemuda berwajah tegas itu mulai mendorong kursi roda Bi sampai ke depan pintu mobil.
Tiba-tiba, Bi berusaha bangun untuk berusaha masuk ke dalam mobil dengan usahanya sendiri. Hal itu membuat Isma terkejut dan khawatir. Untung saja Junior langsung menautkan kedua lengan gadis itu di belakang tengkuknya, serta menggendong Bi.
"Lo belum pulih sepenuhnya. Dan jangan bikin orang lain makin khawatir dengan tingkah sok bisa lo itu." Netra tajam itu menatap dingin Netra bulat di hadapannya.
Tubuh mungil itu kini duduk di kursi belakang. Sabuk pengaman pun sudah terpasang setelah Junior menurunkan Bi tepat di kursi mobil. Dan di sebelahnya kini ada Isma yang membawa barang yang perlu di bawa. Pipi itu nampak memerah dan Isma gemas melihatnya.
Junior masuk ke dalam mobil setelah memasukkan kursi roda Bi di bagasi.
Melihat dari spion atas jika wajah bulat itu menampakkan wajah kesal dan memerah.
"Dasar bocah. Ngambekan mulu."
COULD YOU?
"Oke. Terapi kita sampai disini saja. Silakan Bi dan wali boleh duduk."
Dengan perlahan, Bi yang dibantu dengan beberapa suster berusaha duduk di kursi sebelah Junior yang sudah duduk.
"Oke. Untuk sementara ini, Bi harus dibatasi kegiatannya. Karena kelelahan itu sangat mempengaruhi Kesehatan Bi," titah sang dokter Bernama Ferdi.
Tak bisa dilawan, manyun Bi nampak karena perkataan dokter yang pastinya tak dapat ia bantah sedikitpun. Padahal ia ingin sekali cepat kembali bersekolah.
"Emangnya saya gak bisa sekolah dulu ya, dok?"
"Emang," jawab Junior cepat.
Alis Bi menukik tajam tak suka. "Yang ditanya siapa, yang jawab siapa."
"Saya akan perbolehkan, kalau terapi kamu nantinya menunjukkan hasil yang semakin membaik. Sekarang, kamu lebih baik jaga Kesehatan kamu dulu, ya? Kalo kamu semakin membaik dengan cepat, kamu bisa masuk sekolah lebih cepat," tutur Ferdi perlahan.
"Beneran, dok?" Mata bulat itu berbinar tak percaya.
Ferdi mengangguk. "Maka dari itu, kamu harus punya semangat buat terapi ini. Saya yakin kalo kamu mau, kondisi kamu pasti makin membaik."
KAMU SEDANG MEMBACA
Could You? (on Hold)
Teen FictionON HOLD Walau terlihat sederhana dengan kamera yang selalu dipegang, kehidupan perempuan yang kerap dipanggil Bi itu tak sesederhana itu. Memang berat. Namun, semenjak dentuman bola basket menarik perhatiannya saat ia berjalan melewati aula basket...