"Kak Surya. Kameranya boleh aku pinjam lagi, ya?"
Pemuda yang bernama Surya memicingkan mata. "Buat apa, sih, Bi?"
Perempuan itu menggeleng sembari tersenyum kecil. Surya menghela napas, lalu mengangguk sebagai pemberian izin.
"Ya, pinjam, aja. Sekalian, kakak titip ruangan ekskul ini, ya? Kakak ada perlu selama seminggu, jadi gak masuk selama seminggu, juga. Jadi, kamu yang ngurus ruangan ini, ya?" titah Surya yang diangguki oleh gadis itu.
"Iya. Makasih ya, Kak, udah kasih aku izin pinjam ini lagi," ucap gadis yang dipanggil Bi.
Surya tersenyum, lalu mengusak rambut Bi. "Sama-sama, dek. Kakak balik dulu, ya?"
"Hati-hati, Kak!" Surya pun pulang.
Setelah pulangnya Surya, Bi menyempatkan untuk mencuci foto-foto yang sudah ia dapatkan secara diam-diam.
Mengatur semuanya sesuai prosedur yang pernah Kak Sultan dan Kak Surya lakukan. Secara perlahan, Bi melakukannya.
Setelah beberapa menit, semua kertas itu menampakkan sosok pemuda yang selalu memenuhi memori yang ada di dalam kamera itu. Sosok yang menjadi model favorit Bi ketika berfoto. Sosok yang mendebarkan jantung Bi ketika hendak memotretnya. Sosok yang tanpa ia sadari, bisa membuat bibir Bi tersenyum tiap kali dalam kesulitan.
Memandang sosoknya melalui foto saja, sudah membuat Bi berdebar kencang. Bagaimana jika bertemu langsung?
Terlalu berlarut, membuat Bi kaget saat menatap jam yang menunjukkan pukul setengah tujuh. Langsung saja Bi berkemas, agar plaster tak lagi bertambah untuknya.
COULD YOU?
Plak!
"Udah gua bilang, gua gak mau telor dadar! Beli makanan di luar!"
Bi menunduk. Ia selalu takut untuk menatap orang yang ada di depannya.
"T-tapi, a-aku belum gajian, Kak. Aku be-"
Bugh!
"Gua gak peduli! Pokoknya sebelum jam Sembilan, lo harus bawain gua makanan."
Bi menahan air matanya, juga menahan rasa panas di bahunya. Pukulan itu benar-benar sakit, padahal itu bukan yang pertama kalinya.
"Ngapain diam? Cepetan!"
Dengan cepat, Bi mengambil hoodie miliknya dan memakainya. Setelahnya, ia berlari keluar tanpa peduli hujan yang menerjang tanah dengan derasnya. Bi tak peduli akan hal itu, asal ia tak mendapat perlakuan kasar.
"Pak, beli ayamnya satu, ya? Bungkus," ucap Bi memesan makanan di sebuah depot.
Si penjual memperlihatkan senyum ramahnya dan mengangguk. "Nggih, mbak. Sampeyan duduk di situ, dulu."
Bi menghela napasnya karena berlari cepat. Sebab, ia tahu jika waktu yang diberikan itu terlalu cepat untuk sampai ke rumah. Ia berharap cemas untuk bisa tepat waktu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Could You? (on Hold)
Teen FictionON HOLD Walau terlihat sederhana dengan kamera yang selalu dipegang, kehidupan perempuan yang kerap dipanggil Bi itu tak sesederhana itu. Memang berat. Namun, semenjak dentuman bola basket menarik perhatiannya saat ia berjalan melewati aula basket...