[5] - The Solution?

37.7K 2.2K 10
                                    

Dua bulan yang lalu....

Nara menyibak selimut dari tubuhnya. Dia sudah tertidur selama 3 jam. Rasa mualnya sudah hilang. Namun, sakit kepalanya tak kunjung mereda. Tadi, setelah sarapan, Nara kembali memuntahkan semua isi perutnya. Nara bukan tipe pemilih dalam hal makanan. Namun, akhir-akhir ini lambungnya hanya bisa mencerna jenis makanan tertentu saja. Terkadang, semua makanan yang masuk ke perutnya berakhir menjadi muntahan.

Nara baru akan beranjak ke dapur saat mendengar suara ketukan pintu rumahnya.

"Sebentar," ucapnya, bergegas menuju pintu.

Wanita berusia pertengahan lima puluhan menyambut Nara begitu dia membuka pintu. Wanita itu mengenakan blazer hitam panjang yang dipadukan dengan syal motif floral yang menghiasi lehernya. Penampilan wanita itu terlihat pucat dan rapuh. Namun, dia masih terlihat cantik di usianya yang tidak muda lagi.

"Nara, kan?" tanya wanita itu kepada Nara.

Nara refleks menganggukkan kepalanya. Nara tentu tahu siapa wanita di hadapannya saat ini. Namun, dia tidak tahu apa tujuan wanita itu menempuh perjalanan jauh hanya untuk menemuinya.

"Saya Ajeng, ibunya Rion. Kita bertemu beberapa hari yang lalu di pemakaman," wanita itu tersenyum. "Bisa saya masuk?" ucapnya lagi, menunjuk ke dalam rumah.

Nara baru sadar sedari tadi mereka berdua hanya berdiri di depan pintu. Nara kemudian membuka pintu lebih lebar dan mempersilahkan wanita itu masuk.

"Saya ke dalam sebentar, Tante," ucap Nara begitu wanita itu sudah berada di ruang tamu. Dia berniat menyajikan minuman.

Wanita itu mengangguk.

Nara melangkahkan kakinya menuju dapur. Dia membuka kulkas, mencari jenis minuman yang dapat disajikan. Setelah mengamati isi kulkas dengan seksama, pilihannya jatuh pada jus mangga kemasan yang ibunya beli beberapa hari yang lalu untuk mengurangi rasa mualnya. Setelah menuang jus ke gelas, Nara menemui Tante Ajeng ke ruang tamu.

"Pasti kedatangan saya mengagetkan kamu," ucap Tante Ajeng begitu melihat Nara muncul dari arah dapur.

"Gak apa-apa, Tante," ucap Nara, tersenyum kikuk.

"Kamu sendiri di rumah, Nak?" tanya Tante Ajeng, saat Nara meletakkan gelas jus di atas meja.

"Ibu dan adik saya lagi di sekolah," Nara meletakkan nampan di bawah meja dan duduk di sebelah Tante Ajeng. "Ibu mengajar di SMA depan kompleks."

Tante Ajeng mengangguk-angguk.

"Disini cuman tinggal bertiga?"

"Iya, Tante." Nara mengambil tempat di sebelah Tante Ajeng.

Tante Ajeng menatap Nara lekat. Dia meraih tangan Nara dan meremasnya pelan. "Bagaimana kandunganmu, Nak?"

Nara membelalak. Sontak tangannya menyentuh perutnya. Apakah perutnya sudah membesar sehingga Tante Ajeng dengan mudah mengetahuinya? "Tante tahu kalau-"

"Saya sudah tahu," potong Tante Ajeng. "Berapa usianya, Nak?"

"Empat minggu, Tante," jawab Nara gugup.

Tante Ajeng menatapnya iba. "Kamu pasti sangat menderita," ucapnya mengelus bahu Nara lembut.

Nara mengangguk. Dia tidak berniat berbohong sama sekali. Sejak mengetahui dirinya hamil, bohong jika mengatakan hidupnya baik-baik saja. Belum lagi penolakan yang didapatnya dari Rion, sempat membuat hidupnya merasa tidak berguna. Dia menyalahkan diri sendiri karena tidak menjaga kehormatannya. Dia juga merasa bersalah telah membuat ibunya kecewa.

"Rion memberitahu saya sebelumnya. Anak itu...." Tante Ajeng menghela nafas panjang. "Saya minta maaf atas segala kesalahan yang telah dia perbuat, Nak. Saya tahu kesalahan dia tidak termaafkan." ucapnya dengan suara gemetar menahan tangis. "Dia sudah membuat kamu menderita."

Nara menatap wanita di hadapannya. Hatinya terenyuh dan tidak tega melihat kondisi Tante Ajeng saat ini. Ini bukan kesalahannya, dia tidak perlu meminta maaf. Tanpa sadar hal itu membuat air mata Nara menetes.

"Saya sudah memaafkan Rion, Tante," ucap Nara jujur, menghapus sisa air mata di wajahnya. Nara sempat membenci pria itu. Sangat. Dia bahkan pernah berjanji tidak menemui pria itu lagi. Namun, rasa marahnya luluh saat mengetahui apa yang terjadi pada pria itu. Dia juga merasa kehilangan. Bagaimanapun, pria itu pernah menjadi bagian penting di masa lalu Nara.

"Terima kasih, Nak." Tante Ajeng mengelus bahu Nara lembut. "Saya tahu akan sulit bagi kamu untuk merawat dan membesarkan anak ini seorang diri. Membesarkan anak tanpa figur seorang ayah pasti tidaklah mudah. Belum lagi bagaimana reaksi orang di luar sana saat mengetahui kondisi kamu saat ini. Saya tidak bisa bayangkan." ucapnya, menggelengkan kepalanya."

Nara mengernyitkan dahi, mencoba menebak arah pembicaraan Tante Ajeng. "Maksud Tante?"

"Saya sudah memikirkan ini sejak kemarin. Saya pikir ini menjadi keputusan terbaik yang bisa kita lakukan." Tante Ajeng menghela nafas panjang. "Nara, kamu tahu Dimas, kan?"

"Dimas?" tanya Nara membuat alisnya terangkat sebelah.

Tante Ajeng mengangguk. "Iya, kakak Rion."

Nara tahu siapa Dimas. Dia adalah Kakak Rion yang berusia lima tahun lebih tua darinya. Namun, mereka tidak pernah bertemu. Sebelumnya, dia hanya mendengar cerita tentang Dimas dari Rion. Terakhir kali Rion pernah bercerita kalau Dimas, kakaknya, menempuh pendidikan di Australia. Selama menjalin hubungan pun, Rion tidak pernah benar-benar mengenalkan Nara ke keluarganya.

"Ada apa dengan Dimas?" tanya Nara, bingung. Nara tidak mengerti mengapa mereka harus melibatkan Dimas dalam pembicaraan ini.

Tante Ajeng terdiam sesaat. Dari ekspresinya Nara tahu kalau wanita itu mencoba memilih kata yang tepat untuk diucapkannya. "Nara.... Kamu mau menikah dengan Dimas?"

Nara membelalak, mencoba mencerna perkataan Tante Ajeng. Dia tidak mungkin salah dengar. Bagaimana mungkin Tante Ajeng meminta dia menikah dengan Dimas. Mereka bahkan tidak saling mengenal sama sekali.

Tante Ajeng meraih tangan Nara dan meremasnya. "Mungkin ini terdengar tidak masuk akal. Saya tahu itu. Namun, kami pikir akan lebih baik jika seseorang dapat bertanggung jawab atas kehamilan kamu. Saya juga sudah membicarakan ini dengan keluarga dan Dimas juga menyetujuinya."

"Tapi ini bukan anak Dimas, Tante. Ini anak Rion," ucap Nara, menggeleng cepat. Seperti yang Tante Ajeng katakan, ini sangat tidak masuk akal. Bagaimana mungkin mereka menyeret seseorang yang tidak bersalah ke dalam kekacauan yang dia dan Rion perbuat.

"Rion sudah tidak ada, Nara dan kamu membutuhkan seseorang yang bisa bertanggung jawab atas kehamilan kamu." ucap Tante Ajeng, tegas.

"Dengan mengorbankan orang yang tidak bersalah?"

"Dimas sudah menyetujuinya!"

Nara menggeleng tidak percaya. "Untuk anak ini saya bisa mengurusnya sendiri, Tante. " Nara menghela nafas panjang. "Mungkin awalnya tidak akan mudah, tapi saya yakin bisa melakukannya." lanjutnya.

"Saya tahu kamu memang bisa. Tapi, bagaimana dengan anak ini? Bagaimana pendapat orang-orang saat mereka tahu kamu melahirkan anak tanpa seorang suami? Apa menurutmu bayimu akan baik-baik saja saat tahu mereka gak punya ayah?" tanya Tante Ajeng sedikit keras. "Bagaimanapun nantinya anak ini tetap membutuhkan figur seorang Ayah, Nara. Saya mohon tolong pikirkan ini baik-baik, Nak. Demi kebaikan kamu dan demi bayi ini."

Nara menelan ludah. Merasa tersindir dengan perkataan Tante Ajeng. Namun, keputusannya sudah bulat. "Keputusan saya tetap tidak berubah. Saya harap Tante bisa menerimanya."

***

Married by AccidentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang