Saat membuka mata, Nara tidak menemukan keberadaan Ibu di sana melainkan Tante Ajeng. Tidurnya pasti benar-benar lelap, sehingga tiap tertidur, Nara tidak menyadari kedatangan seseorang di kamar inapnya. Tante Ajeng duduk di kursi sebelah ranjang—kursi yang sama ditempati Ibu sebelumnya—menatapnya dengan wajah khawatir.
"Bagaimana perasaan kamu, Sayang? Masih ada yang sakit?" tanya Tante Ajeng.
Nara menggeleng pelan. "Udah agak mendingan, Ma."
Tante Ajeng menghela nafas panjang. "Astaga! Mama kaget banget waktu kamu pingsan kemarin! Jantung Mama rasanya mau copot!"
Nara menundukkan kepalanya. "Nara minta maaf, Ma. Karena Nara, acara Mama jadi berantakan."
Samar-samar, Nara mengingat saat dirinya pingsan. Seseorang yang berada di dekatnya saat itu, berteriak meminta tolong, membuat beberapa orang mendekat ke arah mereka.
"Kamu sakit kayak kayak gini masih sempat-sempatnya mikir soal acara kemarin! Andai Mama tau kamu lagi sakit, Mama gak akan izinin kamu buat datang! Buat apa datang kalau akhirnya kamu masuk rumah sakit kayak gini!"
Nara tersenyum kecil. Entah kenapa, dimarahi seperti ini membuat Nara menyadari kalau Tante Ajeng benar-benar menyayanginya.
"Nara baik-baik saja kok, Ma."
Tante Ajeng mengangguk. "Ya, udah. Kamu makan dulu kalau gitu."
Nara menoleh, menatap sarapannya yang belum tersentuh sama sekali. Dia bahkan melewati jam sarapannya karena tertidur lelap. Nara mencoba bangun dengan bantuan Tante Ajeng yang memegang tangannya. Tangan kanannya hendak meraih sendok dengan tangannya yang tidak dipasangi infus, namun dengan cepat Tante Ajeng mendahuluinya.
"Biar Mama yang suapin," ucap Tante Ajeng sambil tersenyum.
Nara menerima suapan itu dalam diam. Mencoba mencerna makanan rumah sakit meskipun terasa aneh di lidahnya ini. Namun, sekali lagi, Nara tidak boleh membiarkan perutnya kosong. Ini semua demi anaknya.
"Nggak enak, ya?" Tante Ajeng menatap Nara prihatin. "Mama sering nginap di rumah sakit. Jadi lumayan tau bagaimana rasa makanan mereka."
Nara tersenyum kecut. "Rasanya hambar, Ma."
Tante Ajeng mengelus punggung tangannya lembut. "Kamu cepat sembuhnya. Kalau udah keluar dari rumah sakit, kamu mau makan apapun nanti Mama beliin."
Nara mengangguk, tersenyum kecil "Makasih, Ma."
Mereka kembali diam. Nara melanjutkan makannya, menerima suapan demi suapan membuat bubur di hadapannya, membuat bubur itu tersisa setengah.
"Udah kenyang?"
Nara mengangguk pelan. "Iya, Ma."
Tante Ajeng menyerahkan gelas berisi air minum ke Nara. "Minum dulu, Sayang."
Nara menghabiskan air minumnya dalam sekali teguk. Sepertinya, dibanding merasa lapar dirinya lebih merasa haus.
"Masih mau?" tanya Tante Ajeng.
Nara menggeleng pelan, menyerahkan gelas bekas minumnya ke Tante Ajeng.
"Udah, Ma."
"Mama kupasin buah, mau? Biar tenggorokan kamu gak pahit," tawar Tante Ajeng, lagi.
Nara mengangguk. "Boleh, Ma."
"Mama sejak kapan nemenin Nara di sini?" tanya Nara kepada Tante Ajeng. Dia tidak sempat menanyakan hal itu tadi.
"Tadi, Dimas nelpon Mama minta tolong Bik Rum buat nemenin kamu di sini, tapi Mama bilang gak usah biar Mama saja," jawab Tante Ajeng sambil mengupas kulit buah mangga di hadapannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Married by Accident
ChickLitMenikah dengan Dimas adalah salah satu hal yang tidak pernah Nara bayangkan. Bagaimana mungkin dia menikah dengan seseorang kakak dari mantan pacarnya. Pacar yang dengan tega meninggalkannya saat mengetahui Nara sedang berbadan dua. Nara juga tahu a...