Dimas menatap reruntuhan puing bangunan di hadapannya. Memerlukan waktu hampir seminggu bagi mesin excavator menjalankan tugasnya, menghancurkan dinding beton menjadi puing. Jika ditotal sudah lima rumah yang rata dengan tanah.
Site yang akan menjadi lokasi pembangunan proyek Maheswara Group berhadapan langsung dengan Pantai Pangandaran, Jawa Barat. Membuat para pengunjung yang nantinya memilih hotel dan apartemen ini menjadi tempat penginapan dapat menikmati pemandangan Pantai Pangandaran secara langsung meski berada dalam gedung. Ini juga yang membuat Maheswara Group tidak segan merogoh kocek mahal untuk tanah seluas lima hektar tersebut. Bahkan Maheswara Group juga melakukan ganti rugi dengan dana yang tidak sedikit kepada warga sekitar untuk proyek pembebasan lahan.
"Istirahat dulu, Dim."
Dimas mengangguk, menatap jam yang melingkar di pergelangan kirinya yang menunjukkan pukul 11.30.
"Para pekerja suruh istirahat juga, Nu! Bentar lagi jam makan siang! Kasihan mereka kerjanya sejak pagi!"
Danu mengangguk. "Gue udah beliin nasi padang buat para pekerja sesuai pesanan lo."
"Thank you, Nu."
Dimas melangkahkan kakinya menuju direksi keet. Sesekali dia membalas sapaan para pekerja yang sedang menikmati makan siangnya. Karena pembangunan belum dilaksanakan jumlah pekerja yang berada di site hanya tujuh orang, namun akan bertambah seiring dengan dimulai proses pembangunan.
"Makasih buat nasi padangnya, Kang. Jarang banget kita makan enak kayak gini euy." Ucap salah satu pekerja bangunan membuat Dimas menghentikan langkah.
"Sama-sama, Pak. Kalau mau nambah bilang saja, nanti saya minta beliin lagi."
"Baik banget atuh, Kang. Coba kesininya setiap hari," ucap pekerja itu sambil tertawa.
Dimas tersenyum kecil. "Saya ke sana dulu, Pak."
"Mangga, Kang."
Dimas mengistirahatkan kakinya di kursi plastik begitu tiba di direksi keet. Tangan kanannya merogoh saku celananya, mengeluarkan ponsel genggamnya. Matanya menatap lekat pesan yang dikirimnya beberapa jam lalu. Centang biru. Namun, tak terbalas. Apa wanita itu marah padanya? Setelah kejadian malam itu? Dimas menyalahkan dirinya sendiri yang bersikap layaknya seorang pengecut.
Dimas mengeluarkan kotak berbentuk persegi panjang di saku sebelah kirinya. Dimas bukanlah perokok berat, yang bisa menghabiskan sebungkus rokok dalam sehari. Dia hanya sesekali menghisap gulungan tembakau yang dibalut kertas itu saat kepalanya sedang banyak pikiran.
Mamanya pasti akan menceramahinya habis-habisan jika tahu anaknya sesekali menghisap gulungan tembakau yang menjadi sumber berbagai penyakit itu. Dimas yang sangat menjaga pola hidup sehatnya, tidak mungkin mengkomsumsi benda yang dapat merusak kesehatannya.
"Tumben," celetuk Danu, menyerahkan paper bag salah satu coffee shop kepada Dimas. "Gue tebak lo lagi ada masalah."
Dimas hanya terdiam, tidak menanggapi ucapan Danu. Pria itu malah membuka paper bag dan mengeluarkan cup coffee disana.
"Terakhir kali gue liat lo ngerokok kayak gini beberapa bulan yang lalu, setelah itu gue dapat berita duka. Kali ini masalah apa lagi?" Danu menarik kursi plastik di depan Dimas dan duduk di sana. "Ini karena Tante Ajeng? Terakhir gue dengar dari Keyra, Tante Ajeng lagi kemo."
Dimas memang kerap memendam masalahnya. Pria itu lebih sering menyelesaikan masalahnya sendiri tanpa perlu melibatkan orang lain. Padahal, dia punya teman yang dengan senang hati dapat membantunya seperti Danu. Namun, meskipun tanpa bercerita Danu tahu kalau dia sedang tidak baik-baik saja.
Dimas menggeleng. "Bukan soal Mama." Kondisi kesehatan Mama saat ini jauh lebih baik dan Dimas bersyukur akan itu.
"Terus?" Danu mengernyitkan alis. "Soal Nara?"
Dimas menghela nafas panjang sebelum kemudian mengangguk.
"Wow... ini sebuah kemajuan."
Dimas mengernyit bingung. "Maksud lo?"
"Berarti hubungan pernikahan lo dan Nara baik-baik saja, Dim." Danu menyeringai tanpa dosa. "Sorry, Dim. Tapi gue dulu ngerasa pernikahan lo dan Nara rada... flat? Gue kenal lo sejak lama, ya walaupun gak selama Keyra. Gue bisa liat gimana tatapan lo ketika bersama wanita yang lo suka dan gue gak lihat hal itu saat bersama Nara. I don't know why. Tapi melihat keadaan lo saat ini, everything has changed, right?
Dimas terdiam, mencoba mencerna perkataan Danu. Jika orang lain saja bisa menyadari perasaannya, bukankah Nara juga begitu. Pemikiran yang terlintas tiba-tiba itu entah mengapa membuat Dimas semakin merasa bersalah.
Dimas dalam hati juga membenarkan perkataan Danu, kalau dia belum bisa memberikan hatinya seutuhnya kepada Nara. Meskipun hati kecilnya juga mengakui kalau sangat mudah baginya untuk terpikat dengan Nara. Sejak awal pertemuan mereka, Dimas menyukai pola pikir dewasa wanita itu. Penolakan awal yang didapatnya dari wanita itu membuat Dimas merasa tertantang. Seperti kata beberapa orang, pria selalu menyukai tantangan, begitupun dengan dirinya. Dari segi fisik pun, Nara tidak kalah menarik dengan mantan-mantannya terdahulu. Meskipun wanita itu tidak masuk dalam kriteria wanita idamannya. Dimas lebih menyukai wanita dewasa yang umurnya tidak jauh berbeda dengan dirinya.
Namun, di lain sisi tiap melihat Nara dia selalu teringat akan janjinya dengan Rion dulu. Meskipun tetap saja Dimas sangat menghargai wanita itu sebagai istri dan ibu dari calon anaknya kelak.
"What's the problem, Dim? Maybe I can help you."
Pertanyaan Danu membuat Dimas menoleh. Dimas langsung mematikan batang rokoknya yang tersisa setengah dan menyalakan ponselnya mencari nama Nara di daftar kontaknya.
"Bro, gue disini! Berasa ngomong sama tembok gue," tegur Danu saat Dimas tidak menjawab pertanyaannya.
Dimas bangkit dari duduknya. "Gue keluar sebentar, mau nelpon Nara."
Sudah tiga kali Dimas mencoba menghubungi Nara. Namun, tidak ada tanda-tanda wanita itu akan menjawab panggilannya. Pesan yang dikirimnya beberapa jam lalu pun sudah terbaca, namun tak berbalas.
Apakah kejadian malam itu membuat Nara semarah ini? Wanita itu bahkan tak pernah mengabaikan teleponnya seperti saat ini. Brengsek. Dimas mengutuki dirinya karena membuat wanita itu bersedih.
Dimas baru saja akan kembali, saat mendengar ponselnya berdering. Manik matanya membulat melihat nama si penelepon.
"Halo...," ucap wanita itu begitu Dimas mengangkat teleponnya.
"Halo. Lagi apa? Saya telpon sejak tadi kenapa gak diangkat?" Dimas berusaha menjaga nada bicaranya sedatar mungkin.
"Sorry... saya gak dengar telepon kamu. Hp saya dalam mode silent. Ada apa?"
Dimas menghela nafas panjang. "Nara, can we talk about what happened that night? Saya benar-benar minta maaf. Saya tidak seharusnya melakukan hal itu. Perbuatan saya pasti membuat kamu bingung."
"No, Dim! You don't need to say sorry! I understand how you felt when you kissed a woman you didn't like!"
Dimas mengusap wajahnya, gusar. "Maksud saya tidak seperti itu, Nara. Saya hanya merasa--"
"I am okay, Dim. Really." Nara memotong ucapan Dimas. "Kamu kapan pulang?"
Dimas menghela nafas lagi. Wanita itu benar-benar marah kepadanya. Bahkan untuk mendengar permintaan maafnya pun dia enggan. "Mungkin selasa... kalau semua urusan di sini sudah selesai," jawab Dimas akhirnya.
"See you?" ucap Nara.
"See you too...," balas Dimas.
Shit. Umpatan itu keluar begitu saja dari mulutnya begitu Dimas menyudahi teleponnya. Dirinya memang pantas mendapat penghakiman seperti ini dari Nara.
***
Bab 20 udah diupload jangan lupa tinggalkan jejak setelah membaca😍👋 Btw kalau ada yang nemu typo komen aja ya biar kuedit. Thank youu, love peace and gawl💞💞💞
KAMU SEDANG MEMBACA
Married by Accident
ChickLitMenikah dengan Dimas adalah salah satu hal yang tidak pernah Nara bayangkan. Bagaimana mungkin dia menikah dengan seseorang kakak dari mantan pacarnya. Pacar yang dengan tega meninggalkannya saat mengetahui Nara sedang berbadan dua. Nara juga tahu a...