Dokter memperbolehkan Nara pulang setelah menjalani bed rest total di rumah sakit selama seminggu. Itupun, setelah dirinya menjalani berbagai rangkaian pemeriksaan dan memastikan kondisinya sudah benar-benar pulih.
Selama menjalani perawatan di rumah sakit, Dimas selalu setia menemaninya. Pria itu hanya sesekali kembali ke apartemen untuk bersiap ke kantor dan akan kembali lagi setelah pulang dari kantor.
Saat Dimas berada di kantor, Bik Rum yang akan menemaninya di rumah sakit karena Ibu sudah kembali ke Purwakarta sejak tiga hari yang lalu. Nara juga tidak bisa menahan Ibu untuk tinggal lebih lama di Jakarta karena tahu Ibu memiliki pekerjaan yang tidak bisa dia tinggalkan.
Nara menoleh saat pintu ruang inapnya terbuka. Dimas muncul dengan seorang perawat yang mendorong kursi roda setelah dirinya menyelesaikan administrasi rumah sakit.
"Barangnya sudah dikemas semua kan, Bik?" tanya Dimas kepada Bik Rum yang berada di sebelah Nara.
"Iya, Mas," jawab Bik Rum.
Dimas mengangguk. Pria itu lalu mendekat, hendak membantu Nara menaiki kursi rodanya sebelum kemudian Nara menahannya.
"Gak usah pakai kursi roda. Saya bisa jalan sendiri."
Dimas menatap Nara sejenak, kemudian memutar bola matanya.
"Jangan membantah. Ini demi kebaikan kamu," lanjut Dimas, tetap membantu Nara.
Dimas mendorong kursi roda, sedangkan Pak Mul dan Bik Rum berada di belakang mereka sambil membawa beberapa barang bawaannya. Nara tahu, Dimas masih sangat marah kepadanya. Setiap Nara membahas keinginannya untuk berpisah, Dimas selalu mendiamkannya seperti ini. Seolah enggan terlibat pembicaraan dengannya. Nara bahkan bisa menghitung jumlah kata yang keluar dari mulut pria itu saat dia marah. Seperti saat ini, pria itu hanya mengatakan "pakai sabuk pengaman kamu" ketika mereka tiba di mobil. Biasanya, tanpa menyuruh pun pria itu dengan sigap membantu Nara.
Perjalanan menuju apartemen terasa sangat sepi, meskipun mobil itu ditumpangi empat orang. Dimas dan Nara duduk di kursi belakang, sedangkan Bik Rum duduk di sebelah Pak Mul yang menjalankan kemudi. Nara melirik Dimas yang terlihat sibuk memainkan ponselnya. Sesekali, pria itu juga mengangkat panggilan yang masuk ke ponselnya.
"Iya, saya lagi di jalan. Setelah ini langsung balik ke kantor. Mungkin sekitar satu jam lagi. Proposalnya sudah siap, kan? Baiklah, kalau begitu."
Nara mengamati Dimas dalam diam. Pasti banyak pekerjaan yang menunggu pria itu, setelah seminggu belakangan dia lebih sering menghabiskan waktunya di rumah sakit untuk mengurus Nara. Nara terkadang membenci dirinya jika dia harus menjadi beban bagi orang lain.
"Ada apa?" Dimas menyipitkan mata, menatap Nara. Mungkin sadar dirinya diperhatikan. "Ada yang sakit?"
"Oh.... Gak apa-apa." Nara menggeleng cepat, mengalihkan pandangannya kembali ke depan.
Dimas mengangguk, kembali fokus pada ponselnya.
Sepanjang sisa perjalanan, suasana kembali hening. Keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing. Hanya ada suara dari radio yang mengalun indah memenuhi mobil.
***
Nara menatap fokus TV di hadapannya yang menayangkan berita penemuan seorang bayi perempuan di tempat pembuangan sampah. Bayi perempuan itu diperkirakan baru berusia dua minggu saat ditemukan seekor kucing di tempat pembuangan sampah. Kucing itu pun memberi tanda kepada majikannya yang menjadi awal penemuan bayi malang itu.
Nara menggeleng tidak percaya. Bagaimana bisa seseorang bertindak begitu jahat? Bahkan hewan lebih punyai hati nurani dibanding mereka. Mereka berani berbuat, namun ketika diminta pertanggung jawaban mereka mengelak. Bayi yang tidak bersalah harus menanggung semuanya akibat perbuatan orang tuanya. Jika memang merasa kesulitan untuk membesarkannya. Di luar sana sudah banyak rumah panti yang menyediakan tempat untuk menampung bayi terlantar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Married by Accident
ChickLitMenikah dengan Dimas adalah salah satu hal yang tidak pernah Nara bayangkan. Bagaimana mungkin dia menikah dengan seseorang kakak dari mantan pacarnya. Pacar yang dengan tega meninggalkannya saat mengetahui Nara sedang berbadan dua. Nara juga tahu a...