[28] - The Deep Talk?

33.5K 2.1K 69
                                    

Nara sampai rumah saat waktu sudah menunjukkan pukul tujuh malam. Lampu apartemen yang menyala menandakan kehadiran seseorang di sana. Nara melepas flat shoesnya, menyusunnya kembali ke dalam rak sepatu. Nara memicingkan matanya tatkala matanya menatap pantofel Dr. Martens yang sering Dimas gunakan ke kantor, tersusun rapi di rak sepatu. Menandakan pria itu sudah berada di apartemen.

Dan benar saja. Saat Nara melangkahkan kakinya menuju ruang tengah, dia mendapati Dimas yang sedang duduk di sofa depan TV. Pria itu terlihat serius menatap macbook yang diletakkan di atas meja, mengabaikan TV yang menyala di hadapannya. Suara TV yang samar bahkan hampir tidak bersuara, menandakan bahwa fokus pria itu tidak benar-benar pada TV tapi pada macbook di hadapannya.

"Kalau kayak gini TV yang nonton kamu, Dim, bukan kamu yang nonton TV," celetuk Nara.

Dimas mengerjap, menatap Nara yang tiba-tiba muncul di hadapannya. "Loh sudah pulang? Kapan datangnya?"

"Barusan." Nara mengedikkan bahu, mengambil tempat kosong di sebelah Dimas. "Kayaknya kamu serius banget sampai gak dengerin saya datang."

"Maybe, I am." Dimas menyunggingkan senyum.

"Bagaimana keadaan kamu?" Nara menatap Dimas serius. "Masih pusing?"

Dimas menggeleng. "I am fine . Tapi badan saya masih sakit rasanya."

Nara mengangkat alisnya. "Terus, kenapa gak istirahat?"

"Ada gambar kerja yang mesti saya revisi, gak sempat saya kerjain di kantor. Tadi, Papa nyuruh saya cepat pulang ke rumah."

"Papa nyuruh kamu pulang cepat buat istirahat, Dim! Kalau kayak gini, sama saja! Pekerjaan kantor malah kamu bawa pulang ke rumah!"

Akhir-akhir ini Nara menjadi lebih cerewet dan Dimas tampaknya menjadi salah satu korbannya. Nara mengelus perutnya lembut. Apakah ini bawaan bayi?

Dimas menghela nafas panjang, mungkin  pria itu juga lelah. "Gambarnya gak bisa terealisasi kalau belum saya revisi. Kasihan yang lain nantinya."

Nara hanya diam, enggan melanjutkan perdebatan ini. Membahas masalah pekerjaan dengan Dimas tidak akan ada habisnya.

"Bagaimana soal kado Mama?" lanjut Dimas.

Nara menyerahkan paper bag yang sedari tadi dalam genggamannya. "Bagaimana menurut kamu?"

Dimas menatap sketsa itu dalam dalam diam. Mengamati setiap bagian gambar tanpa berkedip sama sekali. Hingga akhirnya, tatapannya berhenti pada satu titik di bagian sketsa wajah Rion berada. Nara bisa melihat semuanya. Bagaimana wajah sumringah pria di hadapannya seketika berubah menjadi sendu.

Nara masih mengingat bagaimana tatapan Dimas saat hari itu. Tatapan yang benar-benar menarik perhatiannya. Saat semua orang di sekitarnya menangis meraung. Pria itu mencoba tegar, menguatkan adik dan kedua orang tuanya.

Nara juga mengerti, pasti tidak mudah berada di posisi Dimas saat itu. Tidak cukup hanya kehilangan adiknya, pria itu juga harus bertanggung jawab atas segala perbuatan Rion. Beban yang ditanggungnya pasti tidaklah mudah. Hal itu membuat Nara seketika merenung. Apakah wajar jika dirinya menuntut kebahagiaan dari Dimas jika pria itu sendiri belum mendapatkannya? Bukankah hal itu membuatnya terlihat egois? Lantas, hal apa yang harus mereka berdua lakukan untuk mengatasi semua kerumitan ini?

"Hei...." Dimas menyentuh lembut punggung tangan Nara membuat wanita itu tersentak. "Kenapa melamun?"

Nara tersenyum kecil. "Bagaimana menurut kamu?" tanya Nara lagi, mengulang pertanyaannya.

"Mama will really like it, I guess!"

Nara mengangkat sebelah alisnya. "How about you?"

"I really like it, too." Dimas terdiam sesaat sebelum melanjutkan. "Saya baru menyadari satu hal setelah melihat sketsa ini. Betapa pentingnya mengabadikan setiap momen yang berharga. Saya merasa menyesal sering malas jika diajak berfoto bersama." Dimas tertawa sejenak, mungkin mengingat sesuatu yang lucu kemudian berbalik, menatap Nara. "Mulai sekarang, mari mengambil banyak foto bersama, Nara!"

Married by AccidentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang