Pesta pernikahan Laura digelar di puncak, Bogor. Di hotel milik keluarga Maheswara. Nara, Dimas dan Om Bram berangkat bersama dari Jakarta ke Bogor, sedangkan Tante Ajeng berada di rumah bersama Mbak Dina. Tante Ajeng tidak ikut karena masih menjalani pemulihan pasca kemoterapi. Dimas sengaja mengambil cuti selama dua hari untuk menghadiri pernikahan Laura.
Rangkaian resepsi pernikahan dibagi menjadi dua sesi. Akad nikah akan dilaksanakan pada pagi hari dengan konsep garden party, sedangkan untuk resepsi akan dilaksanakan pada malam hari dengan konsep indoor party.
Nara melangkahkan kakinya menuju taman, tempat akad nikah dilaksanakan. Dia mengenakan atasan kebaya berwarna biru pastel dengan bawahan kain batik. Kebayanya hanya didesain sederhana. Model kebaya off shoulder dengan tambahan aksen payet yang membentuk pola vertikal pada punggungnya, membuat perut besarnya terlihat dengan jelas.
Rambut panjangnya disanggul rapi dengan model twisted low bun. Wajahnya hanya dipulas make up tipis terkesan natural.
Sedangkan Dimas, pria itu terlihat tampan walaupun hanya mengenakan atasan batik coklat biru yang senada dengan bawahan Nara. Pria itu merangkul lengan Nara lembut, menuntunnya berjalan seolah dia akan hilang. Pria itu berjalan sepelan mungkin demi mengimbangi langkah kaki Nara yang lambat karena perutnya yang semakin membesar.
"Dim, saya bisa sendiri," ucap Nara lembut. Meskipun dia membawa beban di perutnya. Namun, dia masih kuat berjalan.
Dimas mengangguk. Namun, bukannya melepas rangkulannya pria itu malah makin memperatnya.
Akad nikah yang dilaksanakan di taman hanya dihadiri pihak keluarga dan kerabat dekat dari kedua mempelai. Para keluarga berkumpul di taman, mengenakan pakaian seragam yang sama dengan Nara dan Dimas, menunggu kedua mempelai memasuki wedding venue. Meskipun Nara pernah bertemu dengan keluarga besar Dimas sebelumnya, saat pernikahannya. Namun, saat itu mereka tidak benar-benar berinteraksi. Nara yang saat itu sibuk menyalami para tamu undangan, tidak sempat berbicara banyak dengan mereka. Bahkan dengan Laura, sepupu Dimas, mereka tidak pernah bertemu sebelumnya. Laura berhalangan hadir saat pesta pernikahan Dimas dan Nara.
Nara melangkahkan kakinya sedikit demi sedikit. Tangan kirinya meremas ujung kebayanya, mencoba mengurangi rasa gugupnya. Nara mencoba mengalihkan pandangan dari beberapa pasang mata yang menatap mereka terang-terangan.
"Keluarga besar saya lumayan banyak. Saya harap kamu bisa nyaman," ujar Dimas, sambil terus menuntun Nara berjalan. "Jangan takut. Mereka semua baik, kok."
Nara menghela nafas. "It's so obvious, right?"
Dimas tersenyum kecil. "Tangan kamu dingin." Dimas menunjuk kursi yang berada di baris ketiga, di sebelah vas bunga berukuran besar. "Kita duduk di situ."
Nara mengangguk. Mereka baru berjalan selangkah, saat mendengar sebuah teriakan nyaring anak kecil.
"Om Dimas!" Seorang anak perempuan, dengan gaya rambut ponytail yang Nara tebak berusia empat tahun, berlari ke arah Dimas seraya tersenyum. "Clala kangen, Om."
"Iya. Om juga kangen." Dimas mengusap rambut anak itu. "Salim dulu sama Tante Nara."
Anak itu berbalik ke Nara dan menjulurkan tangan. "Halo, Tante Nara. Nama aku Clala."
"Namanya Clara," ucap Dimas, membenarkan.
Nara menunduk, membalas ukuran tangan Clara. "Halo, Clara. Tante Nara senang bertemu dengan kamu."
Anak itu melirik perut Nara. Tangannya menunjuk perut Nara yang membesar. "Ini isinya apa?"
Wajah Nara memerah mendengar pertanyaan anak itu. Anak kecil selalu memiliki rasa ingin tahu yang besar. "Ini isinya bayi, Sayang."
"Bayi Om Dimas?" tanya anak itu lagi.
Seketika Nara terdiam. Dia bingung harus menjawab apa. Wajahnya menoleh ke Dimas meminta pertolongan.
"Iya. Ini bayi Om Dimas," jawab Dimas.
Anak itu mengangguk-angguk. Lengannya terarah ke Nara. "Clala mau gendong, Tante."
"Sini biar Om yang gendong. Tante Nara gak kuat gendong kamu," ujar Dimas meraih Clara dan membawanya dalam gendongan. "Di mana Mama kamu?"
"Itu," ucapnya menunjuk ke arah wanita yang mendekati mereka.
"Clara kamu udah besar, kenapa masih minta gendong sama Om Dimas," Fiona, kakak Laura, anak pertama dari Prabu Maheswara berdiri di hadapannya sambil menenangkan bayinya yang menangis dalam gendongannya. "Sorry, Clara memang masih manja. Padahal udah tau kalau dia punya adik sekarang. Jarak umur yang cukup jauh dengan adiknya membuat dia masih merasa seperti anak tunggal," ucap Fiona, menghela nafas.
"It's okay. Gue juga gak keberatan, Fi." ucap Dimas.
"Thanks, Dim. Kalian udah lama nyampenya?"
"Not really. Sekitar sepuluh menit yang lalu." Dimas menatap jam tangan di pergelangan tangannya. "Jam berapa acara dimulai?"
"Bentar lagi. Tinggal nunggu wali nikahnya datang."
Dimas mengangguk-angguk. "By the way, gue ke sana dulu. Nara gak bisa berdiri terlalu lama."
"Oh okay, Clara turun sekarang, biar kita cari Papa," ucap Fiona kepada Clara. Namun, anak itu enggan melepaskan lengannya di leher Dimas.
"It's okay, Kak. Biar aku sama Dimas yang jagain Clara. Kakak urus yang lain aja dulu," ucap Nara.
"Thank you, Ra." balas Fiona.
Dimas dan Nara kembali ke hotel setelah akad nikah dilaksanakan. Nara sudah membersihkan tubuhnya dan mengganti pakaiannya dari kebaya menjadi pakaian kasual. Rasanya sangat nyaman setelah hampir seharian memakai kebaya.
Nara menyandarkan bahunya di sofa depan jendela. Kamar hotel yang mereka tempati berhadapan langsung dengan pegunungan dan dikelilingi pohon yang rimbun, membuat suasana kamar sejuk dan asri meski tanpa pendingin ruangan.
Nara melirik Dimas yang sedari tadi sibuk dengan ponselnya. Sesekali pria itu juga mengangkat telepon ketika ponselnya berdering.
Dimas mengangkat wajahnya. "Kamu gak mau jalan keluar? Dekat sini ada perkebunan teh."
Nara menggeleng. Badannya terasa remuk setelah beraktivitas seharian. Dia perlu mengistirahatkan tubuhnya sebentar, sebelum menghadiri resepsi yang digelar nanti malam. "Saya mau tidur sebentar. Badan saya capek banget."
Dimas mengangguk. Dia menjauh begitu mendengar ponselnya berdering lagi. Suasana yang tenang membuat Nara hampir tertidur di sofa, namun terbangun begitu Dimas muncul di hadapannya.
"Telepon dari siapa?" tanya Nara setengah sadar.
"Mmm... Keyra. Dia minta tolong ditemani buat ketemu Laura tapi saya bilang gak bisa karena lagi jagain kamu."
"Keyra? Dia di sini juga?" tanya Nara. Oke, dia sudah sadar sepenuhnya.
"Saya belum bilang ke kamu kalau Keyra juga akan datang?" tanya Dimas, bingung.
Nara menggeleng.
"Keyra dan Laura teman sejak kecil. Tadi pas akad Keyra gak sempat datang karena ada urusan lain, jadi datangnya cuman buat resepsi nanti malam. Dia juga akan menginap di hotel yang sama dengan kita bareng keluarga lainnya," ucap Dimas. Dimas tidak tahu kenapa dia merasa perlu memberitahu Nara soal ini.
Nara hanya diam mendengar penjelasan dimas. Kenapa dia mesti heran? Nara sudah tahu sebelumnya kalau hubungan Keyra dan Dimas dekat sejak dulu, jauh sebelum dia dan Dimas saling menikah. Bahkan keluarga mereka pun sudah saling mengenal satu sama lain.
"Dim, kalau kamu mau temenin Keyra pergi saja. Saya juga sebentar lagi akan tidur kok."
"But I will leave you alone?"
"I am okay. I will call you if I need something."
Dimas awalnya terlihat ragu, namun setelah Nara meyakinkannya pria itu akhirnya setuju.
"Jangan lupa telpon saya jika kamu butuh sesuatu!"
Nara mengangguk dan tersenyum kecil. Semoga dia tidak menyesali keputusannya.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Married by Accident
ChickLitMenikah dengan Dimas adalah salah satu hal yang tidak pernah Nara bayangkan. Bagaimana mungkin dia menikah dengan seseorang kakak dari mantan pacarnya. Pacar yang dengan tega meninggalkannya saat mengetahui Nara sedang berbadan dua. Nara juga tahu a...