Nara berdecak untuk kesekian kalinya. Mencoba mengabaikan nada dering ponselnya yang sejak tadi tidak berhenti berbunyi. Hari ini adalah hari minggu. Waktu yang tepat baginya untuk bersantai. Namun, siapa yang dengan tega merusak hari minggu indahnya dengan teror yang tiada henti di pagi buta seperti ini.
Dengan mata setengah terpejam, Nara meraba permukaan nakas di sebelah tempat tidurnya, mencoba mencari keberadaan ponsel genggamnya. Tanpa melihat sang penelepon, nara mengangkat panggilan itu segera.
"Halo?" sapa Nara dengan suara serak khas bangun tidur.
"Saya di luar."
"Mmm?" Nara masih berusaha membuka matanya yang terasa sangat berat.
"Saya di depan kosan kamu."
"Apa?!"
Seketika Nara terbangun dari tidurnya. Dia memposisikan tubuhnya bersandar pada kepala ranjang sembari mengumpulkan nyawanya yang belum terkumpul sepenuhnya. Nara tentu saja mengenali pemilik suara itu. Namun, apa yang pria itu lakukan di kosannya saat pagi hari seperti ini?
"Kamu ngapain?!"
"Nungguin kamu buka pintu. Bisa buka pintu kamu sekarang, please? Di luar dingin banget." Suara pria itu terdengar bergetar.
Astaga. Nara akan menyuruh pria itu pulang sekarang.
Nara bangkit dari tidurnya segera. Mengambil jaket yang menggantung di balik pintu kamarnya, mencoba menutupi tubuhnya yang hanya berlapis kaos. Angin kencang disertai gemuruh petir menyambut Nara begitu dia membuka pintu kamar, membuatnya tersentak kaget. Hujan yang turun sejak semalam bukannya berhenti, namun semakin deras. Nara semakin merapatkan jaketnya begitu langkahnya mendekati pintu bagian depan.
Pemandangan pertama yang dilihatnya begitu dia membuka pintu adalah Dimas yang berdiri di hadapannya dengan mengenakan coat panjang berwarna beige yang membungkus tubuh tingginya. Rambut hitam panjangnya juga terlihat basah mungkin karena terkena air hujan.
"Apa yang kamu lakukan di sini, Dim?"
"Saya ingin ngasih kamu sesuatu. Bisa saya masuk sebentar? Saya gak punya banyak waktu. Setelah ini harus ke bandara buat balik ke Makassar." Dimas meniup telapak tangannya, menggosokkannya satu sama lain. Salah satu kebiasaan pria itu jika kedinginan. Membuat Nara mau tidak mau membiarkannya masuk.
"Ada apa?!" ucap Nara sedikit ketus.
"Saya nyimpan ini sudah sejak lama." Dimas mengeluarkan sesuatu dari kantong mantelnya. "Saya pikir ini waktu yang tepat buat ngasih hal ini ke kamu."
Nara mengernyitkan dahi, namun tangannya tetap menerima paperbag coklat itu dari tangan Dimas.
Kenyataaan bahwa Dimas menyimpan barang itu sejak lama, itu berarti barang tersebut ada hubungannya dengan kejadian beberapa tahun yang lalu. Saat mereka masih menjalani kehidupan rumah tangga. Nara tidak bisa menebak apa isinya. Namun, melihat usaha Dimas memberikannya benda itu bahkan harus kejuhanan, nampaknya benda itu sangatlah penting.
"Apa ini?" tanya Nara, ketika paperbag coklat itu berada di tangannya.
"Kamu bisa membukanya nanti." Dimas menatap jam yang melekat pada pergelangan tangannya. "Saya harus pergi sekarang. Danu sudah nelpon saya sejak."
"Ah … iya," Dimas menghentikan langkahnya dan berbalik menatap Nara. "Mari bertemu kembali setelah saya kembali dari Makassar."
Nara membuka mulutnya hendak membantah, namun pria itu sudah menghilang dari balik pintu.
***
Sepeninggalan Dimas, Nara mengambil tempat duduk di kursi yang berada di ruang tamunya. Tangannya mencoba merobek paperbag yang ukurannya tidak terlalu besar itu. Saat isi dalam amplop itu mulai terlihat, disitulah gerakan Nara terhenti seketika. Album foto? Mengapa Dimas memberikannya sebuah album foto?
KAMU SEDANG MEMBACA
Married by Accident
ChickLitMenikah dengan Dimas adalah salah satu hal yang tidak pernah Nara bayangkan. Bagaimana mungkin dia menikah dengan seseorang kakak dari mantan pacarnya. Pacar yang dengan tega meninggalkannya saat mengetahui Nara sedang berbadan dua. Nara juga tahu a...