Chapter 15

318 19 1
                                    

Day 12!

Bianca'

Aku memandang wajahku dicermin. Dari ujung rambut sampai ujung kaki. Cantik. Dengan rambut hitam legam sebahu yang diblow dibawahnya, poni di jatuhkan didahi miring ke kanan, alis mata tebal yang rapi, kelopak mata diberi sedikit eyeliner, bulu mata diberi mascara, hidung mancung, dan bibir dipoles lipstik warna peach serta sedikit blush on di tulang pipi.

Turun ke badan, blush hijau muda berlengan pendek v-neck melilit tubuhku. Dipadu dengan rok lipit bunga-bunga diatas lutut dan sepatu wedges putih bertali menunjang penampilanku hari ini. Oh ya, tidak lupa gelang kayu dua buah ditangan kanan dan jam silver disebelah kiri.

"Perfect!" kata Rebecca sambil menepuk tangannya dua kali. Menatap bayanganku dicermin. Dua cewek ini sedang mengapitku. Disebelah kanan Rebecca yang menatap dengan puas dan Adel yang menatap dengan wajah kagumnya. Aku memberikan senyum termanisku pada mereka, sebagai ucapan terima kasih telah membantuku berdandan dan memilih baju untuk hari ini.

"Ssh, sudah-sudah. Jangan lama-lama liatin muka lo di cermin. Keburu malem, ga jadi pergi kencan deh!" kata Rebecca lagi. Kedua tangannya mendorong bahuku sehingga tubuhku menjauhi cermin. Adel melangkah kesamping memberikanku jalan menuju pintu kamar.

"Bi, hampir lupa nih!" teriak Adel dengan suara kecilnya. Aku yang sudah berdiri didepan pintu menoleh kebelakang dan spontan menangkap clucth hijau tosca-nya Rebecca, aku meminjamnya untuk hari ini.

"Thanks guys!" kataku sebelum membuka pintu dan memulai kencan pertamaku dengan Brian.

***

Suara ribut langsung memenuhi indra pendengaranku saat masuk kegedung besar ini. Jujur saja, aku bukanlah orang yang terbiasa dikeramaian. Dan mendadak seperti ini membuatku ingin pulang saja.

Saat pikiran itu ingin ku lontarkan dari bibirku, tanganku digenggam erat oleh pria yang berjalan didepanku. Seketika pikiran itu sirna begitu saja.

"Maaf ya, bikin kamu kesusahan," katanya setelah kami menemukan bangku kosong. Aku tersenyum padanya yang sekarang mengulurkan sebotol mineral yang sempat kami beli diluar.

"Ini pertandingannya udah mulai?" tanyaku melihat penari dilapangan. Para cheerleaders itu mengingatkanku pada Rebecca yang selalu menari di lapangan basket kami memberikan semangat pada pemainnya. Kala itu, tentu saja aku masih pendiam dan isolasi sosial. Bahkan mungkin aku hanya mengenalnya tanpa Rebecca mengenaliku.

"Ini udah pertengahan babak. Biasanya cheerleaders masuk saat selingan antara babak dua dan tiga," jelasnya singkat.

"Kalo gitu, kita telat dong?" tanyaku dengan suara memelas.

"Easy Bi. Yang penting masih bisa nonton bareng kamu." Brian menaruh tangan kanannya kekepalaku dan mengusap puncaknya pelan. Memberikan getaran ketenangan dari setiap usapannya.

Bunyi peluit panjang menyadarkanku tentang dimana kami berada sekarang. Lapangan basket. Pertandingan. Dan dalam hitungan detik saja, Brian sudah fokus pada jalannya pertandingan. Melihatnya menonton dengan serius begitu membuatku semakin memujanya. And, I still falling to him.

***

Akhirnya kami duduk menonton pertandingan basket selama kurag lebih dua jam. Disana aku bisa melihat berbagai ekspresi Brian. Mulai bersorak senang, kecewa, tegang dan lainnya. Dimana setiap ekspresinya menjadi ketertarikan sendiri bagiku. Oh panggil saja aku cewe penjilat omongannya sendiri. Bahkan dulu aku yang memperkirakan kalau bakal ada yang jatuh cinta. Dan sialnya, akulah yang merasakan hal itu pada Brian. Dan ya, aku tergila-gila padanya.

"Mau kemana lagi?" tanyanya dibalik kemudi, memasang sabuk pengamannya sendiri. Aku mengangkat bahu. "Aku ga tau Bri. Kan kamu yang ajak aku."

"Laper ngga?"

"Tau restoran mana yang enak?" tanyaku yang disambutnya anggukan keras. "Suka seafood?"

Kali ini aku yang mengangguk berulang kali yang dijawab dengan tawa darinya. Akhirnya mobil bergerak mundur keliar dari parkiran dan membelah jalanan kota Bandung.

Tidak butuh waktu lama, kami sampai disalah satu restoran terbilang mewah didaerah ini. Jika masih didesa, pastinya kita tidak akan menemukan restoran seperti ini. Untunglah aku bukan wanita seperti Rebecca yang harus makan ditempat mewah setiap harinya. Walaupun ku akui sesekali makan ditempat mewah itu boleh juga.

Brian menarik satu kursi dan mempersilahkanku duduk. Gentleman banget, aku tau. Setelah aku duduk, dia beralih ke kursi didepanku dan duduk disana. Kami memilih meja nomor 18 dengan sepasang kursi.

Brian mengangkat tangan kanannya untuk memanggil pelayan. Seorang pelayan wanita mengangguk kearah kami, mengambil menu dan menuju kearah kami. Satu menu diberikan padaku dan satunya diberikan pada Brian. Aku membaca satu persatu nama makanan yang ya, memang hanya ada makanan dari hewan dari laut. Setelah Brian menyebutkan makanan pilihannya, aku juga menyebutkan pilihanku. Si pelayan membaca ulang pesanan kami, lalu berlalu dari hadapan kami berdua.

"Kamu suka banget es krim ya?" tanya Brian mengingat pesananku yang salah satunya adalah big cup ice cream vanilla chocochip. Aku mengangguk diiringi senyum.

"Ternyata cewek kaya kamu ga takut gendut ya," katanya lagi. Aku menaikan sebelah alis mendengar perkataannya. Memangnya makan es krim bisa gendut ya? Jadi itu makanan pantangan para wanita? Hem, aku perlu mencatat itu dan memblacklist es krim disetiap makanku. Hem, sepertinya aku memang keseringan makan es krim deh.

"Hei, malah ngelamun!" Brian menyenggol tangan ku. Bukan hanya menyenggol, dia menggenggam tanganku yang berada diatas meja. Hangat dari tangannya mengalir ke tubuhku merambat ke pipiku dan unjung telingaku. Wajahku memanas dan kurasa wajahku tengah memerah sekarang.

"Es krimnya buat kita berdua," jawabku sekenanya setelah meredakan jantungku yang tiba-tiba marathon siang begini.

"Oh, sweet sekali sih Bi, pake segelas berdua." Brian tertawa setelah berkata seperti itu. Aku hanya bisa ikut menertawai kebodohanku atas ketidaktahuan tentang makanan apa yang boleh dan tidak boleh dimakan sama perempuan. Oke, aku harus lebih banuak bertanya pada Rebecca kalo begini.

***

SIX!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang