Chapter 3

420 28 0
                                    

Bianca-

Kami akhirnya berkumpul pukul delapan malam di lantai dua yang disebut sebagai ruang keluarga. Semuanya sudah berada didepan laptop masing-masing. Ku perhatikan sekilas aplikasi yang mereka miliki, memang tidak secanggih milikku.

Aku memiliki aplikasi yang bisa membaca draft orang lain, dengan cara hack. Bisa dikatakan sebagian kesenanganku dalam IT adalah dapat melakukan tindakan yang membuat orang tercengang. Ya, pernah mendengar orang-orang ngehack stasiun televisi? Well, suatu hari nanti aku mau seperti itu. Dalam bentuk yang baiknya.

Selain itu, aku juga suka buat robot. Nah yang satu ini belum mahir, tentu aku butuh pendalaman untuk bisa menciptakan satu robot canggih bukan.

Kelima orang didepanku ini sedang menekuni laptop mereka masing-masing. Dahi berkerut, mata menyipit. Tapi aku sadar betul mereka tidak tau apa yang akan mereka tulis. Oh, kecuali teman sekamarku, Adel, yang super pintar itu. Yang aku tau, Adel merupakan peraih juara di kelasnya. Tidak pernah meleset dari juara 1 atau 2.

Sebenarnya aku sudah melakukan penelitian dulu terhadap mereka masing-masing. Mencari informasi diri mereka.

Alex, si biang onar. Guess why? Karena dia anak broken home. Bokapnya sering melakukan kekerasan rumah tangga, sayangnya sekarang dia tingga bersama bokapnya itu tidak dengan ibunya. Jadilah dia anak berandal yang suka gonta-ganti cewek. Yang bodohnya cewek-cewek itu mau saja di duain atau ditigain olehnya. Dan sekarang dia berstatus pacaran.

Brian, cowok terpopuler. You know why lah. Dia kapten basket, ketua ekskul olahraga. Tampan, tajir, playboy. Aku akuin tampan karena dia emang keturunan Spanyol, bokapnya Spanyol. Tajir karena bokapnya adalah pengusaha kayu. Playboy karena punya gebetan dimana-mana. Dan sesuai info yang gue dapat dia itu setia kalau udah sama satu cewek yang benar-benar sreg dengannya. Masalahnya buat dapatin cewek kaya gitu dia susah banget.

Alvano, cowok cupu tapi masih tergolong keren. Menurut aku, photografi itu keren. Bisa menghasilkan suatu gambaran baru yang banyak arti dalam satu kali jepretan foto. Dia anak anggota parlemen. Manja dan suka asal bicara. Apa yang dimau biasanya harus diturutin. Buat rekor pacaran, nol. Sesuai info yang aku dapat. Dia tidak pernah pacaran.

Adel, sesuai yang aku bilang tadi, dia pintar banget. Dia juga jomblo abadi. Eh, maksudnya belum pernah pacaran. Tergolong cupu, tapi dia yang paling netral diantara kami berenam. Bokapnya udah meninggal dan sekarang tinggal sama ibu dan adek-adeknya aja. Nah dia suka buka les buat anak sd atau smp. Kayaknya bantu-bantu nyokapnya. Oh ya, dia bakal ulang tahun dalam waktu dekat ini. Mungkin minggu depan.

Rebecca, cantik, centil, populer, slut, jabs, playgirl, sombong, bodoh. Apa lagi yang bisa aku gambarin tentang dia? Oh ditambah ya, sok seksi. Ya memangbdia yang paling wow diantara kami bertiga. Dia juga anak orang kayak. Bokap pengusaha, nyokap dosen. Tapi kok anaknya begini? Oke aku simpulin dia anak yang kurang perhatian. Hobbynya habisin uang orang tua buat ke salon dan ke mall.

Terakhir, aku. Satu kata yang mungkin semua orang gambarin tentang aku. Freak.

"Ah! Gue masih engga nemu apa yang harus dibuat!" geram Alex membuat semua orang menoleh dari laptop mereka.

"Gue juga engga tau mau tulis apa tentang bidang kalian," sahut Brian yang duduk disebelahku. Ku lirik laptopnya, ternyata dia sudah menuliskan beberapa paragraph tentang ekskulnya sendiri.

"Kita ngga mungkin ngejudge ekskul lain tanpa tau apapun tentang ekskul itu, engga profesional namanya," kali ini Adel yang buka suara.

"Atau lo semua kasih tau deh apa jeleknya ekskul lo lo pada. Biar gue dengan mudahnya memilih satu ekskul yang harua di coret," ucap Rebecca santao tapi mengesalkan banget.

"Mana ada yang mau jelek-jelekin ekskul masing-masing. Nah lo, mau gue buatin kalau anak cheera itu pada jabs semua?" tanya Alvano yamg mendapat desisan marah dari Rebecca. Sepertinya akan ada pertengkaran sebentar lagi.

"Apa lo bilang? Anak-anak cheers jabs semua? Jaga mulut lo ya, ashole!"

"Ya emang, semua cowok pada menilai begitu. Murahan!"

"Bro bro, weits. Kok jadi adu mulut gitu? Lo cowok juga jangan adu mulutnsama cewek kek!" Brian menengahi. Kelihatannya memang Brian yang sering menjadi penengah kalau ada pertengkaran diantara mereka.

"Gue punya ide." Tiba-tiba aku mendengar suara dari mulutku sendiri. Semua mata tertuju padaku. Pasti pada aneh karena aku bicara gini. Go a head lah!

"Gimana selama beberapa hari ini kita nunjukkin kelebihan dari masing-masing bidang. Ya, misalnya dengan pergi ke suatu tempat dimana itu bidang lo banget. Nah, disana kan kita juga bisa liat sendiri plus minusnya tuh bidang. Ya, selama tidak ada provokator yang menjelekkan dan menjatuhkan bidang lain pastinya. Kita bermain fair aja."

Kelima orang itu tampak mengangguk-angguk dan memahami. Mereka terlihat berfikir masing-masing.

"Ide lo bagus juga..."

"Bian," ucapku membetulkan namaku yang mungki Alex ini lupa.

"Iya Bian. Gimana kalau kita bagi perhari aja. Jadi masing-masing wajib ikut ke acara bidang itu." Tambah Alex. Tumben dia bijaksana juga.

"Gue setuju aja sih. Jadi kita bagi hari aja?" tanya Rebecca sambil memelintir rambut ikalnya.

Akhirnya kami berbagi hari, dan dapatlah keputusan. Hari pertama Adel, hari kedua Brian, hari ketiga aku, hari keempat Alex, hari kelima Rebecca, dan hari terakhir Alvano. Ya, walaupun beberapa dari mereka sempat adu mulut untuk menempati posisi awal.

Akhirnya kami menutup laptop masing-masing dan memilih kembali ke kamar. Kecuali Adel yang masih berusaha membuat essay tentang ekskul eskaknya. Mungkin banyak juga yang harus dibuatnya ya. Ah, peduli apa. Aku pergi kelantai satu dan menuju kamarku.

SIX!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang