Chapter 16

186 15 0
                                    

Haihai!
Gue datang bersama Adel. Menurut gue, yang cocok main jadi Adel ya Selena Gomes. Why? Soalnya wajahnya polos dan kayanya cocok aja jadi Adel.
Menurut kalian cocoknya siapa?

Adel'

Tinggal dua hari lagi. Aku menghembuskan nafas pelan. Rasanya aneh. Setelah kemarin malam membicarakan keputusan itu, hari ini aku tidak memegang laptop sedikit pun. Toh, essay itu tidak akan aku lanjutkan.
Hari beranjak sore dan semua terasa biasa-biasa saja. Alvano didalam kamarnya entah melakukan apa, Alex pergi dengan motornya, Rebecca pergi dengan mobilnya dan Brian dan Bianca pergi kencan entah kemana. Menyedihkan memang. Aku menjadi satu-satunya orang yang tidak tau melakukan apa.
Aku sedang duduk diteras dengan segelas teh hangat di sore yang sejuk ini. Menanti satu persatu kendaraan muncul didepanku. Tapi penantianku tidak kunjung berakhir.
Ponselku yang berada diatas meja bergetar. Aku melihat nomor ibu muncul, lalu kuangkat telefon itu.
"Ibu," sapaku lemah.
"Selamat ulang tahun, kak Adel!" Teriak diseberang. Aku tersenyum, yakin ini suara adik-adikku.
"Selamat ulang tahun ya, nak," tambah satu suara lagi. Suara ibu.
"Makasih bu," jawabku.
"Kamu kenapa nak? Sibuk ya? Kok ga semangat gitu? Ini kan hari ulang tahun kamu." Suara Ibu berubah perhatian. Perhatiannya membuat diriku yang kesepian langsung tersedak. Kelenjer air mataku langsung bekerja dengan cepat.
"Aku mau pulang bu," isakku. Ku tutup mulutku dengan tangan. "Ga ada yang peduli Adel disini."
"Adel, sayang. Jangan sedih kaya gitu." Ibu menenangkan. "Kata kamu udah dapat temen disana."
"Beberapa hari lalu iya, bu. Sekarang pada sibuk masing-masing." Aku mengusap air mata yang jatuh ke pipiku dengan kasar.
"Bukannya kamu pulang dua hari lagi?"
Aku mengangguk. "Iya bu." Kutarik nafas mengontrol emosiku yang berlebihan. "Aku harap dua hari berlalu dengan cepat."
"Ibu juga berharap kaya gitu. Jadi keputusannya gimana?" Tanya ibu. Tampaknya ibu berusaha mengalihkan pembicaraan kami. Tidak masalah, ku pikir itu cara ibu menenangkanku.
"Oh itu bu. Kami sepakat buat ga bikin essaynya. Jadi kami bakal ngomong ke Bu Mona kalo kami bakal biayain ekskul kami sendiri-sendiri kalo sekolah ga bisa bayarin."
"Kalian yakin?"
"Yakin bu, itu udah dirapatin bareng-bareng."
"Semoga pilihan kalian tepat ya nak," doa Ibuku. Aku mengamini.
Saat sedang bercerita panjang dengan ibu, kudengar suara kendaraan mendekat. Mobil Rebecca muncul diperkarangan. Ku katakan pada ibu kalau salah satu temanku sudah kembali pulang.
Rebecca turun dari mobil dengan anggunnya, seperti biasa. Dia menenteng sekantong besar bahan makanan. Tampaknya dia habis belanja.
"Nelfon siapa Del?" Tanyanya sebelum masuk. Dia berhenti didepanku dulu.
"Ibuku Bec."
"Ooh, gue masuk kedalam ya." Rebecca meninggalkanku. Dia masuk kedalam vila tanpa mau bicara apa-apa lagi. Dia kelihatan capek. Kenapa aku tidak diajak belanja saja? Setidaknya aku bisa menolongnya kan.
"Del, kamu denger ibu kan?" Suara Ibu menyadarkanku kalau aku sedang melamun.
"Maaf bu, ibu bilang apa tadi?"
"Duh, kamu ga denger ibu ngomong? Tadi ibu lagi bicarain sekolahnya adek-adek kamu, Del."
"Adel.." Suara baru yang menganggu Ibuku lagi curhat. Aku menoleh dan mendapati Alvano berdiri di depan pintu.
"Bentar bu." Ku minta ibu ku untuk menunggu. Ku jauhkan ponsel dari telingaku. "Kenapa, Van?"
"Temenin gue jalan sore, mau?"
Aku mengernyitkan keningku. "Ngapain?"
Alvano menggaruk tengkuknya. "Eh kalo lo ga mau gapapa. Gue sendirian aja."
Aku mendesah. Tampaknya Alvano akan mengatakan sesuatu. Ada yang aneh dengan sikapnya. Dan, aku juga penasaran dengan maksudnya menyimpan foto-foto candidku. Mungkin ini saatnya aku bertanya.
"Aku ikut," teriakku saat Alvano sudah memasang sendalnya. "Bu, nanti lagi ceritanya ya. Aku pergi dulu sama temen."
Ibu terdengar mengerti. Di ucapkan salam lebih dulu dari aku. Setelah mematikan sambungan telefon, ku masukan ponsel ke saku celana jinsku. Alvano sudah menunggu didepanku sambil memasukan kedua tangannya kesaku celananya. Aku segera memasang sendal santaiku dan menuju kearahnya.
"Engga bawa kamera? Tumben."
"Lagi gue cas," jawabnya. "Lagian, disini," Alvano menunjuk otaknya, "bisa menyimpan segala hal lebih detail."
***
Alvano benar-benar membawaku keliling desa. Kami berjalan dengam lebih banyak diamnya. Sekali-kali dia mengeluarkan ponsel untuk memotret sesuatu yang dianggapnya menarik. Hingga kesekian kalinya, aku mulai mencelutiknya.
"Katanya mau simpan diotak aja?" Tanyaku sambil tersenyum kecil.
Alvano yang sedang membidik dengan ponselnya berhenti. Tangannya masih diudara saat menoleh kearahku. "Ada beberapa hal yang lebih baik diabadikan di gambar."
Aku mengangguk-angguk. "Selain anak photografi, kamu juga anak sastra?"
"Hah?" Hanya itu yang keluar dari mulutnya saat aku mencoba bercanda.
"Aku cuma berusaha bercanda, Van. Serius amat."
Alvano mendengus. Dia kembali fokus ke ponselnya dan segera mengambil gambar dengan cepat. Setelah merasa cukup, di masukannya ponselnya ke saku lagi. Dia kembali berjalan meninggalkanku yang dari tadi menungguinya.
Tanpa kusadari, tanganku sudah menyentuh sikunya membuatnya berhenti dan menoleh kepadaku.
"Er." Kulepaskan tanganku dari sikunya. "Bisa berenti dulu ga? Dari tadi jalan mulu."
Alvano mengangkat bahunya. "Oke. Diwarung itu aja? Sekalian beli minum." Alvano menunjuk warung kecil didepan kami. Aku mengangguk menyetujui.
Alvano akhirnya berjalan duluan dan aku mengekorinya. Sesampainya di warung, aku langsung duduk dan mengambil sebotol teh. Kuteguk minuman itu dengan cepat.
"Lo benar-benar capek?" Tanyanya sambil tersenyum geli.
"Menurut kamu? Kita udah jalan berapa kilo? Capek tau." Aku menjawab sarkartis. Dijawab seperti itu Alvano malah tertawa.
"Sebenarnya kita baru jalan dua kilo."
Aku membulatkan mata. "Kok tau?"
"Nebak aja sih," jawabnya lalu tertawa. Aku hanya mencebik mendengar tawanya itu.
"Lagian tumbenan kamu mau jalan sore. Biasanya dikamar aja." Kupasang tutup botol minumanku sambil menatap Alvano yang kini tengah mengambil satu roti.
"Bosan di rumah itu terus. Lagian kita mau balik dua hari lagi, ga salah coba keliling desa."
"Iya ya. Yang pernah kelilingi desa mah cuma Rebecca. Dia kan jogging mulu."
Alvano mengangguk. "Dan Alex, mereka sering jogging bareng kalo gue ga salah ingat."
"Bener. Mereka jadi berdua terus. Aku aja heran, keliatannya sih kaya kucing tikus, tapi lengketnya ga ketulungan."
"Who knows what they feel?" Alvano berkata begitu tanpa menoleh kepadaku. Dia sibuk dengan roti ditangannya dan memakannya.
"Aku cuma kasihan sama Rebecca. Alex itu punya pacar loh, Rebecca jadi mainan doang dong disini?"
Alvano mengangkat bahunya. "Lo bakal kaget kalo tau cowo-cowo emang kaya gitu."
Aku nengernyit. "Maksudnya?"
"Singkatnya gini loh, Del. Kalo lo bego, yaudah masuk lubang. Tapi kalo lo jaga-jaga jalan lo, setidaknya lo bisa mastiin lubang yang bakal lo pilih buat jatuh itu ga salah."
Aku mengerjap. "Kayanya kamu beneran anak sastra."
"Sialan." Alvano tertawa. Dia bangkit dari duduknya. Dia mengeluarkan beberapa lembar uang dari sakunya dan membayar jajan kami.
"Eh, makasih," ucapku menyadari Alvano juga membayariku.
"Selow. Yuk, jalan lagi."
Aku mengucapkan terima kasih pada ibu pemilik warung. Ku susul Alvano yang duluan jalan lagi.
"Aku masih penasaran sama yang kamu bilang tadi, Van," kataku setelah beberapa saat kami terdiam tidak tau membicarakan apa.
"Tentang apa?"
"Yang kamu bilang cowo-cowo emang kaya gitu."
"Oh," Alvano tampak menarik nafasnya. "Rahasia pria."
Aku mendecak. Ku pukul lengannya dengan botol minuman yang kubawa tadi. "Tau kaya gitu kenapa di kasih tau ke aku. Jadi penasaran, Van."
"Hm." Alvano tampak akan menjelaskan. Dia memasukan tangannya kembali kedalam saku celananya. "Ada yang cuma iseng."
"Maksud kamu Alex sama Brian itu iseng deketin cewe-cewe?" Secercah harapanku kembali muncul. Berharap mereka memang hanya main-main.
"Alex ya, jelas dia cuma iseng. Gue rasa Rebecca bisa bertahan dengan itu, tapi kenyataannya engga. Rebecca malah melompat ke lubang yang salah."
"Brian?" Uh, aku tidak mau tau tentang Alex sebenarnya.
"Brian aman. Cuma ya, sebelumnya mereka sepakat bakal deketin siapa."
Aku mendengar diriku menghela nafas.
"Kenapa?" Tanya Alvano tampak menyadari perubahan sikapku.
Aku menarik ujung bibirku untuk tersenyum. "Ga papa. Aku cuma kepo."
Alvano tersenyum. Tiba-tiba dia menarik pergelangan tanganku menuju kesalah satu bangku yang terbuat dari semen ditepi jalan. Bangku itu dibuat tepat dibawah pohon rindang dan didepan sawah. Jadi Alvano menarikku duduk disana sambil menghadap sawah. Tapi Alvano malah duduk bersila menghadapku.
"Sekarang giliran gue nanya. Ada masalah apa lo waktu itu?"
"Yang mana?" Tanyaku bingung.
"Danau. Lo nangis."
Aku menelan ludah susah payah. Kenapa Alvano malah ingat itu sekarang sih?
"Cuma lagi galau. Baper tiba-tiba," jawabku sekenanya.
"Bohong."
Jleb.
Aku mendesah. "Apa pedulimu sih Van? Tiba-tiba nanya kaya gini?"
Alvano yang tadi menatapku lekat, kini melarikan matanya ke sawah yang terbentang. Kakinya diturunkan dari bangku semen ini dan menghadap kearah yang sama denganku.
"Bukan mau ikut campur. Cuma penasaran," jawabnya kembali dingin.
Aku menghelas nafas. Kulirik dia yang kini mengetatkan rahangnya. Dari balik kacamata beningnya, aku bisa melihat matanya yang putih jernih dengan bola mata coklat. Sudah tidak tampak minat denganku.
"Aku cuma sedih karna ga ada satu pun yang minat sama aku." Kudengar diriku berbicara. Ah, sial. Aku tidak bisa menarik kata-kataku lagi.
Alvano menoleh kepadaku dan aku cepat-cepat membuang muka menghadap sawah kembali. Dan tampaknya dia melakukan hal yang sama.
"Alex sama Rebecca, Brian sama Bianca. Bahkan aku ga jadi pertimbangan siapapun. Padahal aku udah berusaha berubah dan ngikutin maunya Rebecca, tapi tetap aja ga ada yang muji." Aku tersenyum miris.
"Aku tau kok, aku cupu. Jelek. Seharusnya malam itu aku ga harap apa-apa ya? Lucunya, malah kamu yang ajak aku dansa. Padahal kita sama-sama ga bisa dansa."
"Lo ngarepin orang lain yang lakuinnya?"
Pas! Kena! Kenapa Alvano tiba-tiba bisa jadi pembuatku cengo?
"Siapa? Brian?"
Sontak aku menoleh padanya yang kini tengah menilai tingkahku. Sesaat aku mengetahui itu karna dia menarik ujung bibirnya dan tersenyum.
"Ketahuan banget, Del." Alvano terkekeh.
"Please jangan kasih tau siapapun. Rahasia kita berdua ya?" Aku memohon. Alvano mengangguk.
"Tenang, gue bisa jaga rahasia."
Baru saja aku menghela nafas lega, Alvano bertanya, "kenapa Brian?"
Aku mengernyit. Pertanyaan yang sama yang selalu ku lontarkan ke diriku sendiri.
Kenapa Brian? Aku tak tau. Seandainya aku bisa memilih, aku lebih baik tidak jauh cinta saja dan tidak mendekati pria.
"Aku ga tau, Van. Kalo boleh milih gue engga mau suka dia deh.".
Alvano mengangguk-angguk. Dia menghela nafas panjang sebelum bercerita. "Sebenarnya, Brian sedikit bingung waktu mau milih siapa yang bakal dia deketin."
Aku menoleh. "Maksudnya?"
"Iya gitu. Antara lo sama Bianca. Dia ragu deketin siapa."
"Terus? Dia milih Bianca kan?"
Alvano menaikan alisnya. Melihat itu, aku hanya mendesah. Aku memang bukan pilihan.
"Lo emang bukan pilihan, Del," ucap Alvano. Aku mengatup mulutku rapat-rapat. Apa aku menyuarakan pikiranku tadi?
"Tapi," Alvano melanjutkan, "lo itu masa depan."
Aku menatap Alvano yang sekarang juga tengah menatapku. Kalimatnya itu, seperti sebuah harapan. Dan aku menyukainya.
"Er, gue ngomong apa sih." Alvano menggaruk tengkuknya sambil mengalihkan pandangan dariku. Tapi aku hanya tersenyum.
"Makasih," kataku tulus. Serius, aku benar-benar tersanjung dengan kalimatnya itu. Setidaknya, seseorang masih memikirkanku untuk menjadi masa depannya. Bukan hanya menjadi pacar sementara saat ini.
Tunggu! Suara diotakku berbunyi. Alvano mengharapkanmu sebagai masa depannya?
Bodoh. Itu sangat-sangat tidak mungkin!
Terus, foto-foto candidmu?
Oh, astaga. Kenapa otakku bersuara seperti aku perempuan bodoh yang berbicara sendiri dicermin. Oh, bahkan aku sekarang sedang tidak dicermin.
Tanyakan!
Masa sih aku harus tanyain?
"Lo kenapa sih?" Aku terkesiap mendengar pertanyaan Alvano. Dia menatapku heran sambil bergantian menatap tanganku yang memilin-milin ujung bajuku sendiri.
Tanyakan!
"Er, ada yang mau aku tanya Van."
"Apa?" Alvano memiringkan kepalanya kesatu sisi.
Aku memejamkan mata rapat-rapat sebelum bertanya. "Apa maksudmu menyimpan foto-foto candidku? Bisa kamu jelasin?"
Dan selanjutnya aku bisa melihat wajah terkejut Alvano.
***
Kami pulang setelah makan malam di kedai kopi kecil dekat rumah. Banyak hal yang akhirnya benar-benar kami bicarakan. Ternyata Alvano tidak sedingin itu. Dan aku menyukai senyumnya. Ya ampun, sepertinya aku memang mudah sekali suka seseorang.
"Kayanya yang lain udah pada dirumah," kataku pada Alvano saat kami memasuki perkarangan rumah.
Alvano menaikan alisnya. Dia berjalan bersisian denganku sambil memasukan tangannya di saku celana. Persis seperti pergi tadi, seperti ini pula kami kembali pulang.
Aku membuka pintu villa. Tapi semua tampak sepi. "Kayanya yang lain dikamar deh."
Alvano menaikan alisnya lagi. "Hm, kalo gitu aku ke kamar dulu. Makasih ya buat sore ini, Van," ucapku sambil tersenyum.
"Seharusnya gue yang bilang makasih. Lo udah mau nemenin gue sore ini."
Aku cuma bisa tersenyum terus sampai masuk kedalam kamar dengan Alvano yang menungguiku masuk kedalam kamarku. Rasanya aneh. Aku seperti orang gila.
Ya ampun!
Aku berlari ke cermin dan menatap wajahku yang tampak bahagia. Pipiku memerah sekarang. Sudah seperti Rebecca yang digoda Alex.
Tunggu, Bianca kok ga dikamar?
Pertanyaanku baru saja terjawab saat Bianca membuka pintu dan memunculkan kepalanya saja. "Udah pulang lo? Yuk makan malam."
"Yah, aku udah siap makan sama Alvano tadi."
"Ya udah, kalo gitu. Semuanya pada ngumpul, mau buat surat buat kepsek tentang keputusan kita."
Aku kembaki tertarik. Lalu aku mengangguk dan mengikuti Bianca keruang makan dan seketika aku terkejut.
"Happy birthday to you, happy birthday to you, happy birthday dear Adel, happy birthday to you!"
Seluruh orang di meja makan bernyanyi buatku. Rebecca dengan senyumnya memegang kue tart ukuran menengah, Alex disebelahnya meniupkan terompet berulang kali, Brian disebelah Alex ikut bernyanyi dan disebelah kiri Rebecca, Alvano tersenyum ganjil. Ah, sepertinya ini sudah diatur.
"Makasih, guys. Aku ga nyangka kalian ingat," ucapku sambil memeluk Bianca, mewakili semuanya. Aku tidak mungkin memeluk mereka satu persatu.
"Nanti dulu, make a wish dulu, Del. Lilinnya habis nih!" Celetuk Rebecca.
Aku mengangguk. Cepat aku menuju kedepannya dan menangguk tanganku serta menutup mataku.
Semoga, kami mendapat masa depan yang baik. Dan ekskul tidak ada yang dicoret. Amin.
Setelah berdoa, aku membuka mata dan meniup lilin. Sekali tiup, semuanya mati.
"Woho!" Teriak Rebecca, Alex dan Brian heboh.
"Potong kuenya, Del!" Teriak Brian. "Gue pengen coba kue buatan cewe-cewe ini!"
"Oke." Ku ambil pisau plastik. "Coba ceritain, ini kaya mana awalnya."
"Bianca yang ingetin kami kalo lo ulang tahun hari ini, Del," mulai Rebecca. "Nah, kami bagi tugas deh. Gue beli bahan-bahan buat masak kue, Brian sama Rebecca beli dekorasi-dekorasi ini dan Alvano bawa lo dari rumah selagi kami siap-siapin barang."
"Hm, pantes Vano bikin aku pulang malam." Aku baru menyadari gimana Alvano mengulur-ulur waktu untuk pulang. "Tugas Alex apaan?"
Rebecca melirik Alex sebentar. "Ga ada. Dia ga tau kemana tadi."
Alex terkekeh. "Ada urusan bentar. Tapi kan gue bantuin kalian dekor-dekor."
"Alasan Del. Jangan percaya," celetuk Brian.
"Udah, udah. Suapan pertama buat siapa Del?" Tanya Bianca saat aku selesai memotong lima kue sekaligus.
Aku berfikir. Takut salah.
"Udah lah, kelamaan. Gue lapar!" Ucap Alex sambil mengambil satu potong kue.
"Alex!"
***
"Oke, jadi dengerin." Rebecca menepuk tangannya dua kali. "Gue bacain hasil karya kami," ucapnya lagi.
"Halah, lo cuma bilang iya, bagus, engga, jelek. Itu aja, Bec," celetuk Alex.
"Diam lo!" Rebecca melemparkan bantal padanya.
"Udah ah, berantem mulu kalian berdua!" Bianca menengahi. "Dengerin deh surat singkat kita buat kepsek."
Semuanya mengangguk, lalu merapat mendekati kami. Brian yang tadi sibuk memainkan bola basket kecil ditangannya, berhenti dan Alvano yang sibuk dengan laptopnya, meletakan laptop itu dulu disebelahnya. Ya, kami sekarang di ruang keluarga setelah pesta ulang tahunku tadi. Kami memutuskan untuk membuat surat itu sekarang.
"Yang terhormat, Bu Mona. Semoga ibu dalam keadaan sehat dan baik-baik saja. Dengan surat ini, kami memutuskan untuk tidak membuat essay. Karena kami sepakat untuk tidak mencoret satupun ekstrakulikuler yang ada disekolah kita. Menurut kami, semua ekstrakulikuler adalah menarik dan tidak ada yang pantas untuk dihapuskan.
Bu Mona yang terhormat, kami selaku mantan ketua ekstrakulikuler bidang ekskak, musik, olahraga, dance, photographi, teknologi, sepakat untuk membagi dana sekolah sama rata walaupun hanya sedikit karena kami akan berusaha mencari dana dari luar juga. Kami sepakat bahwa ekskul kami akan mandiri dan akan memberikan yang terbaik untuk sekolah kita.
Jadi, kami mohon pada Ibu untuk tidak menghapuskan satupun ekstrakulikuler dikampus ini.
Terima kasih atas perhatian ibu dan mohon maaf jika keputusan kami mengecewakan.
Salam dari kami, mantan ketua ekstrakulikuler."
"Gimana?" Tanyaku cemas. Wajah pria-pria didepanku ini ngeri juga kalau serius.
"Deal! Print!"
***

SIX!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang