Please be wise ya, ada adegan +18 . please lewatin aja adegannya. Tapi gaparah2 banget kok (menurut gue) wkwk
Day 14
Kami pulang udah pukul sepuluh malam. Semuanya langsung ke kamar masing-masing karena ada yang mau packing malam ini dan sebagainya. Jadi gue memilih untuk ke kamar dan tidur. Masalah packing bisa besok pagi. Toh kami akan balik siang juga.
Baru aja gue siap membersihkan make up, pintu gue diketuk beberapa kali. "Bentar," ucap gue buat bikin yang ngetuk berenti. Setelah gue buang sampah kapas ke tong sampah, gue buka pintu. Dan tebak siapa yang sedari tadi ngetuk pintu ga jelas.
"Kenapa lagi lo?" tanya gue kesal.
"Gue tau lo marah. Jadi gue mau minta maaf."
"Lo bangsat kalo lo sadar itu!" teriak gue didepan mukanya. Meluapkan kemarahan gue.
"Lo mau mereka denger kita berantem? Seenggaknya kita bicarain didalam."
"Ga ada yang perlu di jelasin."
"Banyak! Semua yang gue bilamg sama mereka bohong. Oke?"
Bohong? Gue mengerutkan kening. Maksudnya apa?
"Biarin gue masuk. Gue bakal jelasin," ucapnya lagi. Dengan begonya, gue malah memberinya akses untuk masuk kekamar gue.
"Gue selalu suka bau parfum lo," ucapnya sambil masuk kedalam kamar gue. Menghirup udara kamar yang memang meninggalkan bau gue di kamar ini.
"Jangan banyak bacotlah. Lo kalo mau ngomong langsung aja," gertak gue. Gue berdiri di depannya yang duduk di tepi ranjang gue.
"Santai, mbak." Ditariknya gue buat duduk disebelahnya. "Duduk dulu. Kita ngomong baik-baik."
Gue mendengus.
"Gini ya, gue ga mungkin cerita yang sebenarnya sama mereka." Alex mulai menjelaskan.
"Kenapa engga? Emang sebenarnya apa?"
"Denger ya." Alex menarik nafasnya. "Gue ngomong kaya gitu buat nyelamatin lo, nyelamatin gue juga."
"Nyelamatin gue?"
"Yap. Lo bilang kita ga ada apa-apa? Kenyataannya?"
Gue menahan nafas. "Kenyataannya kita ga ada apa-apa kan, Lex?" tanya gue dengan suara rendah dan ragu. Gue ga tau, ngucapin itu bikin gue mau nangis.
Alex menggeleng. "Kita emang ada apa-apa, Bec," ucapnya sambil menekankan kata emang.
"Lo butuh gue dan gue butuh lo."
Gue bisa liat mata Alex yang meredup. Tapi gue segera mengalihkan pandangan dari matanya. "Dan nyelamatin lo? Dari pikiran mereka kalo lo jadiin gue selingkuhan? Kalo.." Gue menelan ludah. "Lo udah punya pacar?"
"Gue udah ga hubungin dia hampir seminggu ini Bec," ucap Alex.
Gue ga tau dia jujur atau bohong, tapi itu berhasil bikin gue sedikit berharap.
"Gue ga tau harus percaya atau engga," bisik gue.
Alex menyentuh pipi gue dan menariknya agar menatapnya. "Lo masih ga percaya gue?"
"Lex, please, lo.."
Shit! Alex dengan cepatnya membungkam mulut gue yang ya ampun, benar-benar mengingingkan bibirnya dari tadi. Dengan perlahan, ciumannya berubah menjadi menuntut. Gue menyeimbangi, dengan membelai rambut belakangnya.
"Er, Lex, gue ga yakin gue.."
"Apa?" tanya Alex didepan bibir gue. "Kalau lo ga butuh gue?"
Gue menelan ludah lagi. "Iya."
Dengan satu kata itu, Alex melepaskan tangannya dari rambut gue. Dia keliatan kecewa. Dia menjauh dan berdiri.
"Fine, ternyata emang lo nganggap ciuman kaya gitu ga ada apa-apanya," ucapnya nyaris kehilangan suara.
Gue mengerjap melihatnya yang keluar kamar tanpa sempat gue cegah. Dia, balik kekamarnya, dan gue hanya mematung disini.
Jadi, semuanya berakhir kaya gini? Besok gue udah balik pulang dan kami bakal berpisah satu sama lain. Besok, ga ada lagi kesempatan buat bilang gue emang butuh dia.
Gue bangkit dari ranjang, menuju keluar kamar. Lalu berdiri di depan kamar Alex dan mengetuknya tidak sabar.
Alex membuka pintu malas. "Apa lagi yang.."
Gue ga butuh ngomong lagi. Tanpa basa-basi, gue cium Alex dan mendorongnya masuk kedalam kamar. Er, gue baru menyadari Alex ga pake baju waktu menyentuh dadanya.
"Lo kenapa tiba-tiba?" tanya Alex saat gue lepasin ciuman gue, yang sama sekali ga dibalasnya.
"Lex, gue butuh lo. Bener-bener butuh lo," ucap gue dengan suara yang putus-putus karna kehabisan nafas.
Alex tersenyum. Selanjutnya bibirnya menempel lagi di bibir gue. Dengan sekali sentak, Alex mengangkat gue ke gendongannya, menendang pintu agar tertutup dan membawa gue ke ranjangnya.
Punggung gue menyentuh sesuatu yang empuk. Ranjang Alex, gue yakin. Dan Alex masih diatas gue sambil menciumi setiap inchi rahang gue. Rasanya menyenangkan.
"Lex," panggil gue dengan nafas yang ga normal.
"Hm?" tanya Alex dengan gumaman ga jelas. Dia sibuk mencium leher gue.
"Ah!" Gue mendesah saat tangannya menyusup di balik gaun tidur gue dan menyentuh payudara gue.
"Lex," panggil gue lagi.
"Hm?" Masih cara yang sama dengan jawabannya tadi.
"Gue.. Ah!" Kali ini dia meremas dengan keras. Gue sampai mengerang karena dia sangat lihai melakukannya dan rasanya milik gue pas di tangannya.
"Berenti dulu, Lex!" seru gue terputus-putus.
Tangan kanan Alex turun ke bawah, memeriksa celana dalam gue. Ya, ya, gue udah basah, itu membuat Alex tersenyum.
"Lo udah siap," ucapnya sambil kembali mencium gue. Setelah melepaskan ciumannya, Alex menarik tubuhnya dan bersiap membuka satu-satunya pakaian yang melekat ditubuhnya. Celananya!
"Alex, stop!" teriak gue.
Alex berhenti. Dia baru saja membuka kancing celana jinsnya dan itu membuat gue bergidik ngeri.
"Lex, gue belum siap."
Alex mengerutkan dahinya. "Maksud lo?"
"Gue.." ucap gue terbata.
Menyadari kegugupan gue, Alex menepuk jidatnya sendiri. "Ya ampun Bec. Lo masih perawan?"
Gue mengangguk malu-malu. "Please, jangan ya."
Alex tertawa. Dipasangnya kembali celananya dengan baik. "It's okay." Dia menunduk dan mencium gue sekilas. "Gue harus ngurusin sesuatu yang udah lo bangunin dulu," ucapnya sambil berdiri dari atas gue. Dia menuju keluar kamar dan gue rasa, gue tau kemana dia pergi. Kamar mandi.
***
Gue memainkan jari di dada bidang Alex yang nyaris sempurna. Gue suka tubuhnya yang atletis. Gue suka rahangnya yang kokoh. Gue suka bisepnya yang gue tidurin sekarang.
"Hm, Lex," panggil gue. Alex menoleh walaupun tangannya di pinggang gue ga berhenti mengelus. "Kalau udah tamat, lo bakal kuliah dimana?"
Alex tampak berfikir sebentar. "Mungkin masih daerah sini juga. Gue masih ragu mau pilih apa. Tapi gue lebih milih untuk langsung kerja."
"Kuliah lebih baik," ucap gue. "Terus kalo kerja mau jadi apa?"
"Engga tau. Belum kepikiran."
Gue tersenyum, mendongak menatapnya. "Gimana kalo lo buka sekolah musik dan ngajarin anak-anak main musik, pasti keren banget."
"Bisa dipertimbangin," ucapnya. "Kalo lo?"
"Gue pengen jadi model," ucap gue yakin. Emang dari dulu itu cita-cita gue.
"Hm, lo lebih baik jadi pramugari," celetuk Alex.
"Kenapa?"
"Supaya bisa jelajahin dunia. Nah, kalo udah punya anak, bisa ceritain ke anak-anak lo kaya mana setiap negara."
Gue menggeleng. "Gue bakal ninggalin suami terus."
"Kalo gue, gue bakal larang istri gue kerja. Jadi kalo mau, puas-puasin sebelum nikah sama gue."
"Oh ya? Jahat banget lo jadi suami."
Alex terkikik. Gue yang ikut tersenyum sambil menatapnya terhenti. Gue sentuh matanya yang ada bekas luka. Alex jadi terdiam.
"Ini kenapa Lex?"
Alex tampak menerawang. "Hadiah dari bokap." Gue mengerutkan kening. "Hadiah dari bokap?"
"Iya. Bokap orangnya keras. Kalo gue ngelawan atau ga nurutin perintahnya aja, dapat satu pukulan. Dan ini, bokap marah gara-gara gue mau berenti sekolah dan tanpa sengaja ngacungin gunting kemata gue, dan ya, untung aja ga mata gue yang kena."
Gue tersenyum iba. Gue tarik badan keatas agar sejajar dengan matanya, lalu mengecupnya pelan.
"Geli," katanya sambil tertawa.
"Ga sakit lagi kan?" tanya gue sambil menangkup pipinya.
"Engga," ucapnya sambil menggeleng. Ditariknya mukanya sendiri mendekat ke muka gue dan kami kembali berciuman. Sampai, ponsel Alex berbunyi nyaring.
"Angkat dulu Lex," ucap gue sambil melepaskan ciumannya.
"Paling ga penting," ucapnya malah sibuk beralih ke leher gue.
"Penting kalo nelfonnya malam-malam gini," kata gue menegaskan. Alex mendesah dan melepaskan gue sepenuhnya. Alex meraba nakas dan mengambil ponselnya. Mengangkat telfon itu tanpa melihat siapa yang menelfonnya.
"Halo!" sapanya ga baik. Gue cuma mengulum senyum melihatnya kaya gitu karena gue yang nyuruh dia angkat telfon.
Lalu tiba-tiba wajahnya berubah. Dia yang sedang tiduran menghadap gue, langsung duduk dan membelakangi gue.
"Ya sayang? Aku udah ketiduran tadi."
Jleb.
Jadi itu pacarnya?
"Iya. Besok aku pulang."
Gue memejamkan mata. Ya ampun. Rasanya sakit banget.
"Engga, yang. Akhir-akhir ini aku sibuk."
Sibuk? Sibuk apa? Selingkuh sama gue?
"Ya ampun. Engga. Ga mungkin aku selingkuh dari kamu."
Dan pertahanan gue habis sudah. Satu air mata jatuh begitu saja turun ke pipi gue. Benar, gue cuma selingkuhan. Gue cuma penganggu dalam hubungan Alex dan pacarnya, Diandra. Gue cuma parasit. Dan gue cuma jadi kebutuhan Alex aja.
Damn it! Gue benar-benar bodoh kali ini. Diperalat sama cowo bajingan kaya Alex. Dan gue mau-mau aja. Bangsat!
Gue bangkit berdiri. Alex yang menyadari pergerakan gue menoleh. Dia menatap gue sambil menggerakan tangannya dengan maksud menyuruh gue menunggu.
Gue menggeleng, tersenyum pahit. Udah, gue udah jelas kaya mana akhirnya ini.
Dengan langkah besar, gue keluar dari kamar Alex dan menutup pintunya pelan-pelan. Jaga-jaga pacarnya engga denger ada yang keluar masuk. Dan dengan cepat gue lari ke kamar dan mengunci pintu. Engga, kali ini gue ga bakal bukain pintu siapapun yang ngetuk. Gue cuma butuh nangis dan merutuki kebodohan gue kali ini.
***Dikit banget? Maaf yaaaa
Btw, di multimedia ini Alex. Gimana?
KAMU SEDANG MEMBACA
SIX!
Teen FictionSaling tidak mengenal, saling tidak peduli, dan saling tidak acuh. Lalu apa yang terjadi jika mereka diharuskan berkumpul dalam satu tempat yang benar-benar hanya ada mereka saja? Apakah akan terbentuk satu hubungan baru? Pertemanankah? Persahabatan...