VI

1.6K 238 8
                                    

Hari bergulir cepat bagi seorang Irene walau sering kali dia harus menghambarkan rasa, seperti malam ini.

"Halo, cantik." Pria beruban dan berperut buncit itu cengengesan sambil melepas kacamata hitamnya. Usianya sudah lewat 50 tahun. Dia adalah seorang gubernur dan juga Guru Besar Ilmu Sosial di universitas ternama.

"Halo juga." Jawab Irene tenang. "Apa kabar pemimpin sekaligus pendidik bangsa ini?"

Pria itu tertawa, "Aku suka sindiranmu."

"Itu bukan sindiran. Jika saya tidak butuh Anda, saya yakin kita tidak akan pernah bertemu. Gaji dosen tidak akan cukup untuk membayar saya."

Dia tergelak sampai perut buncitnya bergerak naik-turun, "Pendidikan sekarang sudah jadi bisnis. Dunia ini semakin mahal, ilmu tidak terkecuali. Aku yakin kau juga tahu, percuma berilmu tapi tidak mempunyai kekuasaan. Makanya aku jadi gubernur."

"Makanya Anda banyak mencatut proyek pendidikan." Ralat Irene dengan berani.

"Sudahlah, bukan ranahmu mengurusi kebobrokan negeri ini." Ujarnya meremehkan. "Kau hanya butuh IUP (Izin Usaha Pertambangan) secepatnya tanpa berbelit-belit kan?"

"Ya, Anda benar."

"Bagus. Jadi bisa kita mulai sekarang?" Lelaki tua itu menggosok-gosokkan tangannya, terbakar gairah. Dengan penuh semangat dia merogoh tasnya, mengeluarkan sebuah botol obat.

Irene menaikkan sebelah alisnya, "Tunggu dulu." Cegahnya. "Mana dokumen kontraknya?"

"Kau tidak percaya padaku?"

"Tidak."

Lagi-lagi dia terbahak, "Baiklah, baiklah..." Dia mengeluarkan berkas-berkas dengan map berlogo resmi pemerintahan dan menyerahkannya ke Irene.

"Johnny," Irene memanggil asisten pribadinya. Pria tegap itu sigap mengambil berkas-berkasnya dan segera memeriksa keabsahan isinya.

"Lihat, aku bahkan sudah tanda tangan di sana sebelum kau." Kekeh gubernur itu. "Hei anak muda, cepatlah sedikit. Aku sudah tidak sabar."

Johnny sibuk mengetik di laptopnya, mengecek sesuatu. Saat dia menemukan yang dicari, lelaki itu langsung memperlihatkan hasilnya ke Nona besarnya. Irene membaca informasi yang tertera disana. Dokumen ini legal dan resmi. Saatnya menuntaskan transaksi.

"Kau boleh pergi." Ujar Irene kepada Johnny. Si asisten pribadi hanya mengangguk patuh dan segera keluar dari kamar hotel mewah tersebut. Bukan, ini bukan salah satu jaringan hotel miliknya. Dia belum melebarkan sayap sampai sini. Baru akan memulai usaha pertambangan batu bara, mungkin nanti dia juga akan membangun hotel miliknya di kota ini.

"Sampai mana tadi?" Tanya gubernur itu dengan mata lapar yang siap menerkam Irene.

"Anda mengeluarkan botol obat."

Pria itu terkekeh, "Ah, ya, tentu saja." Dia mengeluarkan dua butir pil dan menelannya tanpa air. "Katanya bakal keluar saingan Viagra. Lebih tokcer. Viagra kan bekerjanya terpusat di penis saja. Kalau yang baru ini, kerjanya langsung menstimulasi otak. Nanti aku mau studi banding ke Boston, sekalian buat beli sebotol." Dia terbahak nyaring.

"Studi bandingnya pakai uang rakyat?"

"Ah, tidak penting itu." Kilahnya cepat. "Yang penting aku dapat inovasi Viagra keluaran terbaru." Lelaki itu melihat jam tangannya. "Kita tunggu sepuluh menit. Salahmu mencegahku meminumnya tadi. Kalau kau tidak cegah kan aku sudah 'berdiri' gagah sekarang."

Irene duduk dengan tenang sambil melipat tangan. "Saya membaca salah satu proyek Bapak di universitas. Sudah sampai mana resensi Das Kapital-nya, Pak?"

NoirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang