X

1.9K 234 12
                                    

a/n: warning: gXb ahead. Tidak eksplisit, tapi cukup membuat berjengit untuk yang tidak suka. Silakan lewati adegannya.

***

Irene sadar dia sedang bermain api. Dia pun sadar dirinya bisa saja hangus terbakar jadi debu jika tidak segera berhenti. Tapi alih-alih memadamkan kobarannya, Irene memilih untuk merangkul kehangatannya.

Seharusnya dia tidak boleh lengah seperti ini. Dia tidak boleh terlena. Tapi Irene menikmati setiap detik yang dilewati bersama Seulgi yang mampu memberikannya kenyamanan yang tidak pernah dia rasakan sebelumnya.

Selain tidak pernah berciuman bibir dengan partner seksnya, Irene juga tidak pernah sampai menghabiskan malam bersama dan benar-benar tidur di pelukan siapa pun. Namun coba lihat dia sekarang, bergelung nyaman di kungkungan lengan Seulgi. Irene memandangi wajah Seulgi, menelusuri garis rahang gadis sipit itu dengan telunjuknya, lalu menuju ke hidung dan kemudian bibirnya.

Sudah sebulan semenjak Irene menerima proposal yang Seulgi berikan, dan dalam sebulan mereka terbilang cukup sering berhubungan badan. Awalnya mereka sangat profesional, sebagaimana layaknya relasi yang dibangun sesama tukang dagang. Ada jual, ada beli. Semua hanya transaksi perdagangan. Hanya saja semakin hari Irene merasakan tatapan dan sentuhan yang berbeda dari Seulgi, atau mungkin sebenarnya sama, hanya dia saja yang baru merasakan perbedaannya.

Irene mengerjapkan matanya dan menghela napas panjang. Dia melepaskan diri dari pelukan hangat Seulgi dan segera bangkit dari tempat tidur di kamar hotelnya. Ya, dia masih waras untuk tidak melakukan seks di kamar pribadinya di rumahnya.

Tidur Seulgi terusik karena sumber kehangatannya menghilang. Dia merengek pelan dan tangannya meraba-raba permukaan kasur empuk bersprei lembut tersebut. "Kembalilah ke sini bersamaku." Rajuknya manja dengan suara serak khas orang baru bangun tidur.

"Tidak. Aku harus pergi." Sahut Irene.

"Kau akan meninggalkanku di hotel ini sendirian?"

"Jangan bercanda." Kekeh Irene santai. "Kau pulang dengan salah satu pengawalku."

Seulgi bergumam pelan, "Bolehkah aku mengunjungi rumah singgah?" Pintanya penuh harap.

"Tidak." Tolak Irene tegas. "Kau sendiri yang bilang kalau kau rela untuk tidak mengunjungi rumah singgah asal kebutuhan penghuninya terpenuhi. Bukan begitu?"

Seulgi mendengus kalah, "Ya, itu benar." Ujarnya lesu. "Tapi bukan berarti aku tidak merindukan mereka."

"Itu bukan urusanku."

"Aku tahu. Itu memang harga yang harus dibayar." Ujar Seulgi gusar. "Ku harap mereka bisa memahamiku kalau ini semua juga demi mereka."

"Kau sepertinya menyesal."

Seulgi terkekeh pelan, "Dibilang menyesal, tidak. Dibilang tidak, tetap ada sedikit penyesalan." Katanya jujur. "Tapi aku senang bisa menghabiskan waktu bersamamu, Irene." Senyumnya tulus.

Irene tidak ingin semakin terlena, "Ya, lumayan." Ujarnya ringkas.

"Aku akan terus belajar sampai kau benar-benar puas denganku." Ujar Seulgi masih dengan senyuman di bibirnya. "Dan kau tahu? Kata orang, latihan yang berulang-ulang akan membuatnya sempurna. Kau mau menemaniku berlatih?" Cengirnya tanpa dosa.

Irene tertawa dibuatnya, "Ku lihat kau semakin berani."

"Kau sendiri yang bilang kalau kau tidak menganggapku pelayanmu saat kita berdua seperti ini. Aku adalah kolegamu, benar?"

Sebelum Irene bisa meresponnya, suara Johnny menginterupsi mereka lewat saluran komunikasi pribadi di kamar hotel itu. "Nona Irene,"

"Ya," Sahut Irene.

NoirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang