VII

1.8K 235 5
                                    

"Kau terlihat sangat bahagia." Ujar Irene.

"Tentu saja!" Sahut Seulgi riang. "Saya akan bertemu dengan teman-teman saya sebentar lagi. Sungguh, Nona Irene, terima kasih untuk kebaikan Anda."

"Kau tahu ini tidak didapat dengan cuma-cuma bukan?"

"Saya janji akan membersihkan kolam renang seminggu dua kali!"

"Tidak," Sahut Irene. "Aku tidak menginginkan itu. Kau harus membayar dengan tubuhmu."

"Ap – apa?!" Seulgi tercengang.

"Aku tidak memaksa, tapi anggap saja kita sedang bertransaksi. Aku akan memberikan apa yang kau mau, dan kau juga harus memberikan apa yang ku mau sebagai balasannya."

"Itu sangat tidak adil!" Jika tadi Seulgi terlihat bahagia, sekarang dia terlihat marah dan tersiksa. "Tidak bisakah Anda berbelas kasihan kepada saya? Bagaimana jika saya menawarkan diri bekerja tanpa digaji selama dua bulan?"

"Itu baru namanya perbudakan seperti yang kau tuduhkan padaku. Aku tidak seperti itu." Jawab Irene santai. "Segala hal di dunia ini adalah perdagangan, transaksi jual-beli meski berbeda komoditi dan alat bayar. Intinya tetap sama, ada harga yang harus dibayar untuk apa pun yang kita inginkan."

"Anda sudah gila!" Kecam Seulgi dengan penuh amarah.

"Tidak perlu emosi. Aku hanya menawarkan. Jika kau menolak, ya sudah, semua batal. Semudah itu bertransaksi denganku."

Seulgi mengepalkan tangannya dan menahan diri sekuatnya agar tidak meninju wajah cantik nan angkuh milik Nona besarnya. Jika dia berusaha kabur dari sini, kematian adalah hal yang pasti. Seulgi belum mau mati. Dia sangat ingin bertemu dengan teman-temannya. Haruskah dia mengorbankan segalanya untuk mereka? Apakah itu akan menjadi pengorbanan yang setimpal?

Irene terlihat bosan di sofa empuk yang dia duduki sambil sesekali jarinya membalik lembaran buku yang sedang dibaca. Dia menatap Nona besar dengan penuh pertimbangan. Seulgi menarik napas panjang dan dalam, berusaha menstabilkan amarahnya. "Mari bernegoisasi." Irene menutup bukunya dan memandang Seulgi lekat-lekat. "Jika Anda menganggap ini adalah perdagangan, bukankah tawar-menawar adalah hal yang wajar?"

Irene tersenyum tipis, "Kau benar, tapi penawaranku tidak berubah. Aku tidak ingin yang lain, hanya tubuhmu."

"Baiklah," Sahut Seulgi dan Irene kembali menatapnya sambil menaikkan sebelas alisnya. "Anda bisa mendapatkan tubuh saya dan berbuat apa pun yang Anda mau, tapi –" Dia balik menatap Irene tajam, "Aku akan pergi selamanya dari sini."

"Itu harga yang tidak sepadan." Tolak Irene mentah-mentah.

"Kau menawar tubuhku hanya agar aku bisa bertemu dengan teman-temanku selama beberapa jam saja, menurutmu itu sepadan?" Cecar Seulgi dengan emosi yang sedikit naik sehingga dia melupakan soal formalitas.

Irene menyeringai kecil, "Aku tidak bisa menjawab itu untukmu. Kau sendiri yang menentukan sepadan atau tidaknya. Apa kau menghargai mereka sebesar kau menghargai dirimu? Jika iya, tentu seharusnya itu tidak masalah. Jika tidak, lalu untuk apa kau memaksa bertemu dengan mereka?"

Irene sudah terbiasa menghadapi berbagai jenis manusia, dan Seulgi bukan seseorang yang istimewa. Dia bisa dengan mudah 'bermain' dengan mental dan pikiran mereka. Semua adalah hasil didikan dari Papanya, tentu saja.

Seulgi tahu dia kalah, tapi dia belum mau menyerah begitu saja. "Aku berikan tubuhku untuk sebulan kebebasanku."

"Tidak tertarik," Tolak Irene geli.

"Seminggu?"

"Tidak."

"Tiga hari?"

"Tiga jam," Putus Irene, "Setelah itu kau harus menyelesaikan transaksi kita."

NoirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang