XI

1.9K 244 12
                                    

"Kau ke mana saja saat Nona Irene mengajakmu pergi?" Tanya Yeri penasaran. "Apa yang kau lakukan bersamanya?"

"Kenapa kau begitu ingin tahu?" Seulgi malah balik bertanya. "Bukankah kau yang bilang kalau Nona Irene memintamu untuk tidak memusingkan aku?"

"Dengar, aku tidak bermaksud untuk memulai pertikaian denganmu. Aku hanya penasaran."

"Hilangkanlah rasa penasaranmu itu. Tidak baik."

Yeri mendengus sebal. "Aku benar-benar iri padamu. Nona Irene selalu memilihmu untuk melayaninya. Dia juga mengajakmu keluar bersamanya."

"Ya itu untuk melayaninya, astaga. Kau pikir untuk apa?"

"Entahlah. Makanya aku bertanya padamu."

"Dan sudah ku jawab."

"Baiklah," Yeri menghela napas kalah.

"Omong-omong," Seulgi mencomot beberapa buah anggur dan mengunyahnya, "Apa kau tahu jika Nona Irene sangat kaya?" Tanya Seulgi. "Maksudku, benar-benar sangat kaya raya. Dia memiliki perusahaan dan hotel di mana-mana!"

"Aku tahu." Ujar Yeri santai. "Kau yang seharusnya sadar."

"Sadar apa?" Seulgi mengambil beberapa buah anggur lagi.

"Anggur yang kau makan itu harga sebutirnya enam juta rupiah."

Seulgi mendadak tersedak dan kemudian terbatuk hebat. Yeri menyuguhkan air minum untuknya yang dia terima dengan senang hati. "Kau bercanda?!" Seulgi tidak mempercayai pendengarannya.

Yeri tertawa, "Ku rasa kau akan menangis jika melihat nota belanja Yuri untuk kebutuhan sehari-hari Nona Irene."

"Tapi enam juta untuk sebutir anggur yang rasanya sama saja dengan anggur biasa, itu sungguh berlebihan..." Ujar Seulgi. "Aku penasaran, Nona Irene pernah makan di pinggir jalan atau tidak, ya?" Dia bergumam pelan. "Atau makan mie instan. Astaga, itu enak sekali!"

"Entahlah," Yeri mengangkat bahunya acuh. "Tapi yang jelas, Nona Irene tidak suka makan masakan yang dihangatkan. Semua harus fresh hasil masak saat itu juga."

"Ya, tapi seringnya tidak habis. Sayang sekali, sangat mubadzir."

"Tidak mubadzir. Yuri masak banyak juga kan buat kita juga. Nona Irene tidak pernah membedakan untuk urusan makan. Buktinya kau masih bisa menikmati anggur itu. Hanya saja kita tidak makan bersama."

"Ah, begitu rupanya ya. Aku sedikit heran waktu pertama kali kenapa aku disuguhkan telur kodok saat makan." Seulgi terkekeh.

"Telur kodok? Apa maksudmu?"

"Itu yang hitam-hitam di atas spageti."

Yeri membulatkan matanya dan menyeringai tidak percaya, "Jangan sampai Yuri mendengarmu menyebutnya telur kodok. Kau bisa dipukul dengan sendok sayur. Itu namanya caviar. Paham?"

Seulgi mengusap tengkuknya, "Apa itu mahal sekali?"

"Sudahlah, tidak usah memikirkan harga-harga di sini." Yeri tertawa. "Bagaimana kau dengan Joy?"

"Dia tidak lagi menatapku dengan hasrat ingin membunuh." Seulgi tertawa ringan. "Aku bersyukur kau juga tidak lagi bersikap jahat kepadaku."

"Memang kapan aku pernah jahat kepadamu?!"

"Kau dan Joy selalu mengerjaiku dulu!" Seulgi mendorong bahu Yeri pelan, membuatnya menjulurkan lidah. "Aku tidak pernah melihat orang tua Nona Irene. Apa mereka tinggal di luar negeri?"

Yeri menghela napas panjang, "Nona Irene itu yatim piatu. Ibunya sudah lama meninggal saat dia masih kecil, lalu Ayahnya meninggal saat dia berumur 20 – atau 21, aku lupa." Dia menghela napas lagi, "Kadang aku kasian dengan Nona Irene. Semuda itu sudah dibebani memimpin perusahaan yang sangat banyak. Dia bertanggung jawab penuh atas ribuan – mungkin puluhan ribu pegawai di perusahaan-perusahaannya. Dia tidak punya waktu untuk menikmati hidup dan bersantai."

NoirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang