Juli, 2011.
Tubuhku bergetar ketika aku melihat hasil dari tes kehamilan yang baru saja aku coba. Dua garis. Air mataku sudah tidak bisa dibendung lagi. Aku menangis dalam diam, bagaimana aku harus menghadapi kedua orangtuaku sekarang?
Aku yakin, Ibu dan Bapak tidak pernah membiarkan aku hidup lagi setelah ini. Ibu dan Bapak sangat menaruh harapan besar padaku. Anak satu-satunya yang ia miliki, aku yakin harapan mereka padaku sangat tinggi dan lihat sekarang? Apa yang aku lakukan?
Berbekal cinta yang tulus aku berikan semuanya pada laki-laki itu. Cinta yang begitu naif dan memiliki harapan ada balasan darinya. Nyatanya? Semua hanya harapan yang tidak akan terjadi.
Aku tau diriku seperti sedang berjudi sekarang, diterima atau ditolak. Aku tidak akan pernah bisa menutupi masalah ini. Cepat atau lambat aku harus mengaku pada Ibu dan Bapak. Mengaku atau ketahuan dua hal yang cepat atau lambat akan terjadi.
Watak Bapak yang keras membuat nyaliku ciut. Bapak itu hidup di dalam ketaatan dalam hukum dan norma. Baginya tidak ada alasan untuk melanggar hukum atau norma yang ada. Membolos sekolah saja aku sudah dimarahi habis-habisan apalagi Bapak tau jika anak satu-satunya hamil di luar nikah. Aku tidak pernah yakin bagaimana nasibku setelah ini.
Bagiku hal tersulit adalah mengaku salah. Bukan menanggung kesalahan tersebut. Keberanian untuk mengaku itu yang sulit. Tapi untuk kasusku tidak ada yang bisa aku lakukan selain jujur dan menanggung risiko yang akan terjadi ke depannya.
Aku melangkah pasti ketika melihat bapak dan ibu sedang duduk di luar paviliun.
"Pak, Bu." Ucapku kecil.
"Ya, nak?" jawab Ibuku halus.
"Ada yang mau Inka sampaikan."
Bapak yang tadinya sibuk dengan koran di tangannya langsung berhenti dan melihat kearahku.
"Inka.." ucapku sedikit terbata-bata. "Inka hamil."
Aku tau, bukan hanya aku saja yang terkejut. Kedua orangtuaku juga sama terkejutnya denganku. Aku yakin, ini seperti neraka kecil yang aku berikan untuk mereka.
"Kamu bilang apa, nak?" tanya Ibuku pelan seakan tidak mendengar padahal aku yakin ia mendengarnya dengan jelas. Air matanya sudah menggenang dan memilukan ketika melihat ibuku sendiri menangis karenaku.
"Siapa bapaknya?" ucap Bapakku tenang.
Aku hanya diam.
"Siapa bapaknya, Inka?" suara Bapak tenang tetapi aku tau Bapak sedang menahan amarah. Suara Bapak sudah tidak terkontrol. Aku yakin penghuni rumah depan akan mendengar suara Bapak.
Bapak sudah memegang pundakku, menggoyangkan tubuhku tanpa ampun. Aku hanya bisa menangis dalam diam.
"Ada apa ini?" ucap Nyonya Ratna datang. Benar dugaanku. Keributan ini tidak akan luput dari penghuni rumah depan. "Ada apa, Gung?" tanyanya pada Bapak.
"Anak ini hamil, tapi dia tetap bungkam tanpa memberi jawaban siapa laki-laki itu."ucap Bapak.
Aku hanya terisak melihat semua orang sudah memandangku penuh harap aku akan menjawab siapa nama laki-laki itu.
"Siapa ayah anakmu, Inka?" Nyonya Ratna sudah ikut bersimpuh di sampingku memegang bahuku. Berharap juga aku akan mengatakannya.
Aku hanya menangis.
"Kamu mau memberitahu siapa laki-laki itu atau kamu gugurkan bayi itu!" ucap Bapakku tanpa belas kasih.
"Pak, pelan-pelan pak. Jangan gebabah." Suara tangis Ibukku sudah tak bisa dikontrol.

KAMU SEDANG MEMBACA
Hanya Tentang Waktu [END]
RomanceCinta di waktu yang salah. Waktu yang tepat ketika cinta yang salah.