Selama perjalanan pulang, Cantika sudah berniat akan langsung tidur setelah bekerja seharian. Padahal dirinya masuk sift pagi, tetapi karena seorang teman berhalangan hadir di sift malam dan memintanya untuk menggantikan, maka beginilah kondisi Cantika hari ini.
Sangat lelah, dirinya terus memikirkan kasur, bahkan sempat melihat aspal mirip dengan kasurnya yang kini terbungkus sprei berwarna abu-abu. Hanya saja, Cantika tak ingin terulang kembali, merasakan kerasnya aspal saat kecelakaan tiga tahun lalu.
Ia menggeleng cepat untuk menghilangkan kenangan itu. Pekerjaannya sebagai salah satu karyawan di tempat fotocopy, scan, dan print, membuatnya jarang duduk. Sebab mahasiswa masuk pada masa-masa ujian akhir semester, banyak pelanggan yang mengantri demi mencapai cita-cita.
Pintu unit kontrakannya terbuka, Cantika menghela napas berat, itu berarti abangnya masih bangun. Ia merasa akan dimarahi lagi, karena tak memberikan kabar pulang malam, sementara abangnya tahu bahwa ia berada di sift pagi.
"Caca," sapa seseorang.
Cantika hendak melangkah masuk, terhenti kala melihat seorang lelaki berjalan mendekatinya dengan membawa laptop. "Ya?" cicitnya.
"Udah makan, belum?" tanya Davin.
Sejujurnya, Cantika tak nyaman dengan Davin yang seperti ini. Sebab selama saling kenal, ia lebih terbiasa melihat Davin yang selalu mengatai, memarahi, dan tak acuh, ketika bertemu dengan Cantika.
Hanya gelengan yang diberikan, kemudian berjalan masuk ke dalam rumah. Bisa didengarkan Davin mengikutinya dari belakang, Cantika sama sekali tak menoleh atau bertanya, ada keperluan apa datang ke rumah orang di jam begini?
Baiklah, Cantika tak punya keberanian bertanya seperti itu. Maka ia segera masuk kamar dan seketika menghela napas lega karena terhindar dari Davin dan juga abangnya yang pasti akan marah.
Ia menggigit bibir, telinga menempel di pintu dan berusaha mendengarkan apa yang terjadi di luar kamar. Jauh di lubuk hati paling dalam, Cantika penasaran dengan Davin yang sudah lama tak ditemuinya. Melihat perubahan fisik lelaki itu meski sekilas, bisa Cantika pastikan bahwa Davin menjalani hidup dengan baik.
"Ca!"
Cantika mundur seketika saat mendengarkan suara ketukan pintu begitu nyaring masuk ke telinganya. "I-iya, Bang?"
"Kenapa langsung masuk kamar? Kamu punya salah, ya!"
Ini alasan mengapa ia ingin hidup di indekos sendiri, tetapi orang tuanya dan sang abang bersikeras agar mereka tinggal bersama. Cantika tak tahu mengapa, tingkat perhatian abangnya naik hingga 130%, tetapi bukannya senang, ia malah merasa terganggu.
"Aku lupa, Bang!" jawabnya, setengah berteriak agar didengarkan Jovian.
"Lain kali kasih tahu. Habis ganti baju langsung makan, ada ayam goreng di atas meja."
Cantika ingin menjawab bahwa dirinya sudah makan malam bersama seorang teman sebelum pulang ke rumah. Namun, ia takut abangnya malah akan tambah marah dan mengomelinya habis-habisan.
Maka Cantika memilih untuk langsung tidur saja, dan besok pagi memberi alasan bahwa kelelahan sampai tertidur dan baru terbangun di pagi hari. Sebenarnya bisa saja Cantika mengatakan sudah makan, tetapi abangnya akan marah karena lagi-lagi dirinya menghindar makan makanan yang dibeli abangnya.
Segan. Ia merasa, tinggal gratis saja sudah sangat cukup. Cantika pun mengerti keuangan abangnya, bagaimana lelaki di keluarganya itu bekerja keras demi kelangsungan hidup, belum lagi uang bulanan untuk orang tua mereka di Solo.
Sebagai adik, Cantika harusnya membantu, bukan semakin memberikan beban. Ia pernah mengatakan langsung kepada Jovian, tetapi abangnya itu malah terluka mendengarkan, merasa bahwa kurang mampu memberi kebahagiaan. Pada akhirnya rela mengerjakan apapun, hingga menjadi orang kepercayaan di kantor.
Cantika berbaring, memejamkan mata. Enaknya, besok sarapan apa? Itulah yang ada di kepalanya sebelum kesadaran diambil alih oleh kantuk.
**
"Selamat pagi," sapa suara yang sangat familiar di telinga Cantika.
Ia hanya menoleh sebentar, kemudian kembali melanjutkan memakai sepatu. Suara Davin memang familiar, karena Cantika sudah mengenal lelaki itu dari suaranya masih nyaring, serak, dan akhirnya berat.
Namun, yang menjadi perhatian Cantika di sini adalah nada bicara Davin yang sangat langka atau lebih tepatnya akhir-akhir ini saja menjadi sangat ramah padanya. Cantika menarik napas dalam, kemudian mengembuskan cukup kasar.
Menurut informasi dari abangnya, Davin akan tinggal di kontrakan yang ada di sebelah mereka. Itu berarti sekarang mereka bertetangga. Mungkin itu satu hal biasa, tetapi berat rasanya karena Davin lebih banyak menghabiskan malam di kontrakannya bersama sang abang.
"Nggak dibalas," Davin tersenyum kecut, "perlu diantar?"
Hidup dalam kepura-puraan itu berat, apalagi di hadapan Davin. Sejujurnya, sekarang ia sangat ingin menoleh pada lelaki itu dan mengatakan 'iya, antaren aku, dong, Bang'. Namun, itu adalah dirinya yang dulu, sekarang sangat berbeda.
Kecelakaan itu, runtuhnya karir sang ayah, kepindahan mereka ke Solo, kembali lagi ke nol, membuatnya kehilangan selera untuk memandang dunia ini seperti dulu, yang selalu menyediakan kebahagiaan tanpa harus dicari.
"Nggak perlu," jawab Cantika, menarik tas kecilnya dan menuju area parkir.
"Kalau pulang malam, kasih tahu. Abangmu lembur, nitipin kamu ke aku."
Cantika menghentikan langkahnya, menengok sebentar ke Davin yang tersenyum lembut, kemudian kembali menatap ke area parkir. Cinta pertama susah dilupakan, itulah yang Cantika rasakan sekarang, apalagi nada bicara Davin benar-benar berubah drastis padanya.
"Nggak pulang malam," balasnya.
"Oh, oke, berarti malam ini bisa makan di rumah, 'kan?"
Cantika memejamkan mata, benar-benar terganggu dengan sikap ikut campur Davin. Andai saja lelaki itu tahu, ia susah payah membangun citra dingin seperti ini, tetapi malah terus dipaksa untuk bicara lebih.
"Lihat nanti."
Setelah mengatakan itu, Cantika kembali melangkah menuju area parkir. "Bisa, nggak, dia pulang aja, nggak usah sok tinggal di sini." gerutunya.
"Nanti aku telpon, buat nanya mau makan apa malam ini!" Lagi-lagi suara Davin terdengar, kali ini berteriak karena jaraknya dan Cantika sudah cukup jauh.
Cantika sama sekali tak menoleh, mengeluarkan motor dari area parkir, mengenakan masker dan kemudian helm. Tempat bekerjanya lumayan dekat, tepat berada di depan kampus di mana Davin dan Jovian menuntut ilmu.
Beberapa kali abangnya datang menghampiri, sekadar menanyakan akan pulang malam ini atau tidak, sebab jika menelepon, Cantika tak bisa mengangkat, karena selama bekerja dilarang memegang ponsel. Kecuali di saat istirahat siang dan menjelang maghrib.
"Tunggu! Tunggu! Ca, tunggu!"
Cantika menoleh ke asal suara, Mbak Aya, seorang perempuan sudah berkeluarga, salah satu penghuni kontrakan. Ia mengulas senyum tipis hanya untuk sekadar memberikan keramahan, meskipun sebenarnya Aya tak melihat karena Cantika memakai masker.
"Biasa, Mbak mau nebeng ke mini market depan," kata Aya, "bisa, 'kan?"
"Bisa, kok, Mbak."
**
Oh hai 🙋
Apa kabar? 😳😳
KAMU SEDANG MEMBACA
Lihat Aku yang Baru
RomanceCantika Zwetta hanyalah seorang gadis biasa yang trauma setelah mengalami kecelakaan. Hidupnya benar-benar berubah, termasuk ekonomi keluarga yang membuatnya diam tak bisa berkata-kata, sampai harus pindah ke kampung halaman karena tak sanggup lagi...