Kira-kira sudah delapan menit lamanya Davin duduk dalam jarak satu meter di belakang Cantika. Sejujurnya, ia masih sangat ingin menatap wajah itu setelah tiga tahun tak saling bertemu. Hanya saja, Cantika enggan menoleh padanya dalam waktu lama.
"Apa kabar?" tanyanya, setelah sekian lama hanya bisa menatap punggung.
"Baik." Cantika menjawab singkat.
Davin menunggu ditanya balik, sebab biasanya perempuan itu selalu bisa membalas dan membuka obrolan, tetapi nyatanya detik berganti menit, Cantika belum juga buka mulut dan masih fokus menghabiskan makanannya.
"Orang tua gimana? Sehat?" tanyanya lagi.
Cantika mengangguk.
Davin menggigit bibirnya, benar kata Jovian, Cantika bukanlah Cantika yang dulu. Namun, jika dipikir-pikir, saat tak bertemu dalam waktu lama, orang sedekat apapun akan merasa canggung. Apalagi selama berpisah, tak pernah saling berbagi kabar meski hanya dalam bentuk chat singkat.
"Kuliah jurusan apa?" Katakan Davin terlalu banyak tanya, mau bagaimana lagi. Mereka baru saja bertemu.
"Maunya, sih, pertanian," jawab Cantika, masih tanpa menoleh sedikitpun pada Davin.
"Masih kayak dulu, ya," Davin tersenyum tipis, "tapi akhirnya ambil jurusan apa?"
Cantika menghentikan gerakan sumpitnya yang ingin menyuapkan mi ke dalam mulut, berganti menjadi mengaduk tanpa henti. Davin tak melihat intens apa yang dilakukan Cantika, hanya saja bisa dilihatnya pada gerakan kecil di bahu perempuan itu.
"Nggak kuliah."
"He?"
Hening, Davin tak bisa menahan ekspresi terkejutnya. Sangking tak percaya, ia bergerak mendekati Cantika dan melihat wajah samping perempuan itu untuk mendapatkan jawaban jujur. Ia mengenal Cantika yang dulu, rela mengatakan kebohongan demi mendapatkan perhatian khusus.
Namun, saat melihat wajah samping Cantika yang sekarang, dada Davin terenyuh, seakan ada luka di dua kata tersebut, perempuan itu mengulum bibirnya. Mata tak bisa berbohong, ada alasan yang tak bisa diungkapkan, mengapa dan bagaimana bisa semua itu terjadi.
"Loh, Vin, sejak kapan lo di sini?"
Davin segera meluruskan duduknya saat mendengarkan suara Jovian. "Barusan," jawabnya, "tidur lo kayak kebo, dari tadi gue nungguin lo keluar kamar."
"Gue begadang, habis bantuin senior di kan—Dek, kok malah makan mi instan?" Perhatian Jovian teralih seketika saat melihat adik perempuannya tengah menikmati mi instan.
Cantika menoleh sekilas, lalu menghentikan makannya. "Enak," jawabnya, singkat.
"Di atas meja ada ayam bakar, Abang beliin buat kamu." Jovian terlihat kesal, merasa bahwa yang disediakannya tak dihargai. "Kamu kalau makan mi instan mulu, yang ada makin kurus, loh."
Davin hanya bisa melihat tanpa memberi pembelaan. Dari kata-kata yang dikeluarkan Jovian, bisa diambil kesimpulan bahwa Cantika sudah sering ditegur oleh abangnya itu, tetapi tak diindahkan.
"Nasi juga masih banyak," lanjut Jovian setelah ke dapur dan melihat makanan yang telah disediakannya, belum tersentuh sedikit pun.
Cantika tak menjawab, tetapi beranjak dari duduk dan menuju dapur sembari membawa cup mi instan. Davin masih diam, pertemuan dengan Cantika benar-benar tak terduga. Ini sudah lewat lima belas menit mereka berada di ruangan yang sama, tetapi kata-kata yang keluar dari mulut Cantika masih bisa dihitung dengan jari.
"Kamu dengerin kata Abang, 'kan?" Jovian sedikit membentak.
Perempuan itu meneguk habis minuman di tangannya, kemudian mengangguk. "Udah sore, aku mau siap-siap pergi kerja."
"Kerja?" Davin reflek menanyakan itu.
Jovian menghela napas kasar. "Kamu masih kerja jadi tukang cuci piring?"
"Cuma pas weekend, kok."
"Cuci piring?"
Davin masih belum bisa kembali ke bumi, hanya dengan fakta bahwa Cantika tak berkuliah saja, ia sudah sangat ingin protes. Ditambah dengan kerja, cuci piring, meskipun hanya saat akhir pekan, itu sudah tak bisa diterima oleh Davin.
"Jov, keluarga lo nggak jatuh miskin banget, 'kan?" Pertanyaan itu keluar tanpa mempertimbangkan terlebih dahulu. "Bisa-bisanya lo tega lihat adik lo kerja serabutan," cerca Davin.
Jovian membalas tatapan Davin dengan sangat tajam, penuh emosi, seakan ingin menghunuskan pisau dan membunuh. "Kalau tega, nggak bakalan gue larang," Jovian menunjuk sang adik, "dia nggak mau dengerin. Udah berkali-kali gue larang. Nggak tahu siapa yang mau didengernya."
Tatapan Davin beralih pada Cantika yang kini bersiap masuk ke kamar mandi. "Ca, dengerin kata Jovian. Biar bagaima—"
"Udah mau telat," interupsi Cantika, kemudian menutup pintu kamar mandi.
Jovian mendengkus. "Lo lihat, 'kan?"
Davin ternganga melihat ekspresi dingin Cantika saat mengatakan tiga kata tersebut. Selama saling kenal, perempuan itu belum pernah membalas kata-kata Davin dengan nada dingin. Saat mendengarkan, tubuhnya merinding, seakan melihat sosok lain dalam diri Cantika.
"Gue ngarepnya dia naksir cowok, siapa tahu bisa ubah dirinya seperti semula. Soalnya gue tiap hari kayak ngomong sama es balok, dingin," dumel Jovian, mengeluarkan unek-uneknya.
"Serahin ke gue." Davin mengucapkan tanpa ragu.
"Dih, bukan lo juga, kali. Masih banyak cowok di dunia ini," ujar Jovian, menolak keinginan sahabatnya itu.
Davin berdecak. "Tapi selain gue, lo nggak percaya cowok lain, 'kan?"
"Anak Pak Ustad depan gang, dia udah gue target jadi calon adik ipar," tutur Jovian, penuh keseriusan.
"Lo milih orang baru, dibanding gue yang udah kenal lama?" Davin tak bisa terima keputusan Jovian.
"Lo coba, deh. Dia lebih dingin ke orang yang udah lama dikenal. Jadi, gue rasa lo nggak punya kesempatan," Jovian hendak meninggalkan dapur, tetapi terhenti saat menyadari sesuatu, "sejak kapan lo mau sama Caca?"
**
Sejak kapan?
Davin pun tak tahu jawabannya. Ia hanya menyadari, sejak perempuan itu menghilang dari hadapannya, dunia terasa sepi. Ditambah lagi keluarga itu mendadak pindah ke Solo, rumah disita bank, dan akhirnya Jovian harus tinggal di indekos.
Biasanya di rumah Davin punya teman mengisi kekosongan, tetapi sejak rumah tersebut ditinggalkan pemiliknya, keseharian Davin di rumah lebih banyak diisi dengan bermain game, sampai-sampai ia melupakan tugas kuliah dan pasti akan meminta bantuan Jovian untuk menyelesaikan.
Namun, jawabannya bukan kesepian tanpa teman, melainkan tanpa ada pengganggu. Rumah Davin terasa sepi, ketika sedang bersama Jovian pun, ia menunggu saat-saat di mana Cantika datang untuk merusuh ketenangan mereka berdua.
"Berarti sejak saat itu?" gumamnya, "sepi sama dengan mau?"
Davin menggeleng kuat, dirinya bukan sekadar sepi, tetapi juga kehilangan. Bahkan saat dirinya duduk di teras kontrakan, mendengar para penghuni ramai di unit mereka masing-masing, Davin tetap merasa ada sesuatu yang hilang.
"Kewarasan gue?" Lagi-lagi ia bergumam. "Nggak mungkin," sanggahnya.
Davin berdiri dari duduknya dan masuk ke dalam unit. Berbeda dengan kontrakan milik Jovian yang terdapat banyak benda berguna khas seseorang yang tinggal, Davin malah hanya terdapat kasur dan koper. Ya, kepindahannya ini begitu buru-buru.
Ia pun tak tahu apa saja yang diperlukan saat memutuskan meninggalkan rumah dan hidup sendiri.
**
Vote dan komeeeen
![](https://img.wattpad.com/cover/312999805-288-k356911.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Lihat Aku yang Baru
RomansaCantika Zwetta hanyalah seorang gadis biasa yang trauma setelah mengalami kecelakaan. Hidupnya benar-benar berubah, termasuk ekonomi keluarga yang membuatnya diam tak bisa berkata-kata, sampai harus pindah ke kampung halaman karena tak sanggup lagi...