Cantika harus rela tak masuk kerja hari ini, sebab sakit kepala, hidung beringus, dan bersin tengah menimpanya. Oh, ditambah lagi Cantika merasa ia akan demam, seolah-olah flu saja tidak cukup untuk hukumannya.
Ia sempat mendengar abangnya pamit pergi kerja, mengatakan posisi obat dan ponselnya yang ditaruh tepat di sebelah bantal. Jovian mempersiapkan itu agar Cantika segera meneleponnya jika kondisi semakin buruk.
Ia tidak mempermasalahkan ditinggal sendiri saat sakit, bahkan dirinyalah yang memaksa Jovian untuk tetap pergi kerja dan berhenti mengkhawatirkannya.
Sementara itu di luar ruang Davin tengah menatap layar laptopnya, sedang mengerjakan skripsi, meskipun mata ini tak henti melihat ke pintu kamar Cantika yang sedari tadi tertutup rapat. Ya, ia benar-benar khawatir sejak Jovian mengatakan bahwa Cantika sedang sakit.
Maka di sinilah Davin, menjaga Cantika di luar ruangan. Meskipun Jovian tidak meminta padanya untuk menjaga Cantika, akan tetap dilakukan sebab perhatian Davin saat ini tertuju kepada perempuan itu.
Kalau diingat-ingat lagi, yang membuat Cantika sakit adalah Davin. Andai saja hari itu dirinya tidak menawarkan untuk pulang bersama, pasti Cantika tidak akan berani menerobos hujan dan pulang ke kontrakan.
Ketukan di pintu membuat Davin tersentak kaget. Ia bangkit dari duduknya dan menghampiri pintu. Di luar sana berdiri sosok pria yang dikenalinya.
"Pak Banu," sapanya saat membuka pintu.
"Ini, titipan dari Ibu," pria itu memberikan kantong tas yang berisi kotak makan, "kata Ibu, harus langsung dimakan, biar makannya masih anget."
"Oke, Pak. Makasih, ya."
Setelah Pak Banu pulang, Davin segera menuju dapur dan menyiapkan makanan itu ke piring. Ya, tadi ia menelepon bundanya agar dibuatkan bubur. Tentu bukan untuk dirinya, melainkan Cantika.
Davin sama sekali tak tahu cara membuat bubur, maka dirinya meminta tolong kepada sang Bunda. Bundanya langsung mengira bahwa ia sedang sakit, ingin sekali Davin mengatakan yang sakit adalah calon menantu Bundanya.
"Ca," Davin mengetuk kamar Cantika, "makan dulu, yuk."
Tak ada respons.
"Caca," panggilnya lagi, masih dengan mengetuk pintu.
Ini sudah pukul dua siang, harusnya Cantika makan agar bisa minum obat lagi. Namun, sampai detik ini perempuan itu belum kunjung keluar kamar, membuat Davin khawatir bukan main.
"Caca." Davin sedikit menambah volume suaranya.
Masih tak ada jawaban. Sebab dirinya khawatir akan keadaan perempuan itu, tangan ini langsung saja memutar knop pintu. Mata Davin melebar sempurna, Cantika sama sekali tidak mengunci pintu kamarnya.
"Bener-bener ni anak," dumel Davin, "gimana kalau orang jahat masuk ke kamar?"
Ia berdecak, kemudian melangkah pelan masuk ke kamar tersebut. Meskipun pencahayaan remang, tetapi Davin bisa memastikan bahwa yang tengah berbaring di kasur itu adalah Cantika.
Akan tetapi, Davin belum bisa memastikan apakah perempuan itu tidur atau pingsan. Demi mendapatkan jawaban, Davin mendekat dan memegang bahu Cantika.
"Ca," panggilnya, sembari mengguncang pelan bahu perempuan itu, "Caca, makan dulu, yuk."
"Hmm...," gumam Cantika, tanpa membuka mata.
Saat itu Davin menghela napas lega, setidaknya Cantika bukan sedang pingsan. Ia kembali memanggil nama perempuan itu. "Caca."
"Iya, Bang?" Cantika menyahuti, "aku masih ngantuk." Menarik selimut menutupi seluruh tubuh.
Setelah itu Davin tidak lagi memaksa Cantika untuk bangun, sebab dilihat dari kondisi, perempuan itu belum ingin bangun karena mengantuk berat. Mungkin efek obat atau lelah.
Davin duduk di lantai dan memperhatikan Cantika dalam diam. Saat masuk ke dalam kamar, bisa diciumnya wangi bunga segar yang menyeruak ke seluruh ruangan. Namun, kali ini berganti dengan wangi bubur ayam yang ada di hadapannya.
"Malah jadi gue yang pengin makan," Davin berdecak, "tahan, Dav, tahan. Ini buat Caca, bukan buat lo." Mengelus perutnya.
**
Cantika bangun dari tidur panjangnya, ia mengucek mata dan kemudian bangkit. Rasa lapar menggerogoti perutnya, setelah merasa pandangannya cerah tak berkabut, Cantika meninggalkan kasur. Kaki tak sengaja menyenggol piring yang tertutup oleh tutup panci.
Ia tertawa kecil melihat ide aneh seseorang itu. Sudah pasti kelakuan abangnya. Cantika duduk di lantai dan membuka penutup piring itu. Bubur ayam menanti dirinya untuk menyantap.
Sebab terlalu lemah untuk menyiapkan makanan, Cantika meraih sendok yang telah disiapkan, kemudian memasukkan bubur itu ke dalam mulut. Meskipun sudah dingin, tetapi rasanya tetap enak. Cantika menyukainya, itu mengapa ia tak berhenti menyuap. Ah, atau sebenarnya itu karena kelaparan.
Terdengar langkah kaki di luar kamar, Cantika menduga itu abangnya telah pulang dari kantor.
"Abang!" panggilnya.
Tak lama pintu kamar terbuka perlahan, bukan Jovian yang berada di sana, melainkan Davin yang tersenyum lembut melihat dirinya makan.
"Udah baikan?" tanya lelaki itu.
Cantika mengangguk, kemudian meraih gelas yang berisi minuman.
"Tadi Bang Jov pulang?" Cantika penasaran dari mana bubur itu berasal.
"Enggak, ini baru jam empat, abangmu belum pulang."
Setelah selesai minum, Cantika kembali memegang sendok, bersiap untuk makan lagi. "Terus, ini bubur dari mana?"
"Bunda, dianterin sama Pak Banu," jawab Davin.
Saat itu juga Cantika ingin sekali melepaskan sendok di tangannya, tetapi tertahan karena masih ingat dengan sopan santun. Harusnya Cantika berterimakasih, bukan berhenti makan saat tahu makanan itu berasal dari mana.
Jangan lupa, Davin bisa saja melaporkan kejadian ini pada Jovian dan pada akhirnya Cantika akan diceramahi panjang kali lebar. Seperti kejadian kemarin, saat Cantika menolak tawaran Davin untuk pulang bersama.
"Habisin buburnya, jangan lupa minum obat," ucap Davin, kemudian keluar dari kamar. Sadar bahwa tak boleh berlama-lama di dalam kamar perempuan.
"Oh iya," Davin menghentikan geraknya menutup pintu kamar, "abang kamu dari tadi nelepon, nanyain kamu."
"Bilang aja aku udah baikan."
"Dia minta video call, nggak percaya kalau nggak lihat wajah kamu." Davin merogoh sakunya, kemudian mengeluarkan ponsel dari sana.
Cantika tahu abangnya pasti khawatir, apalagi mereka hanya tinggal berdua di kota ini. Ia menerima ponsel yang diberikan oleh Davin, di sana terlihat wajah Jovian dengan latar ruang kerja. Abangnya masih di kantor dan menyempatkan diri untuk menerima telepon tersebut.
"Aku udah baikan, Bang," ucap Cantika.
"Belum juga ditanya." Jovian mendumel. "Udah makan?"
"Ini lagi makan."
"Jangan lupa habis itu minum obat," Jovian berdecak, "bisa nggak, lampu kamar dinyalain, gimana bisa lihat wajah kamu kalau kayak gini."
Davin mendengarkan itu, ia meraba dinding dan mencari saklar lampu. "Noh, udah gue nyalain," katanya, dimaksudkan kepada Jovian di seberang sambungan.
"Udah kelihatan muka aku?" Cantika bertanya.
"Heh, Davin!" sentak Jovian, sedikit sangar, "berani-beraninya lo masuk kamar adek gue!"
Mata Davin melebar sempurna sebab baru sadar, saat itu juga ia melangkah keluar kamar dan menutup pintu. Ia tahu bahwa hubungannya dengan Jovian sudah seperti saudara, tetapi beda cerita jika ini tentang adik perempuan. Jovian tak suka kalau Davin dengan bebas masuk ke kamar saudarinya.
**
Hai
HaiLagi rajin aku tuh
KAMU SEDANG MEMBACA
Lihat Aku yang Baru
RomanceCantika Zwetta hanyalah seorang gadis biasa yang trauma setelah mengalami kecelakaan. Hidupnya benar-benar berubah, termasuk ekonomi keluarga yang membuatnya diam tak bisa berkata-kata, sampai harus pindah ke kampung halaman karena tak sanggup lagi...